JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kebijakan Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk melakukan pengawasan ketat terhadap operasional kapal penangkap ikan, tak berjalan mulus. Pasalnya program penempatan tenaga pengawas (observer) di setiap kapal tangkap dan transportasi perikanan menuai resistensi dari para pengusaha.

Padahal dalam rangka meningkatkan instrumen pengawasan, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melalui Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap (DJPT) berusaha melanjutkan program penempatan observer di atas kapal perikanan setelah program tersebut diujicobakan pada tahun 2012.

Kementerian Perikanan mencanangkan ke depan akan memperluas pengerahan tenaga observer. Dimana, pemilik kapal diwajibkan bersedia menempatkan tenaga observer di kapalnya masing-masing selama beroperasi di Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) Indonesia.

"Penempatan observer atau tenaga pengawas menjadi instrumen pencegahan terhadap pelanggaran di laut seperti Illegal, Unreported and Unregulated Fishing (IUUF)," tutur Direktur Jenderal Perikanan Tangkap KKP Gellwynn Jusuf di Jakarta.

Program ini juga berfungsi sebagai pengawasan terhadap penelusuran (traceability) guna memastikan pendaratan ikan ke pelabuhan perikanan, baik kapal tangkap maupun kapal angkut sesuai dengan Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) dan Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI).

Pelaksanaan penempatan observer di atas kapal penangkap ikan ini, menurut Gellwynn, sesuai amanat Undang-undang RI Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan. Selain Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 26 Tahun 2013 tentang perubahan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 30 Tahun 2012 tentang Usaha Perikanan Tangkap. Dimana aturan soal ini kemudian disempurnakan dalam Peraturan Menteri KKP Nomor 1 Tahun 2013 tentang Pemantau Kapal Penangkap Ikan dan Kapal Pengangkut Ikan.

KENDALA OBSERVER - Gellwynn menjelaskan penempatan observer pernah diuji coba sejak 2012. Pada saat itu, ada 14 observer yang diterjunkan. Namun, sejak 2013 hingga 2014 penempatan observer tidak berjalan maksimal sesuai harapan pemerintah.

Gellwynn mengakui, selama ini proses pengawasan observer terhambat karena minimnya kerjasama dan kepatuhan pelaku usaha untuk menerima observer. "Pelaku usaha perikanan selama ini sengaja tidak bekerjasama dengan tenaga observer agar mereka bisa bebas melakukan pelanggaran atau transhipment seenaknya," ucap Gellwynn saat konferensi pers di kantor KKP.

Padahal untuk membentuk tenaga observer, pemerintah telah melakukan pelatihan dan pengembangan observer sejak tahun 2012 lalu. Berdasarkan  laman BPSDMKP, pelatihan observer pada 2012 lalu dijalin atas dasar kerjasama pemerintah dengan Sekolah Tinggi Perikanan (STP) dan Indonesia Marine and Climate Support (IMACS). Adapun bentuk pelatihan Observer ini diawali dengan basic safety training, methodology of observer dan observer on-board yang berlangsung selama kurang lebih 1 bulan di kapal-kapal perikanan komersial Indonesia.

Program pelatihan observer tersebut diketahui sebagai program perdana yang digelar di STP dengan melibatkan sejumlah peserta termasuk para taruna semester V Jurusan Teknologi Pengelolaan Sumberdaya Perairan (TPS).

PERKUAT  OBSERVER - Kini, di bawah kepemimpinan Menteri Susi Pudjiastuti, DJPT kembali optimistis mengerahkan aturan soal penempatan observer.

KKP kini dikabarkan telah menambah kapasitas tenaga observer. Seperti data yang diterima Gresnews.com, pada 2013 hingga 2014 Kementerian Kelautan menurunkan 253 observer untuk ditempatkan di kapal. Jumlah itu kembali meningkat setelah pada awal tahun 2015 lalu terjadi penambahan 150 observer.

"Ketersediaan tenaga observer saat ini mencapai 403 orang di seluruh wilayah Indonesia. Mereka rata-rata memiliki pengalaman kerja di kapal selama lima hingga sepuluh tahun," ujar Gellwynn.

Lebih lanjut, menurut dia, tenaga observer tersebut tersebar di beberapa wilayah Indonesia seperti, Sumatera 56 orang, Jawa 157 orang, Kalimantan 2 orang, Sulawesi 65 orang, Ambon 93 orang, Bali dan NTT 18 orang, serta Papua 12 orang.

DIKELUHKAN PENGUSAHA - Langkah pemerintah menempatkan observer ini menuai penolakan dari kalangan pengusaha perikanan. Mereka mengaku keberatan dan kurang sepakat dengan aturan pemerintah tersebut. Terutama terkait soal pembiayaan operasionalnya.

"Kita meminta agar ada kejelasan pembayaran observer. Kita tidak mau membiaya mereka," kata Sekjen Asosiasi Tuna Longline Indonesia (ATLI) Dwi Agus Siswa Putra kepada gresnews.com, Sabtu (4/7).

Menurutnya, aturan ini mesti dijelaskan oleh pemerintah agar tidak merugikan operasional kapal perikanan yang dimiliki pengusaha. Ia menekankan, jika kebutuhan konsumsi dan asuransi observer harus ditanggung pemilik kapal, maka pengusaha akan mengalami defisit. "Itu sama saja dengan membiaya pekerja atau ABK.  Pihak ATLI kurang sepakat dengan aturan tersebut," tegas Dwi.

Untuk itu, menjelang pertemuan bersama Menteri KKP, perwakilan ATLI akan meminta penjelasan mengenai penempatan observer hingga mekanisme pembayarannya. Sebab, ATLI mengaku tak mau merugi dan konsisten mendesak agar observer yang diterjunkan  menjadi tanggungan pemerintah dan dibiayai melalui APBN. "Kami akan sampaikan pada Ibu Menteri KKP pada acara sosialisasi tanggal 7 mendatang," tegasnya.

BACA JUGA: