JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pada akhir 2015, pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla diprediksi membuat utang Indonesia semakin bertambah hingga Rp13 juta per orang. Namun hal ini dianggap wajar lantaran dianggap masih dalam koridor kemampuan pemerintah melunasinya.

Wakil Ketua Komisi VI DPR RI Azam Azman Natawijana menanggapi permasalahan utang Indonesia ini dengan kepala dingin. Menurutnya, sejauh kisi-kisi utang negara terhadap pinjaman masih memungkinkan maka utang pun tak diharamkan. "Pastikan kita punya pendapatan yang dapat meng-cover utang-utang ini," kata Azam kepada gresnews.com, Minggu (24/5).

Ia mencontohkan pada zaman Presiden SBY, terindikasi utang negara lebih kecil dari pendapatan. Hal ini dapat menjadi gambaran bahwasannya utang tak diharamkan selagi masih berada dalam koridornya. "Jadi jangan dilihat dari sisi setiap orang memiliki pinjaman Rp13 juta tapi lihat kesehatan keuangan negara dengan besar pinjamannya," kata politisi dari Fraksi Partai Demokrat itu.

Ia berharap pemerintah dapat menyelesaikan permasalahan ini dan memupuk keuangan agar pendapatan bruto Indonesia masih bisa meng-cover masalah tersebut. Pemerintah, Bank Indonesia, dan Menteri Keuangan harus dapat menghitung penutupan utang dengan pendapatan.

"Akan menjadi masalah saat dalam penghitungan, pendapatan kita tak bisa cover, seperti Yunani yang tak mampu cover utangnya," katanya.

Sebelumnya, Uchok Sky Khadafi, Direktur Centre For Budget Analysis (CBA), menyatakan setiap penduduk Indonesia akan memiliki utang sebesar Rp13 juta per orang. Berdasarkan data Kementerian Keuangan, posisi utang tahun 2014 pada zaman SBY sebesar Rp2.604 triliun. Hingga bulan Maret 2015, sementara utang tercatat Rp2.795 triliun atau bertambah sekitar Rp191 triliun.

Namun, ternyata sejak APBN-Perubahan disahkan, terdapat kebutuhan anggaran pembiayaan sebesar Rp507 triliun untuk menutupi adanya defisit anggaran dalam APBNP 2015 sebesar Rp222,5 triliun. "Ditambah pembayaran utang jatuh tempo sebesar Rp223 triliun, dan pembiayaan non-utang sebesar Rp62 triliun," kata Uchok dalam pesan singkat kepada gresnews.com, Minggu (24/5).

Anggaran sebesar Rp507,5 triliun untuk menutupi pembiayaan di atas ternyata berasal dari utang sebesar Rp502,4 triliun, dan Rp5,1 triliun dari non-utang. "Ini sama saja gali lubang untuk menutupi lubang, bukan malah memenuhi kebutuhan investasi dalam bentuk proyek-proyek yang produktif," katanya.

Sumber-sumber utang Indonesia, menurut Kementerian Keuangan, pada Maret 2015 sebesar Rp2.796 triliun. Terbagi atas pinjaman luar negeri sebesar Rp696 triliun, dan Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp2.099 triliun.

Pinjaman luar negeri sebesar Rp696 triliun itu berasal dari pinjaman bilateral dari negara Jepang sebesar Rp219,6 triliun, Perancis sebesar Rp24,9 triliun, Jerman sebesar Rp20.4 triliun, dan negara lainnya sebesar Rp77,92 triliun. Kemudian, utang Indonesia berasal dari pinjaman dalam bentuk multilateral seperti Bank dunia sebesar Rp182,8 triliun, Asian Development Bank (ADB) sebesar Rp110,4 triliun, IDB sebesar Rp7,8 triliun, dan lainnya sebesar Rp2,6 triliun. Juga pinjaman Indonesia dari Komersial Bank sebesar Rp46,1 triliun, pemasok sebesar Rp0,21 triliun, dan pinjaman dalam negeri sebesar Rp3,3 triliun.

"Sudah jelas, masih banyak utang luar negeri kita ini sangat menganggu kedaulatan negara ini," katanya.

Pada akhir 2015, Indonesia akan memiliki utang sebesar Rp3.303 triliun yang dibebankan kepada pembayar pajak. Artinya, setiap penduduk punya utang sebesar Rp13 juta.

Melihat kenyataan di atas, Indonesia seperti tidak punya kemandirian di atas kaki sendiri. "Apalagi Jokowi tak malu meminjam lagi ke Bank Dunia sebesar Rp143 triliun," katanya.

BACA JUGA: