JAKARTA, GRESNEWS.COM - Sengketa kewenangan antara Badan Pengusahaan (BP) Batam dan Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau terus meruncing. Tumpang tindih kewenangan ini telah mengakibatkan timbulnya ketidakpastian hukum yang mempengaruhi iklim investasi. Konflik yang telah berlangsung bertahun-tahun telah berakibat pada menurunnya nilai investasi ke wilayah tersebut.

Persoalan tersebut  sepertinya juga belum akan menemukan titik temu. Kendati dirapatkan  antara DPR RI, Menteri Dalam Negeri, Menko Bidang Perekonomian, Ombudsman, Menteri ATR, dan Dewan Ketahanan Nasional sebanyak 17 kali. Namun belum ada solusi yang pasti dan masih berkutat di permasalahan yang sama.   

Terakhir Tim Komisi II DPR RI mendorong dibentuknya Panitia Khusus (Pansus) yang akan membahas permasalahan sengketa kewenangan antara Pemerintah Kota Batam dan Badan Pengusahaan Kawasan Batam. Pembentukan Pansus itu nantinya akan melibatkan sejumlah Komisi, di antaranya Komisi I, Komisi II dan Komisi VI. DPR menghendaki persoalan itu diselesaikan dari sisi politis.
 
"Kami akan memilih cara itu untuk selanjutnya bisa diputuskan di Rapat Paripurna dan menjadi terobosan agar masalah menjadi jernih," ujar anggota Komisi II DPR, Rufinus Hotmaulana Hutahuruk, seperti dilansir dpr.go.id.

Menurut politisi Partai Hanura ini, investasi  di Batam menurun drastis karena sengketa kewenangan yang terus berlarut larut. Menurutnya sengketa kewenangan dua pihak itu harus segera diselesaikan agar tidak menimbulkan keresahan di masyarakat dan investasi.

Tim Komisi II DPR RI yang dipimpinnya juga telah menggelar pertemuan dengan sejumlah stake holder dalam Kunjungan spesifik Panja Otonomi Daerah ke Provinsi Kepulauan Riau.

Dalam pertemuan yang berlangsung Selasa ( 18/4) lalu di Gedung Graha Kepri Batam, pihaknya juga telah menerima masukan dari sejumlah pihak. Diantaranya dari Gubernur Kepri Nurdin Basirun. Dalam kesempatan itu Gubernur Kepri meminta masalah sengketa kewenangan di Batam segera diselesaikan. Menurutnya  permasalahan itu telah menjadi kendala pembangunan dan perkembangan ekonomi.

Soal usulan Pembentukan Pansus oleh DPR RI, Nurdin mengaku menyerahkannya kepada DPR.  "Di pagar itu saya tidak boleh masuk, mereka yang punya wilayah," ujarnya.  

Harapan yang sama juga disampaikan Wali Kota Batam Muhammad Rudi. Rudi juga menghendaki masalah kewenangan itu segera diatasi, bagaimanapun caranya. Termasuk bila harus melalui Pansus DPR RI.

Menurutnya permasalahan di Batam terjadi, mulai dari persoalan lahan, masalah kewenangan  serta masalah lainnya. "Apa yang ditangani kami, BP tangani juga. Saran kami, ada pembagian wilayah kerjalah. BP Batam dimana, Pemkot dimana," tandas Rudi.

Wakil Wali Kota Batam, Amsakar Achmad  menambahkan, selama ini penyelesaiannya di lapangan  tak kunjung ada kepastian. Kendati semua permasalahan yang terjadi di Batam diketahui juga oleh Pemerintah Pusat.

Menurut Amsakar, Pemerintah Pusat harus memperjelas status Batam. Apakah akan tetap menjadi Free Trade Zone (FTZ) atau menjadi Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Meskipun dalam hal ini Pemko lebih ingin status Batam menjadi KEK. Sebab FTZ kini sudah tidak menarik lagi.

"Kita sebaiknya beralih ke KEK sebagaimana arahan Presiden. Nah kewenangan kami antara Pemkot dan BP Batam tinggal ditata saja. Tak ada tumpang tindih di wilayah yang sama," kata  Amsakar

Namun Deputi 4 BP Batam bidang Pengusahaan Sarana Usaha lainnya Purba Robert M Sianipar justu menilai, permasalahan yang terjadi antara BP Batam dan Pemkot Batam, bukan dari sisi regulasi. Namun lebih ke wilayah kerja BP Batam yang hampir keseluruhannya berada di lahan yang sama dengan Pemko Batam.

Menurutnya jika melihat peraturan perundang-undangan tidak ada overlapping. "Namun karena wilayah kerja BP Batam itu 65 persennya ada di Pemkot, dan mayoritas penduduk dan ekonomi ada di sini, seakan-akan ada dualisme, tumpang tindih," beber Robert

Namun Soal kepastian status Batam, apakah akan memilih sebagai FTZ atau KEK.  Robert mengaku,  pihaknya hanya melaksanakan tugas sesuai aturan yang ada. "Kita ikuti saja arahnya kemana. Tentunya Batam akan disebut KEK transisi, ada periode waktunya. Kita harus bersiap dengan itu," ujar Robert.

Sebelumnya  Wakil Ketua Komisi II DPR Lukman Edy juga menilai tumpang tindih kewenangan antara Badan Pengusahaan Batam dengan Pemerintah Daerah Setempat menyebabkan turunnya iklim investasi yang juga berpengaruh pada daerah sekitar. Rumitnya  permasalahan di sana telah kontradiktif dengan tujuan dibentuknya otorita Batam sebagai pusat perdagangan.

"Kondisi semacam ini seharusnya dikelola secara serius oleh pemerintah baik pusat dan daerah serta BP Batam sebagai pihak yang memiliki kewenangan di Batam," ujarnya.


PEMERINTAH PUSAT BENTUK KEK - Menyikapi kondisi tumpang tindih kewenangan antara Badan Pengusahaan (BP) dengan Pemerintah Kota (Pemkot) Batam, sebenarnya telah di putuskan pemerintah pusat
dengan membentuk Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) di wilayah tersebut.


"Kawasan Ekonomi Khusus ini dipandang bisa mendamaikan persoalan tarik-menarik otoritas antara Pemkot Batam dan BP Batam, karena kewenangan-kewenangan antara Pemkot Badan nanti akan berada dalam PTSP (Pelayanan Terpadu Satu Pintu)," ujar Wakil Sekretaris Kabinet (Waseskab) Bistok Simbolon saat Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi II DPR RI,  September tahun lalu.

Diakui Bistok, sebenarnya ada beberapa skenario yang diusulkan pemerintah. Namun dari rapat dengan sejumlah kementerian/lembaga bersama Menko Perekonomian, usulan tersebut mengerucut kepada satu bentuk yang dipandang lebih baik untuk mengatasi persoalan Batam dan sekaligus menjadikan Batam wilayah yang kompetitif secara global. Pilihan itu adalah Kawasan Ekonomi Khusus (KEK).

Untuk itu menurutnya dirasa perlu untuk mengubah susunan Dewan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan bebas Batam. "Yang tadinya ex officio dipimpin oleh Gubernur, sesuai dengan usulan Gubernur Kepulauan Riau (Kepri). Sehingga  lahir Keputusan Presiden Nomor 8 Tahun 2016  tentang Dewan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam yang dipimpin langsung oleh Menko Perekonomian," ujar Bistok. Sedang  anggota Dewan adalah Gubernur Kepulauan Riau, Ketua DPRD Provinsi Kepri, dan Wali Kota Batam.

Saat itu Bistok juga memaparkan perkembangan  Batam akhir-akhir ini. Dari hasil audit yang dilakukan pada Agustus 2015 lalu Batam dinilai mengalami kemerosotan. Disebutkan Bistok indikatornya  pada masa Badan Otorita tahun 1998-2007, pertumbuhan investasi di sana sekitar 3,12 persen – 14,81 persen. Tetapi sejak Free Trade Zone (FTZ) pertumbuhannya hanya  berkisar 2,19-7,53. "Jadi ada penurunan yang signifikan," paparnya. Demikian juga dengan pertumbuhan sektor tenaga kerja yang juga merosot.

Dari hasil audit itu, Menurut Bistok, pemerintah melihat persoalannya tidak hanya sekedar tumpang tindih kewenangan antara BP Batam dan Pemkot Batam. Masalah pokok yang ditemukan dalam masalah Batam adalah infrastruktur yang belum memenuhi standar internasional, juga tidak adanya kepastian hukum bagi investor, perizinan usaha yang masih lambat, masalah ketenagakerjaan, dan tumpang tindih pengelolaan tanah.

Menurut Bistok juga diperoleh data-data yang cukup signifikan bahwa di Batam masih terjadi penyelundupan besar-besaran. Dari audit itulah presiden memerintahkan Menko Perekonomian untuk melakukan audit pengkajian terhadap eksistensi Batam sebagai FTZ. "Sehingga akhirnya, diputuskan konsep  Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) itu," jelas Bistok. 

BACA JUGA: