JAKARTA, GRESNEWS.COM - Tim Reformasi Tata Kelola Migas (TRTKM) menyatakan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis premium tergolong mahal karena dalam proses perhitungannya menggunakan rumus kuno. Untuk itu pemerintah diminta untuk menetapkan formula perhitungan harga BBM yang baru.

Ketua TRTKM Faisal Basri menjelaskan dalam menentukan patokan alpha untuk mengitung harga premium pun berubah-ubah. Bahkan dalam perhitungan baik dari hari ke hari atau dari bulan ke bulan, perhitungan sudah mengalami perubahan yang signifikan.

Misalnya, harga premium sebelum 1 Januari 2015 menggunakan rumus 3,32 persen dari MOPS ditambah Rp484 dan ditambah Gamma, sehingga angka yang diperoleh mendapatkan Alpha sebesar Rp728 per liter. Kemudian, per 1 Januari 2015 perhitungan pun kembali berbeda 3,92 persen dikalikan Harga Indeks Pasar (HIP).

Dia menambahkan harga premium pada 19 Januari 2015 juga memiliki alpha yang berbeda yaitu Rp1.195 per liter. Jika mengacu kepada rumus tetap 3,92 persen, sebelumnya ditambah Rp672 lalu meningkat menjadi Rp1.022. Sehingga total Rp1195 per liter. Artinya ada tambahan stock of money Rp300 sampai Rp350 per liter.

Dia menjelaskan stock of money terjadi karena adanya Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) yang mengalami kerugian akibat membeli premium dengan harga yang mahal dan menjual dengan harga murah pada saat harga premium mengalami penurunan secara berkala. Misalnya pada tanggal 19 Februari, berdasarkan perhitungan 3,92 persen kalikan HIP ditambah Rp830. Perhitungan tersebut tidak ada stock of money karena harganya mengalami kenaikan. Jika harga naik maka SPBU akan untung.

"Biasa perusahaan kalau rugi baru bilang, kalau untung tidak pernah bilang," kata Faisal di Kantor TRTKM, Jakarta, Rabu (1/4).

Menurutnya jika perhitungan tersebut masih tetap digunakan maka angka harga premium bisa mendekati harga Pertamax. Artinya harga premium dinilai masih tergolong lebih mahal ketimbang harga pertamax. Oleh karena itu, pemerintah diminta untuk transparan mengenai perhitungan harga BBM khususnya jenis premium atau setara dengan Ron88 yang sudah tidak dijual lagi di pasaran.

"Harus ada versi perhitungan yang mantap. Tidak bisa seenak udelnya sendiri," kata Faisal.

Sementara itu, menurut Direktur Eksekutif Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB) Ahmad Safrudin penetapan harga premium harus dihitung seberapa besar harga pokok produksi dengan mengacu biaya crude oil. Artinya sesuai dengan mutu dan sumbernya, baik pengolahan dan biaya secara keseluruhan, serta kewajaran dari profit margin dan biaya pokok impor produk BBM ditambah nilai wajar profit margin.

Menurutnya selama ini penetapan harga pokok produksi premium selalau menggunakan acuan harga produksi BBM tetapi kualitasnya berbeda. Misalnya Ron 88, dimana hanya Indonesia saja yang masih menggunakan jenis BBM Ron 88. Menurutnya dengan pemerintah berencana menaikkan harga BBM, seharusnya pemerintah harus memperbaiki tingkat kualitas BBM.

Dia menambahkan jika pemerintah ingin mengambil untung dari sektor migas, pemerintah harus melakukan dengan cara yang sesuai dengan aturan hukum. Misalnya menetapkan pajak emisi seperti emissions tax, carbon tax sebagai tambahan pajak BBM yang telah diterapkan selama ini.

Oleh karena itu, Ahmad menilai perlu adanya transparansi kebijakan penetapan harga BBM subsidi. Ahmad menduga ada manipulasi dalam penetapan harga BBM subsidi dimana Pertamina dan Pemerintah menggunakan acuan BBM yang kualitas lebih tinggi.

"Harga BBM harus ditetapkan secara rasional dan realistis," kata Ahmad.

BACA JUGA: