JAKARTA, GRESNEWS.COM - Para pengusaha listrik yang tergabung dalam Asosiasi Produsen Listrik Seluruh Indonesia (APLSI) menyayangkan penolakan subsidi Energi Baru Terbarukan (EBT) oleh Badan Anggaran DPR-RI. Ketua Harian APLSI Arthur Simatupang mengatakan, penolakan subsidi EBT sebesar Rp1,1 triliun untuk tahun 2017 akan berdampak panjang bagi masa depan kedaulatan energi dan komitmen kerjasama internasional di bidang lingkungan.

"Bagaimana dengan komitmen Indonesia untuk menurunkan gas emisi kaca pada tahun 2030 sebesar 29 persen dengan upaya sendiri dan 41% dengan bantuan atau kerjasama internasional pada pertemuan COP 21 tentang perubahan iklim," ujar Arthur, dalam pernyataan tertulis yang diterima gresnews.com, Kamis (22/9).

Dia mengatakan, pemerintah sudah seharusnya mendorong realisasi pengembangan Energi Terbarukan secara besar-besaran. Sebab dalam Kebijakan Energi Nasional (KEN), di sana juga telah dipatok target porsi Energi Baru Terbarukan (EBT) sebesar 23% dalam bauran energi hingga 2025. "Untuk mencapai target itu, salah satu kebijakan yang diperlukan adalah subsidi EBT," tegas Arthur.

Sejalan dengan Arthur, Wakil Bendahara Umum APLSI Rizka Armadhana mengatakan, pihaknya sangat menyesalkan penolakan subsidi itu. "APLSI sangat menyesalkan subsidi energi terbarukan ditolak Banggar," ujar dia.

Dikatakannya, pengembangan EBT sangat penting dan strategis bagi kedaulatan energi nasional. Sebab itu, dia APLSI berharap, DPR dan pemerintah menawarkan skema insentif atau pembiayaan lain untuk menjaga ketahanan energi nasional. "Ada skema insentif lain misal perpajakan atau dana ketahanan energi seperti sawit untuk mendukung EBT," ujar Rizka.

Pihaknya juga mengusulkan alternatif subsidi. "Misalnya seyogyanya pengembangan EBT disatukan ke dalam anggaran subsidi PLN, seperti energi primer lainnya (gas/diesel) dan tidak dipisah-pisahkan," pungkas dia.

Sebelumnya, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengajukan subsidi kepada Badan Anggaran (Banggar) DPR RI untuk EBT dalam Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (RAPBN) 2017. Subsidi ini diajukan untuk memuluskan subsidi energi yang sumbernya tidak pernah habis, seperti matahari, aliran panas bumi, geoterma, dan sebagainya.

Kementerian ESDM mengajukan subsidi sebesar Rp1,1 triliun dengan catatan kurs rupiah berada di level Rp13.500 per US Dollar. Sayangnya, Banggar DPR memutuskan menolak subsidi itu. Alasannya, pemberian bantuan itu tidak masuk dalam kategori subsidi.

Wakil Ketua Banggar DPR Said Abdullah mengatakan, sesuai UU nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi subsidi adalah pemberian bantuan dari pemerintah kepada masyarakat yang tidak mampu. Sedangkan pemberian subsidi dalam konsep EBT yang disusun pemerintah diberikan kepada korporasi, yang sifatnya insentif. "Selama ini mindset subsidi untuk rakyat," ujarnya.

Hal senada juga disampaikan anggota Banggar Isma Yatun. "Saya gagal paham ini untuk dikembangkan kenapa pakai subsidi segala. Di kamus itu subsidi pemberian bantuan uang dan sebagainya kepada yayasan, perkumpulan, dan sebagainya biasanya dari pihak pemerintah. Ini kan buat pengembangan saya rasa nggak cocok pakai subsidi," ujarnya.

KAJI MEKANISME LAIN - Sementara itu, pihak ESDM sendiri menegaskan, pengajuan subsidi EBT ini dilatarbelakangi oleh keengganan PT PLN (Persero) membeli listrik dari EBT dengan harga sesuai peraturan yang ditetapkan pemerintah. Alasannya, Feed in Tariff untuk EBT yang ditetapkan pemerintah jauh di atas Biaya Pokok Produksi (BPP) listrik PLN sebesar Rp1.352/kWh. PLN harus menanggung kerugian kalau dipaksa membeli sesuai aturan pemerintah.

Di sisi lain, harga yang tinggi untuk listrik dari EBT dibuat pemerintah agar investor tertarik mengembangkan sektor ini. Kalau tak ada insentif berupa Feed in Tariff, pengembangan EBT akan sulit berjalan, investor tak mau mengerjakannya kalau tak ekonomis.

Sebagai jalan tengah, maka kini pemerintah mengajukan anggaran subsidi untuk EBT. Subsidi ini untuk menutup selisih antara BPP listrik PLN dengan Feed in Tariff yang ditetapkan pemerintah. Dengan begitu keuangan PLN tidak terganggu, tapi investor juga bisa mendapatkan harga yang cukup ekonomis. Sayangnya tawaran itu ditolak Banggar DPR.

Dirjen EBTKE Kementerian ESDM Rida Mulyana mengatakan, pihak Banggar DPR menyarankan kepada pemerintah untuk mengkaji mekanisme insentif selain subsidi untuk mempercepat pemanfaatan EBT. Karena itu, kata dia, pihak Kementerian ESDM tengah merancang insentif supaya pengembangan EBT tetap ekonomis meski tak disubsidi. "Itu menjadi pekerjaan rumah pemerintah yang harus segera dituntaskan," kata Rida.

Insentif-insentif itu akan dibicarakan bersama oleh Kementerian ESDM dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Rida yakin akan ada jalan keluar karena semua pihak sudah menyatakan dukungan untuk pembangunan EBT. "Itu (insentif dalam bentuk selain subsidi) yang akan kita bicarakan dengan teman-teman di Kemenkeu. Saya masih sangat yakin bahwa semua pihak mendukung EBT karena EBT adalah masa depan kita. Itu keharusan guna menopang pembangunan ekonomi yang berkelanjutan," tegasnya.

Rida mengatakan pihaknya sedang mengkaji model insentif yang bisa diberikan sambil melihat juga penerapan di negara-negara lain. Misalnya di Thailand, Rusia yang mengeluarkan tax holiday khusus untuk EBT. "Ke depan saya maunya begitu supaya tidak usah capek-capek minta subsidi di APBN," katanya.

Menurut dia prinsip subsidi dan insentif tax holiday sebenarnya sama saja, hanya berbeda proses pemberiannya. Subsidi untuk EBT diambil dari pajak, artinya negara memungut kemudian mengembalikannya lagi. Sedangkan dengan insentif tax holiday, negara sejak awal tidak memungut pajak sehingga tak perlu mengembalikannya lagi.

Hal senada juga disampaikan Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Suahasil Nazara. Dia mengatakan, pemerintah akan mencari mekanisme lain pemberian insentif bagi EBT dengan tidak menggunakan termonilogi subsidi lagi. "Ini berarti tidak ada alokasi langsung bagi EBT dalam postur anggaran karena itu harus dikeluarkan," katanya.

Menurut Suahasil, Kementerian Keuangan akan mencari cara lain agar ada instrumen fiskal yang membantu pengembangan EBT. Secara prinsip pemerintah perlu mendorong pengembangan industri EBT karena menjadi kebijakan strategis pemerintah. "Dengan komitmen saya dan Pak Dirjen (Rida Mulyana) kami mencarikan insentif lain untuk EBT supaya PLN tetap bisa menerima pasokan energi. Insentif tidak lewat mata anggaran subsidi." kata Suahasil.

Dalam RAPBN 2017, disiapkan dana Rp 1,3 triliun untuk subsidi energi baru terbarukan (EBT). Dana tersebut dianggarkan untuk menutup selisih antara harga listrik dari EBT dan biaya pokok produksi (BPP) listrik PLN. Tarif listrik dari EBT memang relatif mahal, perlu subsidi agar PLN dapat membelinya.

Untuk listrik dari mikrohidro misalnya, PLN harus membeli dari Independent Power Producer (IPP) dengan harga Rp1.560-2.080/kWh. Lalu untuk listrik dari tenaga surya, harganya Rp1.885-3.250/kWh. Sementara rata-rata BPP PLN Rp1.352/kWh.

Ihwal pengajuan subsidi ini menjadi perdebatan dalam rapat kerja Komisi VII DPR dengan Pelaksana Tugas Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Luhut Binsar Padjaitan, pada 6 September 2016. Beberapa anggota Komisi VII DPR berpendapat, subsidi EBT ini sebaiknya ditiadakan saja karena tidak untuk rakyat, melainkan untuk segelintir korporasi. Menurut mereka, meski subsidi diberikan kepada PLN, ujung-ujungnya yang menikmati adalah para pengusaha yang IPP untuk pembangkit listrik dari EBT. (dtc)

BACA JUGA: