JAKARTA, GRESNEWS.COM - Masalah pengupahan menjadi pemicu lahirnya pergerakan Tenaga Kerja Indonesia secara illegal atau undocumented ke luar negeri. Mereka tetap nekat ke luar untuk mendapat penghasilan yang lebih baik, minimnya upah atau standar pendapatan, membuat para pekerja lebih banyak bermigrasi ke negara yang pengupahan lebih besar.

Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Kementerian Luar Negeri Lalu Muhammad Iqbal mengatakan, kondisi yang tengah dialami ASEAN ini menimbulkan akumulasi tenaga kerja di suatu negara dan rentan terhadap persoalan dokumen pekerja.

Saat ini data Kemlu tercatat sekitar 5 juta TKI yang tersebar di seluruh dunia. Paling banyak di Malaysia dan Timur Tengah.

"Dari sisi upah, semua negara belum sama. Pekerja bergerak dari low cost ke high cost," kata Iqbal kepada gresnews.com, Sabtu (6/2).

Masalah undocumented dan TKI ilegal, kata Iqbal, kerap menjadi persoalan serius di luar negeri. Untuk itu, Ia menilai, tetap perlu dicegah agar tidak menimbulkan masalah baru.

Untuk itu, Iqbal berpendapat, perlu ada kelayakan standar penentuan upah layak antar masing-masing negara ASEAN agar penyebaran pekerja menjadi merata dan tidak berpotensi menimbulkan pelanggaran ketenagakerjaan. Kebijakan soal kesepakatan upah perlu menjadi rumusan penting dibahas pemerintah di kawasan ASEAN.

Disamping itu, dalam rangka mencegah para TKI yang belum memiliki persyaratan dan kelengkapan dokumen ke luar negeri, pengawasan perlu diperkuat di daerah, dimana pengetatan pemeriksanaan hingga pelatihan oleh Dinas Tenaga Kerja kepada para TKI juga perlu ditingkatkan.

Hal ini dianggap penting dan strategis menekan angka kasus TKI bermasalah di luar negeri yang pada tahun 2014 lalu mencapai 12.450, 92,43% atau 11.507 diantaranya melibatkan TKI.

MENGHORMATI HAK PEKERJA MIGRAN - Buruh migran merupakan salah satu profesi yang mendapat pengakuan internasional. Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tahun 1990 tentang Perlindungan Hak Semua Buruh Migran dan Anggota Keluarganya merupakan norma internasional yang menegaskan pentingnya perlindungan serta penegakan hak asasi manusia.

Pasal 25 ayat (1) Konvensi mengamanatkan perlakuan adil negara terhadap Buruh migran dan anggota keluarganya dalam hal penggajian dan kondisi-kondisi kerja lainnya menurut hukum dan praktek nasional.

Ketua Keluarga Besar Buruh Migran Karsiwen menyebut upah bagi para pekerja migran saat ini relatif minim dan belum mencukupi untuk kebutuhan sehari-hari.

Persoalan upah, kata Karsiwen, menjadi isu serius yang mesti didorong di tingkat ASEAN. Posisi ini cukup penting bagi Indonesia mengingat sebagai negara pengirim terbesar pekerja ke beberapa negara ASEAN yaitu Malaysia, Singapura dan Brunei Darusalam.

Ia menyebut, perbandingan jumlah buruh migran Indonesia relatif cukup besar di Malaysia dan Singapura yang mencapai sekitar 2,5 juta.

Gaji buruh migran Indonesia, lanjutnya, khusus di kawasan Asean belum bisa dipandang layak. Misalnya di Malaysia dan Singapura yang memberlakukan ketentuan upah yang masih sangat rendah.

"Sektor Pekerja Rumah Tangga (PRT), konstruksi dan perkebunan rata-rata rendah Rp 1,5 sampai Rp 2,2 juta," tuturnya kepada gresnews.com, Sabtu (6/2).

Rendahnya pemberian gaji di negara penempatan, dipandang tidak sebanding dengan biaya hidup seperti Singapura yang tinggi. Permasalahan ini sepatutnya didorong pemerintah dan negara ASEAN untuk mencapai kesepakatan standar upah layak agar kebutuhan sandang, pangan, papan para pekerja migran dapat terpenuhi.

BACA JUGA: