JAKARTA, GRESNEWS.COM - Sebagai negara penghasil tambang dan migas, ternyata Indonesia tidak lantas menjadi negara yang kaya raya. Alih-alih meraup untung lantaran banyaknya investasi di sektor pertambangan, negara ini malah menuai berbagai gugatan di pengadilan Arbitrase Internasional lewat skema Investor State Dispute Settlement (ISDS).

Potensi gugatan juga terlihat pada kasus PT. Freeport Indonesia. PT Freeport yang menolak mengikuti UU Minerba karena dianggap merugikan juga mengancam akan membawa sengketa itu ke arbitrase internasional. Adanya pemberlakuan UU Minerba, maka seluruh Kontrak Karya (KK) dan perjanjian karya yang telah dibuat harus diubah menjadi Izin Usaha Pertambangan (IUP) atau Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).

Diubahnya perjanjian tambang ke IUPK, maka setiap perusahaan pertambangan asing diharuskan  melakukan divestasi sesuai dengan Peraturan Pemerintah No 1 Tahun 2017. Peraturan tersebut mensyaratkan setiap perusahaan Penanaman Modal Asing (PMA) harus mendivestasikan sahamnya sebesar 51 persen. Sehingga dalam jangka yang waktu tertentu perusahaan tersebut akan menjadi milik nasional.

PMA pemegang IUPK juga diwajibkan untuk membangun Smelter. Jika suatu ketika perusahaan dianggap merugikan negara, maka negara berhak mencabut izin pertambangannya. Tidak terima dengan ketentuan baru itu, Freeport mengancam akan menggugat Indonesia di pengadilan arbitrase internasional karena dianggap menyalahi perjanjian yang telah dibuat, dari status kontrak karya berubah menjadi IUPK. Meski belum terealisasi, namun itu menambah panjang daftar perusahaan tambang dan migas asing yang mengancam menggugat Indonesia di pengadilan arbitrase internasional.

Angggota Komisi VII DPR RI Joko Purwanto mengatakan, banyaknya gugatan arbitrase internasional yang diterima Indonesia di sektor tambang dan migas sudah menjadi konsekuensi. Menurut Joko, setiap perjanjian bilateral yang dibuat dua negara memungkinkan terjadinya perubahan. Hal itu karena ada penyesuaian,  saat melihat fakta-fakta di lapangan. "Sebagai produk manusia, wajar jika suatu perjanjian tidak sempurna dan harus mengalami perbaikan," ungkap Joko kepada gresnews.com, Rabu (15/3).

Perbaikan biasanya dilakukan melalui penerbitan Undang-undang atau pun turunannya seperti peraturan pemerintah dan peraturan menteri yang terkait dengan industri pertambangan. Masalahnya kemudian, akan timbul penolakan oleh salah satu pihak. Maka gugatan di pengadilan arbitrase internasional adalah cara yang ditempuh untuk menyelesaikan sengketa.

"Nah asing merasa bahwasanya perubahan-perubahan atau perbaikan yang dilakukan pemerintah menjadi tidak fair karena merasa terikat dengan perjanjian lama." ujarnya.

Perlu diketahui bahwasanya perjanjian bilateral atau Bilateral Investment Treaty (BIT)  yang digunakan dengan skema ISDS memungkinkan perusahaan transnasional yang terikat perjanjian melakukan gugatan ke pengadilan arbitrase internasional. Sedangkan negara hanya dapat melakukan gugatan ke pengadilan lokal apabila perusahaan tersebut dianggap lalai dan merugikan negara atau pun masyarakatnya serta tidak dapat melakukan gugatan ke pengadilan arbitrase internasional.

Masih menurut Joko, walaupun nantinya Freeport setuju berubah menjadi IUPK bukan berarti Freeport tidak dapat melakukan gugatan terhadap Indonesia. Apa pun status Freeport atau pun perusahaan tambang asing lain di Indonesia selama terikat perjanjian dengan skema ISDS dapat melakukan gugatan terhadap negara apabila merasa dirugikan oleh perubahan peraturan yang terjadi. Sebab perusahaan dan negara tersebut terikat perjanjian kontrak karya yang mengikat hak dan kewajiban keduanya.

"Jadi mungkin saja Freeport bisa melakukan gugatan walaupun sudah berubah jadi IUPK," ujarnya.

MENGHINDAR ATURAN  - Sementara itu, Dirjen Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Bambang Gatot Ariyono menolak jika sektor Energi dan Migas dianggap sebagai salah satu penyumbang gugatan terbesar di pengadilan arbitrase internasional. Pemerintah menurutnya telah menjalankan tugas dengan benar yakni membuat undang-undang serta regulasi terhadap seluruh perusahaan tambang baik asing maupun lokal. Sehingga sudah menjadi kewajiban perusahaan untuk menjalankan peraturan yang telah dibuat oleh pemerintah.

"Mana yang gugat? Freeport tidak gugat dan Newmont walaupun sempat menggugat sekarang mental," ujar Bambang Gatot kepada gresnews.com, Rabu (15/3).

Menurutnya kalau pun terjadi gugatan hal tersebut bukan menjadi kesalahan pemerintah. Tetapi karena perusahaan asing yang bertindak sebagai investor tidak mau mengikuti peraturan yang telah dirancang. Padahal peraturan yang dibuat merupakan upaya pemerintah untuk terus memperbaiki sistem perjanjian sehingga setiap pihak akan diuntungkan. Ia menyayangkan perusahaan asing yang tidak mau mengikuti peraturan.

"Kalau mereka mau gugat ya silahkan, yang penting pemerintah sudah melakukan pekerjaannya membuat peraturan," ungkap Bambang.

Menurut data Indonesia for Global Justice (IGJ), Indonesia sudah 8 kali menerima gugatan di pengadilan Arbitrase Internasional. Empat diantaranya dilakukan perusahaan PMA yang bergerak di sektor eksplorasi tambang dan energi. Antara lain Churcill Minning dan planet Minning yang Kuasa Pertambangannya dicabut, Newmont Nusa Tenggara akibat pelarangan ekspor konsentrat tembaga, dan Indian Metals and Ferro Alloys limited (IMFA) yang gagal beroperasi lantaran IUP-nya tumpang tindih dengan perusahaan lain.

Untuk Churcil Minning nilai gugatan yang diajukan cukup fantastis yakni senilai USD2 miliar atau setara Rp200 triliun. Churchill Minning berang akibat dicabutnya Kuasa Pertambangan (KP) karena tidak diakui kepemilikannya oleh pemerintah daerah kabupaten Kutai Timur.

Pihak Churcil yang merasa dirugikan dengan pencabutan tersebut sebelumnya melayangkan gugatan Pengadilan Tata Usaha Negri (PTUN) Samarinda, PTUN Jakarta dan Mahkamah Agung (MA). Tetapi seluruh gugatan tersebut kandas, sehingga mereka menempuh jalur arbitrase internasional. Dalam laporannya, Churcill menyatakan pemerintah telah melakukan penyitaan kepada kekayaan mereka dan memperlakukan Churcill tidak setara dengan investor lain.

Walau Indonesia akhirnya memenangkan gugatan di pengadilan arbitrase internasional, namun kemenangan itu tidak serta merta membuat gugatan terhadap pemerintah berhenti. Pada tahun 2014, PT Newmont menggugat Indonesia karena peraturan larangan ekspor konsentrat mengakibatkan tambang batu hijau berhenti beroperasi.

Kasus lain yang serupa adalah kasus Newmont tahun 2014 yang menggugat pemerintah di pengadilan Arbitrase Internasional karena pengenaan ketentuan baru terkait ekspor, bea keluar, serta larangan ekspor konsentrat tembaga. Peraturan ini dianggap tidak sesuai Kontrak Karya (KK) dan perjanjian investasi bilateral (BIT) yang menggunakan skema ISDS antara Indonesia dan Belanda.

Kemudian, PT Newmont Nusa Tenggara (PTNNT) dan pemegang saham mayoritasnya, Nusa Tenggara Partnership B.V. (NTPBV) sebagai suatu badan usaha terdaftar di Belanda mengajukan gugatan terhadap pemerintah Indonesia. Hal ini dikarenakan mereka tidak bisa mengekspor konsentrat tembaga sehingga pertambangan batu hijau itu tidak dapat beroperasi.

Dalam gugatan yang diajukan PTNNT dan NTPBV kepada International Court for the Settlement of Investment Dispute (ICSID), mereka menyatakan ingin mendapatkan putusan sela sehingga PTNNT dapat kembali melakukan ekspor konsentrat tembaga.

Penerapan ketentuan ekspor terkait larangan ekspor konsentrat dan bea keluar pada waktu itu dinilai oleh Newmont tidak sesuai dengan kontrak karya dan BIT antara Indonesia dan Belanda.

Walau akhirnya Newmont menarik gugatan, kasus ini tidak menjadi kemenangan Indonesia.
Sebab Pemerintah dibuat tidak berdaya pada perundingan yang berakhir diberikannya izin kepada Newmont melakukan ekspor konsentrat. Pemerintah dan Newmont sepakat untuk merevisi KK termasuk soal besaran royalti yang diberikan perusahaan tersebut, dan Tambang Batu Hijau pun kembali beroperasi.

SKEMA ISDS JADI  SENJATA - Berkaca dari beragam kasus tersebut, para investor asing sangat memahami bahwa BIT dengan skema ISDS adalah salah satu senjata ampuh untuk menekan pemerintah dalam melindungi kepentingan kepentingan dalam negerinya. ISDS sendiri sebenarnya dibuat pada tahun 1950 untuk tujuan melindungi aset dan properti perusahaan di negara-negara merdeka baru, atau pun negara bekas jajahan.

Penciptaan ISDS dilandasi oleh kegelisahan para investor yang merasa negara-negara yang baru merdeka sangat minim penegakan hukumnya. Oleh karena itu, para investor memerlukan upaya melindungi seluruh aset dari penyitaan atau pengambilalihan aset oleh pemerintah untuk tujuan kepentingan publik.

Menurut Lutfiyah Hanim Senior Researcher IGJ, BIT yang mengandung skema ISDS, membuat negara terpenjara dengan kepentingan investor. Sehingga negara akan kehilangan kedaulatannya. Selain itu, ISDS sering kali disalahgunakan investor dalam melindungi kepentingan investasinya.

Hal ini membuat banyak negara enggan menerapkan kebijakan untuk melindungi kepentingan publik karena takut akan digugat di pengadilan arbitrase internasional. "Padahal yang namanya investasi itu selalu beresiko," ujar Hanim dalam diskusi terbatas terkait skema ISDS di Tebet beberapa waktu lalu.

Indonesia sendiri memiliki 64 BIT perjanjian investasi yang secara umum memuat  liberalisasi investasi, perlindungan investor dan penyelesaian sengketa. Dalam hal penyelesaian sengketa, persidangan arbitrase biasanya dilakukan di bawah United Nations Centre for International Trade Related Arbitration Law (UNCITRAL) atau di ICSID di World Bank.

Hanim  mengungkapkan bahwasanya Pengadilan Arbitrase Internasional biasanya tidak transparan. Selain itu, atbitrator yang ditunjuk untuk menyelesaikan sengketa seringkali memiliki hubungan dengan investor. Pengadilan ini juga biasanya memiliki gugatan dengan jumlah yang fantastis dan biaya persidangan yang mahal.

"Bahkan jika negara yang memenangkan gugatan, sebenarnya negara tetaplah kalah sebab kedaulatannya digoyang dan biaya yang dikeluarkan negara untuk membela diri di pengadilan arbitrase tidak sedikit," ungkapnya.

SUMBANGAN PERTAMBANGAN - Sektor tambang merupakan sektor ekonomi yang keropos. Eksplorasi tambang, tak akan pernah memberi keuntungan yang maksimal bagi negara. Sebab karakteristik perusahaan tambang sudah pasti akan merusak sumber daya seperti lahan, energi, dan air.

Dari sisi lahan, karena eksplorasi tambang membutuhkan pembukaan lahan yang luas dan biasanya akan merusak ekosistem darat, baik  hutan atau pun lahan warga setempat. Energi, untuk eksplorasi tambang, sumber daya energi yang digunakan tidaklah sedikit. Jika energi yang digunakan berasal dari batu bara maka sudah pasti menambah daftar penyumbang besar efek gas rumah kaca.

Begitu pun dengan sumber daya air, karena limbah-limbah buangan tambang seringkali mencemari sumber air terdekat seperti sungai maupun lautan. "Selain merusak lingkungan juga menghancurkan adat, sosial dan budaya masyarakat di sekitar tambang," ujar Merah Johansyah Ismail dari Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) kepada gresnews.com, Rabu (15/3).

Ia mencontohkan pada perusahaan tambang skala besar seperti Freeport yang dianggap sangat tidak memberikan manfaat. Dari Rp700 Triliun APBN Indonesia, Freeport hanya menyumbang sebesar 0,4 persen dari APBN.

Freeport juga diketahui sama sekali tidak membayar pajak air atas air yang dipergunakan. Oleh karena itu JATAM dengan tegas meminta Freeport segera ditutup dan dikembalikan kedaulatannya kepada masyarakat Papua

"Selama di Indonesia masih ada penanaman modal asing dengan skema ISDS maka peluang kita digugat  perusahaan juga akan terjadi, dan  bukan hanya di sektor tambang," ujar Merah.

Selain menutup Freeport, pemerintah dan perusahaan tambang seharusnya melakukan pemulihan lingkungan yang rusak akibat kegiatan pertambangan. Juga memulihkan hak ekonomi, sosial dan budaya masyarakat Papua yang telah direnggut oleh Freeport sejak lama.

"Pelanggaran yang dilakukan Freeport sudah sangat banyak baik kekerasan dan pelanggaran HAM terutama kepada 9 suku yang berada di sekitar areal penambangan."

Dalam menyelesaikan kasus Freeport, pemerintah seharusnya memberikan kedaulatan penuh kepada rakyat Papua dengan melakukan jajak pendapat. Apakah Freeport masih layak beroperasi di Papua?

Menurut Merah, yang perlu dilakukan bukanlah divestasi saham atau divestasi jual beli negara dan perusahaan. Tetapi divestasi nol, yakni pengembalian kedaulatan kepada mereka yang berhak. "Tidak ada yang untung, malah kita rugi dengan aktivitas pertambangan karena pemasukan yang diterima dari pertambangan di bawah rata-rata," ujarnya.

BACA JUGA: