JAKARTA, GRESNEWS.COM - Perang dagang antara Indonesia dengan Uni Eropa terkait komoditas sawit masih terus berlangsung. Parlemen Uni Eropa telah mengeluarkan resolusi yang menyatakan sawit Indonesia terkait erat dengan isu pelanggaran HAM, korupsi, pekerja anak, dan penghilangan hak masyarakat adat. Eropa juga menegaskan, sawit Indonesia telah menjadi penyebab deforestasi hutan.

Jika resolusi itu diberlakukan, minyak sawit Indonesia pun tak bisa memasuki pasar Eropa. Sikap Eropa ini ditanggapi negatif oleh pemerintah RI. Pemerintah menduga produk Eropa takut tersaingi oleh produksi Indonesia. Wakil Presiden RI, Jusuf Kalla mengatakan, sawit produksi Indonesia selama ini selalu dijegal oleh berbagai pihak lewat beragam isu, mulai dari sisi kesehatan sampai sisi lingkungan.

Dulu, kata JK, ada penelitian yang menyatakan sawit asal Indonesia mengandung kolesterol tinggi. Pernah juga ada isu kalau sawit Indonesia tidak ramah lingkungan dan membunuh satwa liar di sekitar perkebunan.

"Dulu ada penelitian yang menganggap sawit itu tinggi kolesterolnya. Setelah itu dibantah dengan penelitian itu tidak benar, jadi tidak ada masalah lagi. Itu kira-kira tahun 90an. Jadi waktu itu ada joint effort antara Indonesia dan Malaysia untuk mengadakan penelitian di beberapa universitas, termasuk di Amerika. Pernah juga ada masalah-masalah seperti kesehatan dan sebagainya," kata JK di Kantor Wapres, Jakarta Pusat, Selasa (18/4).

Menurut JK, minyak sawit produksi RI saat ini bersaing dengan produk-produk minyak nabati keluaran Eropa, seperti minyak biji matahari, kedelai, zaitun, dan lain-lain.
"Karena minyak sawit itu menyaingi minyak-minyak nabati yang diproduksi di Eropa. Ini memang harus di-counter (dilawan) lagi oleh negara penghasil sawit, kita berdua, yaitu Indonesia dan Malaysia," katanya.

"Oleh karena itu ada suatu forum tetap antara Indonesia dengan Malaysia untuk membahas hal ini untuk membikin counter-nya (perlawanannya) dan diplomasi. Oleh karena itu diplomasi untuk menjelaskan bahwa apa yang mereka khawatirkan itu tidak benar," kata JK.

Terkait isu lingkungan dan pelanggaran HAM, Indonesia sebenarnya sudah menerapkan standar tertentu agar produk sawitnya tidak lagi berasal dari sumber yang berkaitan dengan deforestasi, pelanggaran masyarakat adat dan juga pelanggaran HAM, termasuk penggunaan pekerja anak. Standar itu ditetapkan dalam Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO).

Di dalam ISPO tersebut diatur mengenai prosedur teknis mulai dari pembukaan lahan baru yang tidak boleh dengan melakukan pembakaran hutan hingga aturan terperinci mengenai jenis lahan yang boleh digunakan. Namun menurut Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Joko Supriyono, resolusi kelapa sawit yang dikeluarkan oleh Parlemen UE bernuansa politis.

Akibatnya, standar apapun yang diterapkan oleh Indonesia akan akan kembali dimentahkan. "ISPO adalah standar yang dilakukan secara mandatori oleh pemerintah Indonesia. Jika kita menerapkan ISPO 100%, Eropa belum tentu mengakui itu. Mereka punya standar sendiri. Jadi bahwa isu sustainability itu sebenarnya omong kosong, buktinya kita sudah ISPO mereka enggak mau terima," tuturnya.

Joko mencurigai, bahwa keputusan Parlemen UE tersebut didasari perang dagang. Sebab produk minyak dari kelapa sawit dianggap sebagai pesaing minyak nabati rapeseed yang diproduksi Eropa. "Beberapa negara di Eropa itu ingin pakai rapeseed, itu kebanyakan dari Perancis. Kalau sawit masuk mereka kalah siang, karena cost efisiensinya jauh. Kalau sawit masuk sebagai biodiesel mereka kelabakan," imbuhnya.

Oleh karena itu, dirinya mendukung pemerintah untuk melakukan perlawanan atas keputusan resolusi tersebut. Sebab alasan yang digunakan untuk menghalangi salah satu komoditas unggulan Indonesia itu tidak mendasar.

"Kalau alasannya deforestasi itu yang mana, di mana, kapan? harus jelas. Ini hanya karena kelapa sawit itu jauh lebih efisien. Tapi tidak bisa tumbuh di Eropa, mereka hanya punya rapeseed," tukasnya.

PERANG DAGANG - Isu perang dagang juga diutarakan Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita. Yang jelas, kata Enggar, Kemendag sudah menyampaikan keberatan kepada Menteri Perdagangan UE saat bertemu di Manila, Filipina. Resolusi tersebut, menurut dia, erat kaitannya dengan persaingan dagang tak sehat. "Masalah sawit sekarang kalau bicara deforestasi, apa bedanya sawit dengan minyak nabati lain? Apa bedanya dengan vegetable oil di Eropa?" kata Enggar.

Jika tudingan diarahkan soal lingkungan, Enggar juga mempertanyakan standar lingkungan minyak nabati lain yang juga menggusur tegakan hutan. "Kami menuntut vegetable oil juga harus punya standar yang sama, kami tidak takut. Pemerintah dan pengusaha tidak main-main, karena semua punya komitmen bersama untuk sama-sama bisa sustainable," tegas Enggar.

"Itu pasti dimulai dengan digundulkan dulu sebelum ditanam, apakah enggak ada double standard di sana, apakah tidak ada kepentingan dagang di sana? Disalurkan melalui Parlemen Eropa, ini yang saya sampaikan protes," katanya lagi.

Diungkapkannya, tudingan tersebut tidak berdasar. Sawit Indonesia sendiri sudah menerapkan standar lingkungan berkelanjutan lewat ISPO. Sawit juga selama ini jadi penggerak petani rakyat dan industri kecil menengah.

"Bahwa kami keberatan, kita sudah melalukan sustainable seperti ISPO dan sebagainya, ini akan ganggu perjanjian kita dengan UE kalau hal-hal seperti ini didiamkan, kita sekarang juga sampaikan ini menyangkut sekian banyak petani, sekian banyak industri kecil, menyatakan mari kita konsentrasi dan bantu UKM, tapi langkah ini tidak mencerminkan hal itu," jelas Enggar.

Dia melanjutkan, jika memang resolusi tersebut bisa jadi genderang perang dagang yang bisa saja dibalas Indonesia. "Kalau terjadi retaliation (pembalasan) apakah ini bukan perang dagang. Anda minta jangan perang dagang tapi Anda memulai ini, benar-benar ingatkan pada parlemen Eropa, kalau mau benar-benar dagang tanpa double standard, kami sudah mulai dengan ISPO. Kayu pun mereka terapkan (standar) SLVK, tapi tidak semua. Parlemen kami pun bisa lalukan hal yang sama," ucapnya.

Enggartiasto Lukita mengatakan, Indonesia bersama dengan Malaysia, menguasai 85% pangsa pasar sawit dunia. Negara yang menolak sawit, menurutnya, malah merugi lantaran sawit memang selama ini lebih murah dibanding minyak nabati lain.

"Indonesia dan Malaysia itu 85% pasar market dunia, dan (menguasai) 95% pasar Asia. Bayangkan itu, kalau kita tidak kirim stok ekspornya, meninggal itu," ucap Enggar.

Dia menuturkan, tak bisa dipungkiri, resolusi tersebut juga bakal merusak hubungan tatanan perdagangan antara Indonesia dan Uni Eropa yang selama ini sudah terjalin dengan baik. "Kalau hal ini dilaksanakan itu mengganggu perjanjian perdagangan Uni Eropa dengan kita. Sebab semangat yang ada di kita bicara small medium enterprise (UKM), semangat free trade," ungkapnya.

Dia melanjutkan, jika resolusi ini benar-benar diterapkan, tentunya Uni Eropa sendiri yang memulai perdagangan tak sehat dengan Indonesia. "Kalau ini terjadi, apa yang kita sepakati dalam berbagai pembicaraan mengenai perang dagang, Anda memulai ini. Urusan dalam negeri masing-masing tolong diselesaikan," jelas Enggar.

Selain itu, lanjutnya, pihaknya juga telah menggandeng Malaysia untuk menyelesaikan masalah tudingan-tudingan miring atas sawit tersebut. "Kan kita sama-sama (dengan Malaysia). Market share kita dan Malaysia di dunia itu 85%, daripada kita sendiri-sendiri. Kita berdualah sama-sama dengan Malaysia menghadapi tuntutan ini," pungkas Enggar. (dtc)

 

BACA JUGA: