JAKARTA, GRESNEWS.COM - Rencana pembentukan induk usaha (holding) Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Migas yang akan menyatukan anak usaha PT Pertamina, PT Pertagas dan PT Perusahaan Gas Negara (PGN) Tbk, di bawah Pertamina masih terus menuai pro dan kontra. Kendati dinilai bisa mengefisienkan pengelolaan gas di tanah air, namun penyatuan dua perusahaan gas milik negara itu juga dikhawatirkan akan diikuti dengan langkah pemutusan hubungan kerja sebagian karyawannya.

Oleh karena itu, beberapa waktu lalu, Serikat Pekerja (SP) PGN menolak konsep holding migas Kementerian BUMN tersebut. Mereka melihat holding migas hanya sebatas Pertamina mengakuisisi PGN, sementara nasib para karyawan, khususnya karyawan PGN, belum jelas.

Ketua Umum Serikat Pekerja PGN, M. Rasyid Ridha, menilai akuisisi PGN oleh Pertamina pada ujungnya hanya akan melemahkan atau mengkerdilkan PGN. Sebab bisnis PGN dan Pertamina merupakan bisnis yang saling menggantikan (subsitusi).

"Jika PGN di bawah Pertamina maka akan terjadi conflict of interest. Pertamina tentu tidak ingin bisnis minyaknya berkurang karena penyaluran gas PGN terus meluas," ujar Rasyid dalam rilisnya, Jumat (26/8).

Ia mengaku lebih sepakat jika pembentukan holding lebih diarahkan pada konsep holding energi daripada holding migas. Holding Energi itu akan memperkuat BUMN-BUMN di bidang energi, seperti PLN yang diperkuat di sektor kelistrikan, PGN di sektor gas bumi, dan Pertamina diperkuat dari sisi produksi hulu minyaknya. Jadi Holding Energi itu meliputi PGN, Pertamina, dan PLN.

Hal tersebut akan meningkatkan kedaulatan energi nasional melalui sinergi nyata dan menghilangkan friksi yang kerap terjadi di ketiga BUMN tersebut. Sekaligus memperlancar program utama pemerintah yaitu penyediaan listrik 35.000 MW.

Menanggapi hal tersebut Wakil Ketua Komisi VII DPR Satya W Yudha mengatakan sebaiknya rencana akuisisi Pertamina dan PGN disikapi business to business. Penyatuan itu harus menghadirkan efisiensi dan bisa memaksimalkan penguasaan infrastruktur yang telah dimiliki PGN ataupun Pertagas. "Risiko PHK akibat efisiensi itu hendaknya ditekan seminimal mungkin," kata Satya kepada gresnews.com, Sabtu (27/8).

Sementara itu Direktur Eksekutif Energy Watch Indonesia (EWI) Ferdinand Hutahaean melihat akuisisi Pertamina terhadap PGN juga akan menyisakan persoalan tentang kepemilikan saham asing di PGN yang telah menjadi perusahaan terbuka. Dia menyatakan akan menolak jika posisi saham asing di sana menjadi tidak jelas keberadaannya. "Artinya bahwa akuisisi itu tidak boleh dilakukan jika konsepnya belum jelas," kata Ferdinand kepada gresnews.com, Sabtu (27/8).

Menurutnya, permasalahan utamanya adalah PGN itu perusahaan yang sudah terbuka dan terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI). Bagaimana tata cara akuisisinya? Apakah dilakukan dengan pembelian lewat bursa?

"Nah itu harus jelas, bicara tentang pengerdilan tidak selalu seperti itu. Justru itu akan membesarkan negara," ujarnya.

Menurutnya jangan dilihat dari sisi BUMN-nya, karena PGN itu memang namanya akan hilang. Tapi menjadi besar bersama perusahaan baru.

"Egoisme atas nama perusahaan itu harus dilepaskan, lihatlah kepentingan lebih besar yaitu kepentingan negara," pungkasnya.

SUDAH PENDEKATAN - Terkait rencana Kementerian BUMN membentuk perusahaan holding BUMN, sejauh ini kedua perusahaan itu telah melakukan pendekatan selama 2,5 bulan untuk menyusun dan membahas segala persiapan ke arah rencana tersebut.

Vice President Corporate Communication Pertamina Wianda Pusponegoro menyatakan, proses pendekatan tersebut membahas soal masalah operasional dan infrastruktur. Pertamina telah siap bila PGN nantinya menjadi anak usaha.

"Kami punya tim gabungan dengan PGN, telah kerja sama dua setengah bulan, kita selesaikan masalah operasional dan infrastruktur. Artinya sudah siap, jadi tidak boleh ada pasokan gas terganggu lewat pipa distribusi A dan B," kata Wianda di Jakarta, Minggu (27/8).

Wianda juga menjelaskan, pemetaaan terkait tumpang tindih investasi yang mencapai US$1,7 miliar, menurut dia, jika kedua perusahaan telah bersinergi maka nilai tersebut bisa lebih, bisa kurang.

"Kita mapping, kalau terus berjalan terpisah ada tumpang tindih investasi US$1 ,7 miliar. Tapi kalau dengan sinergi, jumlah investasi sebesar itu dapat akses gas ke tempat yang belum terjangkau," jelasnya.

Menurutnya, akan ada penambahan jumlah belanja modal (capital expenditure/capex) untuk memperkuat ekspansi. Pada akhirnya, akan berdampak pada harga gas bisa lebih murah dari saat ini.

"Dari sisi operasional akan tercipta capex yang bertambah, redudansi kita mitigasi dan dengan holding bisa hemat biaya operasional, jadi harga gas bisa kompetitif," ujarnya.

Rencana pembentukan holding migas sebenarnya telah tercetus lama. Hal itu berangkat dari keprihatinan Presiden Jokowi atas harga gas di dalam negeri yang relatif mahal, terutama gas untuk industri. Lantas Presiden memerintahkan agar Pertagas (anak usaha Pertamina) diambil alih PGN.

IDE HOLDING MIGAS - Rencana pengambilalihan Pertagas itu pun tercantum dalam Roadmap Sektor Energi Kementerian BUMN. Namun tiba-tiba Kementerian BUMN memunculkan skema induk BUMN energi yang tak lama kemudian berubah namanya menjadi industri BUMN Migas (Holding Migas).

Namun begitu Deputi Menteri BUMN yang membawahi BUMN Edwin Hidayat menjadi Wakil Komisaris Utama Pertamina pada Maret 2016. Roadmap yang pernah ia presentasikan urung menjadi acuan, justru diganti dengan usulan pembentukan holding migas.

Konsep holding migas ini banyak ditentang sejumlah kalangan, karena dinilai banyak menabrak aturan hukum. Selain skema itu juga tidak lazim dilakukan di dunia korporasi dan investasi. Menurut pengamat ekonomi yang juga mantan Ketua Tim Reformasi Tata Kelola Migas, Faisal Basri, skema holding migas yang diajukan Kementerian BUMN kepada Presiden Jokowi, bukanlah skema holding sesungguhnya, melainkan hanya sebatas aksi korporasi semata. Pertamina mengambil alih PGN, dengan mekanisme inbreng saham.

"Cara inbreng dalam bentuk saham tidak lazim. Karena inbreng biasanya dalam bentuk aset, sumber daya manusia, dan uang tunai," tutur Faisal, Minggu (21/8).

Justru dengan skema holding ini, PGN tidak lagi berstatus sebagai BUMN tetapi swasta murni yang tunduk sepenuhnya pada UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

BACA JUGA: