JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kebijakan pemerintah menurunkan harga bahan bakar minyak (BBM) jenis premium menjadi Rp6600 dinilai tidak bermanfaat bagi masyarakat. Sebab penurunan harga BBM jenis premium tidak disertai dengan kebijakan lanjutan dari pemerintah seperti menurunkan harga dan ongkos tranportasi.

Menurut pengamat dari Energy Watch Indonesia Ferdinand Hutahaean langkah yang diambil pemerintah dengan menurunkan harga BBM jenis premium sudah masuk dalam tahap liberalisasi. Kemudian, dengan penetapan harga tersebut pemerintah sudah mendapatkan untuk sekitar Rp800 per liternya.

Menurutnya dengan kondisi yang mendapatkan untung, pemerintah masih belum terbuka dan transparan tentang biaya produksi dan berapa keuntungan pemerintah, serta berapa total angka yang disubsidi dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Dia menilai penurunan harga BBM merupakan bentukan kebijakan reaktif dan tidak mempunyai konsep jelas untuk menuju kedaulatan energi.

"Memang saat ini terkesan pemerintah berbuat baik kepada rakyat dengan turunnya harga minyak dunia," kata Ferdinand kepada Gresnews.com, Jakarta, Minggu (18/1).

Menurutnya kebijakan harga BBM jenis premium yang disesuaikan dengan harga minyak dunia merupakan bentuk liberalisasi karena hanya beberapa pihak yang diuntungkan jika harga minyak dunia naik. Namun sebaliknya rakyat akan sengsara jika harga minyak dunia naik.

"Kami menyarankan sebaiknya pemerintah jangan reaktif terhadap harga minyak. Tetapkan harga dalam per satu tahun berjalan, supaya tidak terjadi gejolak di pasar," kata Ferdinand.

Sementara itu, pengamat energi dari Indonesia for Global Justice (IGJ) Salamudin Daeng mengatakan Presiden Joko Widodo telah menjalankan cara neoliberal dalam pengelolaan ekonomi dan bertentangan dengan Trisakti. Menurutnya pemerintah tidak menyadari bahwa perubahan harga energi memiliki implikasi sangat luas kepada kebijakan politik dan sektor ekonomi.

Dia menjelaskan perubahan harga jual BBM akan memiliki implikasi terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) secara khusus berkaitan dengan asumsi besaran subsidi minyak, subsidi listrik, dan subsidi lainnya. Selain perubahan harga BBM akan mempengaruhi besarnya pengeluaran pemerintah dalam membiayai proyek-proyek yang dibiayai oleh APBN.

"Jika harga BBM diubah setiap bulan, yang menjadi pertanyaannya berapa kali perubahan APBN akan dilakukan. Jika tidak diubah UU APBN maka sama dengan membawa menteri keuangan ke penjara," kata Salamudin.

Menurutnya perubahan harga BBM akan mempengaruhi perencanaan usaha perusahaan-perusahaan di dalam negeri. Perencanaan produksi, tingkat upah, penjualan dan lain sebagainya. Perubahan harga BBM setiap bulan akan membuat perusahaan-perusahaan nasional semakin berada dalam ketidakpastian, ancaman pemogokan dan kebangkrutan.

Dia meminta agar pemerintah harus mengakhiri ketidakpastian dengan penataan sistem politik. Pemerintah juga harus mengakhiri ketidakpastian ekonomi dalam rangka membangun kembali fundamental ekonomi melalui sistem perencanaan energi, pangan dan keuangan dalam jangka panjang.

"Jokowi harus mengakhiri mekanisme pasar neoliberal yang telah menjerumuskan ekonomi Indonesia selama 15 tahun reformasi," kata Salamudin.

BACA JUGA: