JAKARTA, GRESNEWS.COM - Dewan Perwakilan Rakyat mengingatkan pemerintah atas gejolak melonjaknya harga beras hingga 30 persen. Kenaikan  harga 30 persen itu sudah pada tingkat membahayakan bagi suatu negara.  "Ancamannya lebih berbahaya dari nuklir," ujar anggota DPR dari Fraksi PKB Daniel Djohan, kemarin.  

Apalagi kasus beras ini terjadi hampir setiap tahun, terus berulang-ulang dan sistemik. Untuk itu, DPR berniat membentuk Pansus beras dan pupuk terkait dugaan adanya kartel atau mafia beras dan pupuk, yang berdampak menyulitkan petani.

“Saya melihat ada tangan-tangan yang tidak terlihat untuk pengkondisian untuk melakukan impor, setiap menjelang panen raya pada Maret dan April mendatang," kata Daniel saat diskusi di DPR seperti dikutip dpr.go.id.

Untuk itu, agar harga gabah dan beras tidak jatuh di musim panen raya itu, pemerintah diminta menolak impor beras. Daniel, menyarankan Bulog harus menindak oknum pemerintah dan swasta yang terlibat dalam permainan harga ini. Serta menggelar operasi pasar untuk mengetahui jumlah stok beras.

Untuk operasi pasar ini Daniel menyarankan untuk tidak melibatkan pengusaha besar. Sebab, pengusaha besar itu sebagian merupakan bagian dari kartel, yang mengendalikan harga. “Bulog harus andalkan Koperasi Pasar dan kios-kios kecil di pasar, karena mereka tak mungkin akan menimbun beras,” tuturnya.

Persoalannya lanjut Daniel, pedagang kecil itu kalau minta ke depot logistik (Dolog) berasnya malah ditahan. Sehingga mereka kembali ke pasar induk yang harganya sudah dikendalikan oleh pengusaha besar. Karena itu Dolog harus mendistribusikan stok beras itu ke pedagang kecil dan harganya harus dikendalikan oleh Bulog. “Kalau harga sudah ditetapkan, pengawasnya kepala pasar yang sehari-hari bertugas di pasar, dan yang melanggar harus mendapat sanksi, maka harga dan distribusi beras aman,” ujarnya.

Daniel mengungkapkan bahwa Thailand, sudah menawarkan beras per Kg Rp 4.000,- tapi itu beras afkiran. Oleh itu kalau ada oknum Bulog yang melakukan penyimpangan, maka Dirut Bulog yang baru Ibu Lenny Sugihat, bisa membereskan berbagai penyimpangan itu. Bulog mendapat PMN Rp 3 triliun, sedangkan pupuk mendapat subisidi Rp 32 triliun.
“Jadi, seharusnya Bulog langsung bertanggungjawab kepada Presiden RI, yang bisa mensubsidi petani dari hulu untuk mewujudkan kedaulatan pangan. Harga beras pun tidak bisa diserahkan ke pasar, karena pangan sebagai kebutuhan dasar yang harus dikendalikan oleh negara,” jelas Daniel.

Sementara itu menurut anggota Komisi VI DPR RI dari F-Golkar Muhammad Sarmuji melambungnya harga beras saat ini tidak masuk akal, karena stok di Bulog menumpuk. Di Surabaya Selatan untuk wilayah Mojokerto, Jombang, dan sekitarnya misalnya, stok beras di Bulog itu bahkan cukup untuk 18 bulan. Tapi, kenapa harga beras terus naik? Padahal, Jatim sebagai daerah penyumbang 20% kebutuhan beras nasional. Itu berarti ada pihak-pihak yang memainkan harga. “Ya, pedagang besar, pemain besar. Tapi, soal siapa? Intelejen tahu itu,” jelas politisi Golkar itu.

Pertanyaannya kenapa harga bisa dimainkan, menurut dia karena fungsi Bulog tidak jalan. Apalagi menjelang panen raya ini seharusnya stok beras itu dikeluarkan akhir Desember 2014 lalu. “Bukannya akhir Februari 2015 ini, sehingga saat panen raya pada Maret nanti Bulog bisa membeli gabah atau beras dari petani, sekaligus bisa melakukan stabilisasi harga. Hanya saja Bulog tak bisa melakukan operasi pasar kecuali diminta oleh Menteri Perdagangan RI,” tuturnya.

Sarmuji menegaskan seharusnya ketika harga beras itu naik sampai 10%, pemerintah langsung melakukan operasi pasar. Namun karena fungsi Bulog tidak berjalan, maka harga beras terus melambung. Padahal, Bulog bisa membuat outlet di pasar-pasar yang sudah memiliki jalur distribusi. “Jadi, kita memang harus membenahi Bulog. Untuk itu, kita mendukung Pansus beras maupun pupuk yang akan dilakukan lintas komisi DPR RI nanti,” pungkasnya.

BACA JUGA: