JAKARTA, GRESNEWS.COM - Rencana pemerintah mengeluarkan kebijakan kepemilikan terbatas bagi Warga Negara Asing (WNA) atas properti berupa hak milik satuan rumah susun (HMSRS) atau populer disebut apartemen dianggap kebijakan diskriminatif. Sebab, di sisi lain, terdapat Warga Negara Indonesia (WNI) sendiri yang justru tak bisa memiliki properti dengan status hak milik (HM) atau hak guna bangunan (HGB) atas tanah dan bangunan lantaran menikah dengan WNA.

Sebelumnya Presiden Joko Widodo (Jokowi) berencana mengizinkan warga asing boleh memiliki apartemen mewah senilai Rp 5 miliar ke atas saja. Hal itu disampaikannya terkait rencana revisi Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1996 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesia (PP 41/1996).

Namun rupanya rencana kepemilikan terbatas properti WNA di atas Rp 5 miliar ini menuai polemik. Ternyata bertentangan dengan dua beleid yakni Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UU PA) dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Jika kedua beleid itu tidak direvisi maka potensial terjadi kerancuan, lantaran WNA yang menikahi WNI kehilangan status hak milik (HM) atau hak guna bangunan (HGB) atas tanah dan bangunan.

Seperti yang terjadi pada kasus Ike Farida, seorang advokat yang juga anggota Masyarakat Perkawinan Campuran (Perca) Indonesia, yang menikah dengan WN Jepang dan gugur haknya dalam membeli properti lantaran pengembang membatalkan sepihak dengan menggunakan ketentuan Pasal 35 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Pasal 35 Ayat (1) UU Perkawinan menyatakan perempuan yang menikah dengan warga negara asing dilarang membeli tanah atau bangunan dengan status hak guna bangunan.  Beleid UU Perkawinan itu mengacu pada UU PA yang menyatakan WNA jelas tak memiliki hak milik (HM) atau hak guna bangunan (HGB) atas tanah dan bangunan. WNA hanya dapat diberi hak atas tanah dengan status Hak Pakai dengan jangka waktu tertentu.

"Proses pengujian UU PA dan UU Perkawinan di Mahkamah Konstitusi (MK) masih berjalan, besok Rabu (29/7) plenonya berjalan," kata Melva Nababan, anggota Dewan Pengawas Masyarakat Perca Indonesia, kepada gresnews.com, Senin (27/7).

Melva memastikan, judicial review (JR) ini harus mengakomodasi dan mempertegas hak konstitusi WNI. "Pemberian properti ke WNA ini niatnya untuk mendatangkan investor, tapi pemerintah seharusnya juga terbuka pada kasus seperti Ike. Sudah banyak sekali kasusnya," ujar Ike.

Pemerintah jadi terkesan mendahulukan kepentingan WNA dibanding kepentingan warga negaranya sendiri. Di lapangan, Ike-Ike yang lain banyak terbentur peraturan yang diskriminatif, hak-haknya sebagai WNI dikebiri lantaran perkawinan. "Perca bersama Ike memperjuangkan sisi kewarganegaraan kami," ujarnya.

Pemerintah tidak menengok persoalan yang dihadapi WNI pelaku kawin campur yang umumnya tidak memiliki perjanjian kawin (pemisahan harta). Mereka dinilai lebih melihat aspek bisnis, padahal jelas dalam UU PA, WNA hanya boleh memiliki hak pakai saja.
 
Di mata pemerintah kepemilikan properti bagi WNA di Indonesia ini  memberi keuntungan melalui penerimaan devisa, selain itu, pemberian hak kepemilikan properti juga akan mendorong WNA menjalankan aktivitas bisnis di Indonesia. Untuk itu, di sisi lain, sebagian golongan pun berharap pemerintah segera menerbitkan revisi UU PA atau revisi PP 41/1996.

SKEMA KEPEMILIKAN ASING - Pengamat ekonomi politik Hendrajit mengatakan pemberian hak properti bagi WNA ini menimbulkan tanda tanya besar. Apalagi setelah DPP Real Estate Indonesia (REI) juga ikut mendorong pemerintah untuk merevisi PP 41/1996.

"Ini awal pintu masuk menuju kolonialisme ekonomi. Revisi arahnya memberi ruang kepemilikan asing," katanya kepada gresnews.com, Senin (27/7).

Dilihat pada tingkatan yang lebih tinggi, kasus ini dianggap mewakili kepentingan konglomerat asing yang menyasar penguasaan lahan selama ini. Ia menduga ada agenda tersembunyi dari mulai pelan-pelan dibukanya kran kerjasama asing, utamanya dengan China.

"Soal penguasaan lahan tanah dan properti, jangan dianggap enteng, dalam skema ekonomi hal ini merupakan tahapan awal untuk menanam pengaruh di wilayah-wilayah yang punya nilai strategis secara geopolitik di Indonesia," katanya.

Ia pun membeberkan cerita seputar pemberian izin Gubernur Ahok kepada anak perusahaan Agung Podomoro yang ngotot hendak melakukan reklamasi di pantai Jakarta untuk pembangunan apartemen. Hal serupa juga terjadi dengan manuver para taipan dalam penguasaan lahan tanah di Madura pada era Suharto yang membonceng kerjasama dengan pabrik semen negara, Indocement.

Pemberian izin proyek reklamasi pulau di Teluk Jakarta kepada anak perusahaan PT Agung Podomoro, yaitu PT Muara Wisesa Samudera pada perkembangannya akan dijadikan pintu masuk untuk membangun 17 pulau buatan, sebagai landasan untuk mengembangkan sebuah megaproyek yang bernama Giant Sea Wall. Kekhawatiran kian merebak ketika megaproyek itu mengindikasikan adanya keterlibatan para taipan yang dikenal dengan julukan sembilan naga untuk menguasai kawasan Jakarta dan sekitarnya secara geopolitik.

Pemberian hak properti dan didorongnya revisi PP 41/1996 menyempurnakan pihak asing dalam mewujudkan dua dari tiga sasaran pokok perang asimetris  untuk menguasai wilayah tanah air secara geopolitik. Yaitu, membelokkan sistem sebuah negara sesuai arah kepentingan kolonialisme dan kapitalisme global, melemahkan ideologi serta mengubah pola pikir rakyat, dan elite pimpinan nasional.

Pada tahap awal, memang sekadar memberi izin kepada pelaku bisnis asing untuk memiliki properti. Namun pada perkembangannya, pihak asing akan diperbolehkan untuk memiliki tanah. Lantas, pada tahapan yang lebih strategis, pemerintah akan memberi izin kepemilikan pulau-pulau terluar yang berbatasan dengan negara-negara tetangga.

"Ketika nanti terjadi lagi sengketa berbatasan seperti dalam kasus Sipadan dan Ligitan, maka potensi hilangnya pulau-pulau tersebut sangatlah besar," ujarnya.

Ia menduga, jika rencana pemerintah memberikan izin kepada asing untuk memiliki properti di Indonesia dilanjutkan melalui Revisi PP No 41/1996 maka jelas ada tali-temali dengan keputusan Ahok merestui mega proyek Giant Sea Wall dan Reklamasi Pulau di Teluk Jakarta.

KASUS LAIN PERTARUNGAN CINA-JEPANG DI MADURA - Hendrajit menjelaskan contoh kasus lainnya pemanfaatan peraturan properti untuk asing muncul dalam kisah Liem Soe Liong dengan para kongsi taipan China yang mengakali lahan masyarakat di Pulau Madura, Jawa Timur.  Pada 1983, dengan dipayungi oleh Surat Izin dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKMP) tertanggal 31 Desember 1983, Liem Soe Liong atau yang kelak bernama Indonesia Sudono Salim, mulai mengibarkan bendera PT Perkasa Krida Hasta Indonesia Cement Enterprise (PKHICE).

Melalui PKHICE, Liem mulai menjalankan rencananya mengangkangi tanah Madura memanfaatkan peraturan lewat kerjasama dengan Semen Gresik. Dalam kongsi bisnis yang menelan biaya Rp 600 miliar ini, Liem bermitra dengan Ibrahim Risyad, Bimantara dan Mitrao, saat itu, satu dolar AS masih dinilai sebesar Rp 2000.

Liem kemudian mendapatkan momentum ketika Semen Gresik pada 1981-1982 yang bermaksud memperluas pabriknya di kawasan Madura, kemudian dengan berbagai pertimbangan, mundur teratur dan membuka pintu masuk bagi Liem untuk mengambil-alih peran yang dimainkan Semen Gresik sebelumnya.

Menurut Hendrajit, Liem sedang melakukan manipulasi kepada masyarakat dengan membonceng Semen Gresik sebagai proyek pemerintah. Proyek yang digarap PKHICE ini dipandang sebagai perluasan dan pengembangan dari Semen Gresik. Padahal, secara de fakto Liem membeli tanah tersebut untuk kepentingannya sendiri.

"Liem membeli 492 hektar dari 692 hektar lahan milik Semen Gresik, seharga Rp 500 juta," katanya.

Awalnya, Semen Gresik yang membeli 692 hektar lahan dari masyarakat Madura seharga Rp 2000 per meter, meski kenyataannya penduduk hanya menerima Rp 400 per meter. Lebih celakanya lagi, pabrik semen milik Salim Group ini juga tak kunjung terwujud padahal Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) sudah mengeluarkan izin yang masa berlakunya hingga 1986. Tapi lahan Salim Group justru malah semakin mengembang menjadi 700 hektar, setidaknya di 3 kecamatan: Kamal, Socah dan Labang, di Kabupaten Bangkalan.  

Lahan tersebut dibebaskan oleh operator-operator bisnisnya dengan harga Rp 200 sampai Rp 1000 per meter. Ia mematok pembelian lahan seharga itu dengan merujuk pada SK Bupati Bangkalan 1983 tentang patokan harga tanah untuk kepentingan pemerintah dan BUMN.

Belakangan di Madura juga ikut muncul William Suryajaya dan anaknya Edward yang berbendera Summa Group. Willem mendapat dukungan mantan Gubernur Jawa Timur Mohammad Noer, begitu masuk ke Madura, Summa Group segera mengibarkan bendera PT Dhipa Madura Pradana (DMP).  Di DMP, Summa menguasai saham mayoritas. Maka dimulailah gagasan besar grup Summa yaitu, membangun jembatan yang menghubungkan Madura - Surabaya.

Bedanya dengan Liem, Willem dan Summa Group nampaknya memperluas mitra usahanya dengan menggandeng Jepang untuk mempresentasikan gagasan jembatan itu di Japan-Indonesia Science and Technology (JIF). JIF ini merupakan forum kerjasama Indonesia-Jepang yang waktu itu diketuai oleh Prof DR BJ Habibie.  Gagasan Summa Group ini mendapat dukungan dari sejumlah pengusaha besar Jepang antara lain C Itoh, Mitsubishi, Shimizu dan Long Term Credit Bank of Tokyo.  

Alhasil, pada 20 November 1990, DMP dan para taipan Jepang menandatangani Memorandum of Understanding (MOU) di Tokyo, untuk pembangunan proyek jembatan sepanjang 3 km, lebar 21 m dengan 6 jalur kendaraan.

Dari cerita ini, selain Cina, Jepang pun punya maksud terselubung di Madura. Melalui momentum bantuan pembangunan jembatan ini, para pebisnis Jepang berkeinginan untuk menjadikan Madura sebagai kawasan Industri dan real estate.

Sekelumit kisah ini menggambarkan bahwa sejak tahun 1980-an di sebagian kecil kawasan Indonesia saja sudah menjadi sasaran arena pertarungan antar taipan, dan bahkan antar negara-negara asing yakni Cina dan Jepang. Dengan membuka kran properti bagi WNA, Indonesia akan menjadi sasaran serbuan pemilik modal baik dari dalam maupun luar negeri.

"Harus ada jaring pengamannya, properti ini diberikan dalam kategori dan tujuan apa? Harus ada otoritas negara yang ikut mengontrol konglomerat," katanya.

HAK PADA BANGUNAN SAJA - Namun, anggota Komisi V DPR Abdul Hakim tak mempermasalahkan wacana kepemilikan properti oleh asing ini. Sebab, properti yang diberikan seharusnya hanya bangunannya saja dan tidak boleh ada kepemilikan tanah. "Jika bangunannya bisa dan mau dibawa ke negara asal maka silakan saja," katanya kepada gresnews.com, Senin (27/7).

Hak tanah ini, menurutnya, tetap harus dikuasai oleh WNI, sehingga menyoal diskriminasi pada WNI yang menikah dengan WNA ia meminta pengkajian kembali. Sebab tanah air mutlak merupakan hak bersama WNI yang telah diamanatkan oleh Pasal 33 UUD 1945 ayat (3) yang menyatakan bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

"Harus ditinjau ulang, tak boleh ada diskriminasi, tanah air milik kita bukan untuk asing," katanya.

Untuk itu, ia meminta adanya pembatasan ketat bagi wacana sewa dan kepemilikan rumah bagi WNA. Pengaturan ini harus mencakup pembatasan jumlah pembelian properti. Jangan sampai WNA membeli properti yamg terlampau banyak dan berimplikasi pada investasi yang tak produktif.

Sebagai bahan pembanding, di Amerika, misalnya, akibat pembelian properti yang berlebihan oleh WNA maka terdapat investasi tak produktif lantaran properti yang dibeli kosong, tak berputar, dan tak ada daya manfaat. "Pemerintah perlu batasi wilayah pembelian, lama sewa, dan jumlah properti sewaan," tandasnya.

Analis PT Mandiri Sekuritas Liliana S. Bambang menilai sentimen terhadap rencana kebijakan itu akan positif jika orang asing diperbolehkan membeli tempat tinggal dengan status kepemilikan yang sama dengan warga negara Indonesia (WNI). "Jika status kepemilikan berbeda, ada risiko bahwa hal itu tidak akan menjadi bankable," ujar Liliana dikutip dari riset.

Selain itu, Liliana menilai jika pemerintah membedakan status kepemilikan properti tersebut, dapat menimbulkan risiko aset tersebut nantinya tidak dapat dijual kepada WNI.  Akibatnya, untuk memanfaatkan kebijakan tersebut maka pengembang properti harus membangun sebuah menara apartemen khusus untuk orang asing berbeda dengan apartemen bagi orang lokal.

Kalau itu sampai terjadi justru akan meningkatkan risiko persediaan properti yang tidak terjual menjadi tinggi, dan membuat para pengembang meredam minat untuk menjual produknya kepada ekspatriat. "Pada saat ini, kami tidak melihat dampak langsung terhadap penjualan pemasaran jika kepemilikan asing diperbolehkan, karena terdapat anekdot bahwa pemerintah akan lebih ketat dalam mengeluarkan kartu izin tinggal terbatas/tetap (KITAS) untuk orang asing," jelasnya.

BACA JUGA: