JAKARTA, GRESNEWS.COM - Indonesia dikaruniai dengan lautan yang luasnya mencapai 2/3 keseluruhan luas negara. Hal itu di satu sisi mendatangkan keuntungan karena Indonesia juga berkelimpahan sumber daya lautan. Di sisi lain, Indonesia juga rentan menjadi korban tindakan pencurian ikan atau illegal fishing lantaran kesulitan menjaga keamanan wilayah lautnya yang luas.

Dalam praktik illegal fishing itu juga kerap terjadi pencurian biota laut yang dilindungi untuk dijual secara gelap dan disuplai ke wahana hiburan laut atau sea world di seluruh dunia. Baru-baru ini, pihak KKP misalnya berhasil mengamankan seekor ikan hiu paus (Rhincodon Typus) yang terjerat di kawasan Keramba Jaring Apung (KJA) di kawasan Pulau Kasumba, Seram bagian barat, Provinsi Maluku.

Ikan yang oleh masyarakat Papua disebut dengan nama Gurano Bintang itu, ditengarai akan diperdagangkan hidup-hidup ke China. Praktik itu merupakan pelanggaran karena ikan ini termasuk salah satu biota perairan yang sangat dilindungi pemerintah dan masuk daftar merah International Union for Conservation of Nature (IUCN).

"Pengamanan kegiatan ilegal ini merupakan tindak lanjut dari laporan lembaga masyarakat," kata Menteri KKP, Susi Pudjiastuti, di Kantor KKP, Jumat (27/5).

Setelah mendapat laporan dari Wildlife Crime Unit (WCU) Wildlife Conservation Society (WCS), pihak Direktorat Jenderal Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) menginstruksikan stasiun PSDKP Tual dan Satker PSDKP Ambon untuk pengumpulan bahan dan keterangan. Penggerebekan yang dilakukan pada Minggu (22/5) lalu, menemukan sepasang ikan hiu paus dalam keadaan hidup berukuran panjang 4 meter.

Kedua ikan tersebut berada di KJA milik PT Air Biru Maluku, Tawiri, Ambon yang bergerak di bidang ekspor ikan hidup. Keramba ini diketahui milik warga negara China yang tinggal di Singapura bernama Hendrik. Salah satu pengurus keramba merupakan Mayor TNI AL Bagus Aryanto, sedang seorang laim diduga merupakan anggota satgas 115.

"Oknum diduga satgas ini mengaku bahwa ikan hiu paus tersebut merupakan hasil pertukaran G to G antara pemerintah Indonesia dengan China. Padahal kita tidak ada itu, ilegal," tegas Susi.

Ikan hiu paus tersebut ditangkap menggunakan alat tangkap purse seine (pukat cincin) di perairan dekat Pulau Kasumba sekitar 10 mil ke arah barat Pulau Kasumba. Rencananya setelah dari KJA tersebut, ikan akan diekspor ke negara China secara ilegal. "Ikan sudah di keramba selama 3 bulan, coba ini kalau tidak ada laporan masyarakat kita bisa kecolongan," kata Susi.

Modus penangkapan ikan ini ditutupi oleh ikan segar lain diatasnya, dan dibius. Nantinya pengiriman ke China pun dilakukan menggunakan pesawat yang disewa khusus dengan cara membius ikan hiu paus tersebut. Ditaksir hasil penjualan ikan bisa mencapai Rp1,5 miliar per ekor, sedangkan Susi mengatakan hal ini diyakininya bukan yang pertama kali terjadi.

"Ini ambilnya saja pakai pesawat mahal, di dunia kan banyak sea world, 70 persen isinya dari Indonesia karena negara kita paling luas lautnya tapi kontrolnya paling jelek, banyak pelanggaran, banyak oknum hukum nakal," ujarnya.

Upaya tindak lanjut dari penangkapan ini, KKP sudah mengirimkan surat ke Singapura dan China untuk melakukan komplain secara diplomatik. "Kan kita sudah kerjasama ASEAN seharusnya mereka tak boleh seperti itu, kita selalu jadi korban. Oknum pengusaha Indonesia hanya cari keuntungan saja," ujar Susi.

Selanjutnya ikan hiu paus tersebut akan dikembalikan ke habitatnya setelah diberi tanda agar bisa dideteksi keberadaannya dan tak lagi menjadi korban penyelundupan. "Hiunya memang cenderung mendekat jika ada orang, dia jinak sekali," katanya.

Sementara itu, Coutry Director WCS Indonesia Noviar Andayani mengatakan, pihaknya sudah beberapa kali bekerjasama dengan KKP untuk melindungi spesies laut langka. Sebab upaya perdagangan dianggap merupakan ancaman terbesar spesius tersebut.

"Kita sudah mengindikasikan selama setahun lalu, tapi pengintaian dilakukan seminggu sebelum penggrebekan," kata Noviar dalam kesempatan yang sama.

Lokasi keramba yang terpencil pun menurutnya merupakan salah satu tantangan yang cukup menyulitkan. Untuk menuju ke sana, harus menempuh 4 jam perjalanan dari pelabuhan Ambon dan hanya menggunakan speedboat. Noviar menegaskan kembali pernyataan Susi dimana ikan tersebut memang akan diekspor ke China sebagai salah satu biota pelengkap seaworld. "Diekspor dalam keadaan hidup, kabarnya untuk suplai akuarium," jelasnya.

PENYELUNDUPAN LOBSTER - Sebelumnya, Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan (BKIPM) Denpasar bersama Bea dan Cukai Bandara Internasional Ngurah Rai Bali dibantu aparat kepolisian juga berhasil menggagalkan upaya penyelundupan benih lobster. Sejumlah 122 ribu benih lobster senilai Rp5 miliar itu akan diselundupkan ke Singapura melalui kargo Internasional Bandara Ngurah Rai Denpasar, Bali.

Kepala Seksi Penindakan dan Penyidikan Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai (KPPBC) Tipe Madya Pabean Ngurah Rai Jatmiko Wibowo mengatakan, bibit lobster itu dikemas dalam 24 dus. Nah, tiap dus diisi dengan 20 kantong plastik yang isi per kantongnya mencapai 255 ekor bibit lobster.

Pada saat melaksanakan pemeriksaan ulang terhadap hasil perikanan yang hendak diekspor, petugas menjumpai 24 box kardus yang tidak diurus/tidak diketahui pemiliknya. Pada dokumennya tertulis berisi garmen dengan agen Lintas Dewata Cargo (LDC) dan Regulated Agen Multi Cemerlang.

Petugas menaruh kecurigaan karena kemasan tersebut terasa ringan bobotnya ketika diangkat. Petugas berkoordinasi dengan pihak security bandara untuk memeriksa barang tersebut dengan menggunakan X-Ray. Hasil X-Ray menunjukkan terdapat kantong-kantong kecil didalamnya dan setelah dibuka ternyata berisi benih lobster. Benih lobster tersebut tersebut rencananya akan dikirim ke Singapura pada pk.06.00 WITA menggunakan pesawat Air Asia QZ 502.

Kepala Balai Karantina Ikan Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan Kelas 1 Denpasar Habrin Yake, menerangkan, penyelundupan benih lobster melanggar Permen KP No 1/2015. "Temuan ini akan ditindaklanjuti. Mencari siapa pelaku dan pendukung dari kegiatan ilegal tersebut," ujarnya.

Pihak Bea Cukai beberapa hari kemudian, tepatnya hari Selasa (24/5), juga berhasil menggagalkan penyelundupan bibit lobster sebanyak 6.250 ekor. Lagi-lagi, bibit lobster itu akan dikirim ke Singapura, kali ini melalui Bandara Internasional Lombok (BIL).

Kepala Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea Cukai Tipe Madya Pabean C Mataram, Himawan mengatakan, bibit lobster itu akan diselundupkan oleh seorang penumpang Silk Air Fight nomor MI 127 tujuan Singapura. Nilai bibit lobster yang akan diselundupkan itu diperkirakan mencapai Rp312,5 juta.

"Di dalam koper, kami temukan baby lobster yang dikemas dalam 25 kantong plastik yang diisi air dan oksigen, hasil cek jumlahnya ada sekitar 6.250 ekor," ungkap Himawan.

Kepala Kantor BKIPM Kelas II Mataram Muhlin menegaskan, sebagian besar barang bukti baby lobster masih hidup dan akan dilepasliarkan di kawasan konservasi perairan Teluk Nare disaksikan oleh penyidik Bea dan Cukai maupun dari Polda NTB.

"Sebagian kecil atau sebanyak dua kantong plastik yang berisi sekitar 500 ekor baby lobster, kami jadikan barang bukti untuk kepentingan penyidikan proses hukum terhadap pelaku," jelas Muhin.

REVISI ATURAN - Terkait maraknya pencurian biota laut termasuk yang dilindungi ini, Susi Pudjiastuti berencana merevisi sanksi atas pelaku kejahatan pencurian ikan, terutama yang sifatnya transnasional. Untuk itu, kata Susi, dia mendatangi konfrerensi di Wina, Austria mendesak agar illegal fishing ditetapkan menjadi kejahatan transnasional.

Alasnanya, illegal fishing melibatkan pelaku dan tujuan antar negara dan bermata rantai multinasional. Namun sayangnya perjuangan ini tak serta merta diterima dengan mulus. Beberapa negara afrika dan pasifik memang mendukung, namun, beberapa negara asia menolak.

"Itu karena mereka negara pelaku besar ilegal fishing, tapi sebagian besar positif. Mudah-mudahan 1-2 tahun ke depan sudah masuk, kita kan melewati voting dulu," katanya.

Selain itu, pemerintah juga telah menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 43 Tahun 2016 tentang Pengesahan Agreement on Port State Measures to Prevent, Deter, and Eliminate Illegal, Unreported, and Unregulated Fishing (PSM Agreement). Ratifikasi Persetujuan PSM itu menunjukkan keseriusan Indonesia dalam pemberantasan Illegal, Unreported, Unregulated (IUU) Fishing.

Perpres ini disahkan oleh Presiden Republik Indonesia Joko Widodo pada 4 Mei 2016 dan diundangkan pada 10 Mei 2016 lalu. Sesuai dengan Pasal 29 PSM Agreement, persetujuan ini mulai berlaku 30 hari setelah tanggal penyimpanan di Depositari atas instrumen ratifikasi, penerimaan, persetujuan atau aksesi oleh negara ke dua puluh lima.

Hingga saat ini PSM Agreement telah disahkan, diterima, dan disetujui atau diaksesi oleh 24 negara. PSM Agreement sangat penting dalam memperkuat hukum perikanan nasional, baik dalam konteks law enforcement maupun penguatan kerja sama internasional.

Kepala Biro Hukum dan Organisasi KKP Tini Martini mengatakan, PSM Agreement menjadi wujud komitmen dan kepedulian Indonesia atas upaya-upaya global dalam memberantas IUU Fishing. Pengesahan PSM Agreement merupakan upaya untuk memperkuat kedaulatan maritim dan pengejawantahan Nawacita.

"Dengan disahkannya PSM Agreement oleh Indonesia, diharapkan dapat memberi manfaat bagi Indonesia, khususnya dalam upaya pemberantasan IUU Fishing melalui penerapan ketentuan negara pelabuhan yang efektif," ujar Tini dalam keterangan tertulisnya.

Tini menambahkan bahwa PSM Agreement juga dapat berguna dalam memastikan konservasi jangka panjang dan pemanfaatan sumber daya hayati laut serta ekosistemnya secara berkelanjutan. Pasca disahkannya PSM Agreement, Indonesia akan segera mengambil langkah-langkah untuk mengimplementasikan PSM Agreement agar upaya pemberantasan IUU Fishing di Indonesia dapat berjalan dengan baik.

BACA JUGA: