JAKARTA, GRESNEWS.COM - Langkah Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memutus kontrak dengan JPMorgan Chase Bank dianggap kurang tepat. Kendati Bank asal Amerika Serikat (AS) yang menjadi dealer utama penjual surat utang itu dianggap mempermainkan Pemerintah Indonesia dengan bermodalkan hasil risetnya.

Wakil Ketua Komisi XI DPR RI, Ahmad Hafizs Tohir mengatakan pemerintah seharusnya tidak cepat mengambil kesimpulan dan langsung memutus kontrak kerjasama dengan JP Morgan. "Perlu dicermati alasan JP Morgan menurunkan peringkat Indonesia itu apa sebabnya, pemerintah harus cek hal tersebut," kata Hafizs kepada gresnews.com, Rabu (4/1).

Politisi PAN ini menyebutkan meskipun dalam riset tersebut JP Morgan memangkas peringkat surat utang, atau obligasi Indonesia. Indonesia dianggap berada dalam posisi cukup buruk, yakni dari peringkat overweight menjadi underweight, atau turun dua peringkat.

Seharusnya pemerintah tidak berhenti begitu saja kerjasama dengan JP Morgan. Sebab ada beberapa lembaga financial yang juga agak buruk perlakukan peringkat ekonomi Indonesia. "Misalnya Standard & Poor´s (S&P) sampai hari ini belum juga keluarkan peringkat risk Indonesia, ada apa ini?," ungkapnya.

Direktur Center For Budget Analysis (CBA) Uchok Sky Khadafi juga menilai langkah pemerintah untuk mengakhiri kerjasama dengan JP Morgan Chase Bank NA adalah langkah yang kurang tepat. " Menteri Keuangan ( Menkeu) Sri Mulyani yang langsung memutuskan untuk berhenti melakukan kerjasama dengan JP Morgan merupakan terlalu terburu-buru," kata Uchok kepada gresnews.com, Rabu (4/1).

Uchok menilai Sri Mulyani saat ini adalah Menkeu bukan lagi sebagai pejabat Bank Dunia, sehingga tidak bisa menganggap sebuah riset sebagai penentu segala. "Seharusnya, Sri itu berterimah kasih kepada JP Morgan, dan bisa untuk memperbaiki apa yang dihasilkan riset tersebut," jelasnya.

Dia menyebutkan, hasil JP Morgan ini, akan berdampak serius, dan investasi asing akan banyak keluar dari Indonesia. "Apalagi, JP Morgan diputus kerjasama oleh Menteri keuangan, hanya mendapat citra jelek buat Indonesia," ujarnya.

DIPERMAINKAN - Menurut Direktur Strategi dan Portfolio Utang Ditjen PPR, Schneider Siahaan, pemerintah memutus kontrak karena merasa dipermainkan oleh JPMorgan. Selama ini, posisi JPMorgan cukup strategis sebagai dealer utama penjual surat utang Pemerintah Indonesia.

Seharusnya, lanjut Schneider, riset yang diterbitkan bisa mengarahkan investor untuk dapat membeli surat utang, bukan sebaliknya. Ia melihat ada indikasi kesengajaan JPMorgan mencari keuntungan berlipat. "Itu dia conflict of interest-nya. Dia agen primary dealer, khan harus bisa mencari pembeli SBN, kok malah rekomendasi jual, mana mau investor beli. Kan kita yang rugi. Di balik itu diam-diam dia beli SBN dengan murah lalu jual lagi. Kan kita jadi mainan dia saja," katanya dalam pesan singkatnya kepada media, Rabu (4/1).

Jadi dugaan pemerintah, JPMorgan sengaja memberi peringkat yang rendah terhadap surat utang pemerintah supaya tidak banyak investor berminat atau bahkan melepasnya. Nah, setelah itu JPMorgan kemudian menampung surat utang yang dilepas investor itu untuk disimpan dan di kemudian hari dilepas lagi untuk meraup keuntungan.

JPMorgan Chase Bank ternyata bukan pertama kali menurunkan peringkat utang RI. Sebelum riset terbaru pada 13 November 2016 lalu, JP Morgan juga pernah mengeluarkan riset setahun sebelumnya yang menyarankan agar investor menjual kepemilikan surat utang pemerintah Indonesia.

Pemerintah sudah cukup baik hanya dengan memberikan peringatan beberapa kali. Akan tetapi kembali terulang, sehingga akhirnya kontrak kemitraan untuk segala hubungan dengan pemerintah Indonesia diputus. "Kejadiannya sudah berulangkali dan sudah diingatkan kepada JPMorgan tapi masih diterusin saja," kata Schneider.

Per 1 Januari 2017, JPMorgan Chase Bank tidak lagi menjadi mitra kerja Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dalam hal apapun. Keputusan tersebut diambil pasca riset JP Morgan berjudul ´Trump Forces Tactical Changes´ pada 13 November 2016 dianggap mengganggu stabilitas sistem keuangan nasional.

"Dampak pada klien kami tidak besar, dan kami masih berhubungan dengan Kementerian Keuangan," kata juru bicara JPMorgan dalam email yang diterima Reuters dikutip gresnews.com, Rabu (4/1/2017).

Akibat diputus kontrak oleh Sri Mulyani, JPMorgan harus kehilangan beberapa posisi. Pertama adalah sebagai dealer utama atau agen penjual Surat Utang Negara (SUN).

Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (Ditjen PPR), melakukan pemutakhiran daftar Dealer Utama Surat Utang Negara (SUN) dan Peserta Lelang Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) sebagai tindak lanjut atas surat Menteri Keuangan, Sri Mulyani, Nomor S-1006/MK.08/2016 tanggal 17 November 2016.

JPMorgan terakhir kali mengikuti lelang SUN pada 8 November 2016 untuk seri SPN03170209 dan SPN12171109 dengan target indikatif Rp 10 triliun dan maksimal Rp 15 triliun. Selanjutnya JPMorgan juga kehilangan posisinya khusus untuk penerbitan Global Bond. Kemudian JPMorgan tidak termasuk dalam daftar bank persepsi untuk penerimaan pajak atas program pengampunan pajak atau tax amnesty. (dtc)

BACA JUGA: