JAKARTA, GRESNEWS.COM - Tata niaga gula nasional terus menghadapi problematika. Jika sebelumnya pergulaan nasional menghadapi "senja kala" seiring ditutupnya sejumlah pabrik gula nasional karena merugi akibat terdesak dengan banjirnya gula impor dan merembesnya gula rafinasi untuk industri.

Kini di kala pemerintah kembali menggairahkan beroperasinya pabrik-pabrik gula nasional,  persoalan kembali muncul. Sektor pergulaan kembali menghadapi masalah penumpukan ribuan ton gula hasil petani nasional di berbagai daerah. Ribuan ton gula tersebut menumpuk dan tak terserap pasar duga karena kualitasnya kala bersaing dengan gula impor. Gula hasil petani dianggap tidak bisa memenuhi standard nasional Indonesia (SNI)

Menghadapi kondisi ini Ketua Komisi IV DPR RI, Edhy Prabowo pun mendesak pemerintah segera mencarikan jalan keluar. Hal ini semata demi kelangsungan hajat hidup para petani gula.
 
"Penumpukan ribuan ton gula hasil petani yang terjadi di berbagai daerah harus segera disikapi oleh pemerintah," ujar Edhy melalui siaran persnya, baru-baru ini.

Ia meminta regulasi yang dikeluarkan pemerintah harus memudahkan dan menguntungkan petani. Selain mencabut PPN (Pajak Pertambahan Nilai), pemerintah juga harus memberi kelonggaran terkait SNI  (standard nasional Indonesia).

"Pada prinsipnya gula bukanlah sesuatu yang berbahaya untuk dikonsumsi, kecuali bagi pengidap penyakit gula. Karena itu, pemberian label SNI harus lebih fleksibel," tambahnya, seperti dikutip dpr.go.id.
 
Menurutnya jangan hanya karena warna gula sedikit kuning, langsung dinyatakan tidak SNI dan pabriknya ditutup. Pemerintah perlu arif dan bijaksana, mengingat  rata-rata pabrik petani sudah berusia tua dan kalah dengan pabrik swasta yang peralatannya jauh lebih modern. Pemerintah, dia menambahkan, seharusnya mengajak diskusi dan edukasi kepada petani, bukannya mengeksekusinya.
 
Politisi fraksi Partai Gerindra ini juga mengingatkan pemerintah agar memiliki neraca kebutuhan gula yang tepat dan jelas sehingga dapat memprediksi kebutuhan gula dan menjaga stabilitas harga. Gula hasil petani pun harus disesuaikan harganya agar dapat bersaing dengan gula impor.
 
"Sangat ironis bila gula  impor justru laku di pasaran, sementara gula hasil petani kita sendiri tak laku dan menumpuk di gudang," ujarnya.

Apalagi, ada dugaan gula impor sudah menyasar konsumen gula petani. Kalau kondisinya terus menerus seperti ini, ia meminta pemerintah tak melakukan impor gula sebelum gula dari petani lokal laku di pasaran, baik untuk sektor industri maupun kebutuhan rumah," tuturnya.
 
Edhy juga meminta Pemerintah lebih pro kepada rakyat. Kebijakan yang dikeluarkan harus mempertimbangkan hajat hidup petani. Kalau terus menerus petani merasakan hal seperti ini, maka produksi petani gula akan terhenti. Akibatnya ekonomi dan daya beli petani menjadi lemah, dan akan meningkatnya angka kemiskinan.
 
Padahal, Presiden Jokowi sendiri  saat kampanye lalu pernah berjanji akan membangun 10 pabrik gula baru. Namun sampai saat ini jangankan satu pabrik dibangun, pabrik yang lama saja tidak diperhatikan, dan hajat hidup petani gula semakin tertekan karena kesulitan memasarkan.
 
GULA PETANI DITOLAK PEDAGANG - Menyikapi persoalan ini pula, maka Komisi VI menggelar Rapat Dengar Pendapat dengan Deputi bidang Usaha Industri Agro dan Farmasi Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN), PTPN III, VII, IX, X, XI, XII, PT. RNI,  dan Asosiasi Petani Tebu Republik Indonesia (APTRI) hari ini, Senin (28/8) di Gedung DPR RI, Senayan. Tujuan pertemuan itu untuk membahas masalah gula yang meliputi kualitas dan harga di pasar serta penyerapan gula petani.

Menurut Wakil Ketua Komisi VI DPR RI Azam Azman Natawijana yang memimpin rapat tersebut mengatakan gula menjadi komoditas yang strategis bagi ketahanan pangan dan pertumbuhan ekonomi masyarakat Indonesia sehingga industri gula dalam negeri merupakan kegiatan yang penting.  Sehingga perlu ada pengawasan.

Azam menyebut Keputusan Presiden Nomor 57 Tahun 2004 tentang penetapan gula sebagai barang dalam pengawasan. Oleh karena itu Kementerian Perdagangan menetapkan harga acuan pembelian gula dari petani sebesar Rp9.500 per kg dan harga acuan untuk konsumen sebesar Rp12.500 per kg.

Kementerian Keuangan juga telah menetapkan gula termasuk barang kebutuhan pokok yang tidak dikenai pajak penambahan nilai, sebab merupakan barang yang menyangkut hajat hidup orang banyak dengan skala pemenuhan kebutuhan yang tinggi dan menentukan kesejahteraan rakyat.

Bahkan untuk menjaga mutu gula Kristal Putih, dan untuk keamanan pangan, serta meningkatkan nilai tambah daya saing, Menteri Perdagangan telah mengeluarkan peraturan kewajiban pemberlakuan SNI bagi perusahaan produsen atau importir gula Kristal Putih.

Namun kini, menurut Azam,  muncul masalah pedagang enggan membeli gula petani karena pedagang khawatir dikenakan PPN.Selain itu di pasar juga banyak beredar gula operasi pasar, maupun rembesan  gula rafinasi, sehingga penyerapan gula petani di pasar sangat lambat.

Sementara itu, harga eceran tertinggi gula dibatasi Rp12.500 per kg, akibatnya pedagang tidak berani menjual gula dengan harga di atas harga eceran tertinggi. Pedagang akhirnya menekan harga gula petani, bahkan harga gula petani hanya Rp1.500 per kg sehingga petani mengalami kerugian.

Di sisi lain imbas banyaknya impor gula rafinasi yang tahun lalu mencapai 1,6 juta ton, padahal kekurangan kebutuhan hanya 400 ribu ton. Akibatnya terjadi sisa stok hingga impor 1,2 juta ton. Dimana  kebutuhan gula konsumsi tahun lalu sebesar 2,7 juta ton, dengan jumlah produksi 2,3 juta ton.

Azam mengatakan petani tebu,  saat ini dalam kondisi yang sangat sulit karena gula mereka tidak laku, gula petani yang belum laku diperkirakan mencapai 250 ribu ton. Akibatnya petani mengalami kesulitan modal untuk membiayai proses pengerjaan tanaman tebu usai ditebang saat masa giling yang lalu.

Menurut Azam bila masalah ini tidak cepat diselesaikan maka dikhawatirkan pabrik gula akan terancam berhenti menggiling.(rm)

BACA JUGA: