JAKARTA, GRESNEWS.COM - Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dinilai bisa melakukan audit investigasi terhadap anak usaha PT Pertamina (Persero) yaitu PT Pertamina Energy Trading Limited (Petral). Sebab meskipun Petral berada di luar negeri, saham mayoritas masih dimiliki oleh Pertamina.

Sebelumnya Staf Ahli Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Said Didu menyatakan BPK tidak bisa melakukan audit investigas terhadap Petral. Sebab badan hukum perusahaan tersebut berada di negara asing.

Menanggapi pernyataan tersebut, Direktur Eksekutif Indonesia Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara meyakini BPK dapat melakukan audit Petral. Marwan mencontohkan seperti kasus Indover Bank, dimana BPK mengirimkan timnya ke Belanda untuk menelisik kasus Indover Bank pada tahun 2008 silam. Kasus tersebut melibatkan pemerintah dalam penjaminan bank kepada sejumlah bank di dalam negeri dan luar negeri.

Menurutnya BPK tidak bisa melakukan audit investigasi jika saham pemerintah minoritas. Berbeda dengan Petral dimana saham mayoritas dimiliki oleh Pertamina selaku BUMN.

Sehingga ia menyarankan pemerintah mengkaji kembali rencana pembubaran Petral, sebab Petral dalam melakukan transaksi membeli crude oil dan Bahan Bakar Minyak (BBM) lebih mudah mendapatkan dolar karena sudah memperoleh kepercayaan dari perusahaan lain. Jika peran Petral dipindahkan ke Indonesia, maka akan terjadi perubahan dolar, terkait pembayaran deviden ke luar negeri. Sehingga membuat nilai tukar mata uang menjadi terganggu.

"Saya tidak menganggap isu Petral bubar penting atau mendesak. Saya melihat tata kelola korporasi yang baik, bebas KKN dan transparan yang kemudian menjadi lebih penting," kata Marwan pada Gresnews.com, Jakarta, Selasa (28/4).

Sementara itu, Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan mengatakan Petral selama ini bermasalah karena tidak pernah transparan tentang transaksi minyak mentah dan minyak jadi. Bahkan Mamit menghitung kerugian negara jika dalam transaksi ekspor impor antara Pertamina dengan Petral sebesar US$750 ribu per harinya. Angka kerugian US$750 ribu dalam setiap transaksi itu karena adanya penggelembungan harga (mark up) sebesar US$1.

"Jadi dengan mark up US$1 saja segitu (US$750 ribu). Saya tidak kebayang berapa kerugian negara," kata Mamit kepada Gresnews.com.

Mamit juga mengungkapkan ada dua hal yang menyebabkan munculnya mafia migas. Pertama, soal pembelian impor minyak mentah maupun impor minyak jadi. Menurutnya hal itu menjadi satu peluang bisnis yang memiliki keuntungan dengan angka yang besar. Kedua, ketika pemerintah menjual haknya atas sumber daya alam (SDA) kepada pihak luar. Hal itu terjadi karena kemampuan anak bangsa tidak mampu mengolah SDA. Ketika dalam proses menjual tersebut mafia migas muncul untuk mempermainkan harga.

BACA JUGA: