JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) kembali menerima pinjaman dari Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank/ADB) sebesar US$5 miliar. Pinjaman tersebut rencananya akan digunakan untuk pengembangan jaringan transmisi listrik dan pembangunan pembangkit listrik energi terbarukan hingga 2019.

Namun, sejumlah pihak mengingatkan pemerintah agar berhati-hati dalam menerima pinjaman tersebut. Sebab, utang tersebut akan berdampak negara menjadi gagal bayar (default). Apalagi jika utang tersebut memuat persyaratan agar negara tunduk terhadap lembaga donor.

Direktur Eksekutif IRESS Marwan Batubara mengingatkan pinjaman tersebut akan membuat negara menjadi default. Ia mengingatkan pemerintah harus menggunakan utang tersebut dengan hati-hati. Jangan sampai utang tersebut menjadikan  Indonesia sebagai obyek bagi lembaga donor asing. Akibatnya mereka bisa mendikte kebijakan Indonesia dengan berbagai persyaratan, agar dapat memenuhi kepentingan bisnis lembaga donor tersebut.

Jika pemerintah benar-benar membutuhkan pinjaman, pemerintah harus memiliki kajian agar pinjaman tersebut tidak memberatkan keuangan negara. Di satu sisi, pemerintah juga harus transparan dalam mengelola utang, agar sesuai dengan kondisi perekonomian secara global.

"Tapi kalau di situ ada kepentingan yang merugikan kita, saya kira tidak tepat menerima tawaran tersebut," kata Marwan kepada gresnews.com, Jakarta, Minggu (11/10).

Marwan mengatakan jika pinjaman tersebut diperuntukkan bagi perusahaan plat merah seperti PT PLN (Persero), diharapkan pinjaman tersebut tidak membebani perusahaan. Sebab, saat ini utang PLN sudah mencapai Rp491 triliun. Di satu sisi, beban utang yang dimiliki PLN juga merupakan beban negara. Artinya, pinjaman tersebut jangan membuat kondisi keuangan PLN menjadi negatif.

Dia menegaskan, secara prinsip pemerintah harus berhati-hati dalam mengelola pinjaman tersebut. Pemerintah juga tidak boleh melupakan tujuan pinjaman tersebut untuk obyektivitas pembangunan dan kebutuhan infrastruktur di sektor energi.

"Jangan karena kita butuh untuk pembangunan di sektor energi, tapi kita tidak menggunakannya dengan benar," kata Marwan.

MENJADI TANGGUNGAN NEGARA - Pengamat energi dari Universitas Indonesia Iwa Garniwa juga mengingatkan bahwa pinjaman pemerintah untuk pembangunan sektor energi akan menjadi beban negara. Meski pinjaman itu dialokasikan ke PLN, utang itu menjadi beban negara. Sebab, pemerintah telah menugaskan PLN untuk membangun pembangkit dan mengalirkan listrik untuk seluruh penduduk Indonesia.

Jika utang itu diberikan kepada PLN, seharusnya PLN juga mampu membayar pinjaman tersebut. Sebab, subsidi yang diberikan pemerintah hanya kepada warga yang menggunakan daya listrik sebesar 450 watt sampai 900 watt, dengan besaran subsidi sekitar Rp45 triliun. Berarti, di luar dari subsidi itu,  tarif dasar listrik sudah berada pada tingkat harga keekonomian. Dimana harga keekonomian ada potensi memberikan keuntungan bagi PLN.

Selain itu, menurut Iwa, beban utang tersebut juga bukan menjadi tanggung jawab PLN. Beban utang tersebut akan menjadi tanggung jawab negara. Tugas PLN hanya bertanggung jawab terhadap pelayanan dan efisiensi. Jika ada kerugian PLN karena masalah beban subsidi yang terlalu besar, hal itu menjadi tanggung jawab pemerintah.

"Jadi utang itu bukan tanggung jawab PLN karena utang tersebut ada karena tindakan pemerintah," kata Iwa kepada gresnews.com.

POSISI UTANG INDONESIA - Sebagaimana diketahui, ADB akan memberikan pinjaman sebesar US$5 miliar atau setara Rp69 triliun. Pinjaman tersebut merupakan pinjaman jangka panjang dengan tingkat bunga dan grace period yang menguntungkan bagi Indonesia. Pinjaman tersebut juga akan membantu Indonesia dalam memperbaiki sistem transmisi dan distribusi.

Menteri ESDM Sudirman Said menyebut pinjaman ADB merupakan komitmen dari Internasional kepada Indonesia dalam mendorong pengembangan sektor energi. Namun, untuk penggunaan dana tersebut, ia harus berkonsultasi kepada Kementerian Keuangan dan Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

"Kita harus bicara dengan kedua kementerian tersebut. Tinggal kita respons pinjaman tersebut dalam program," kata Sudirman.

Pinjaman itu nantinya akan menjadi rangkaian beban total utang yang ditanggung oleh pemerintah Indonesia. Sebab, berdasarkan penelusuran gresnews.com dalam website Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan, posisi utang Indonesia pada bulan Juli 2015 sudah mencapai US$303.673 atau Rp3.005 triliun.

Utang Indonesia dalam bentuk Dollar Amerika sebesar US$217.722 miliar, dalam bentuk Yen sebesar 22.958 miliar Yen, dalam bentuk Special Drawing Right (SDR) sebesar 5.348 miliar SDR, dalam bentuk Poundterling sebesar 445 juta poundsterling, dalam bentuk Swiss Franc sebesar 240 juta Swiss Franc.

Selain itu baik negara atau lembaga donor yang memberikan utang yaitu berasal dari Jerman sebesar Rp21,07 triliun mengalami kenaikan dari Rp19,83 triliun atau naik 2,9 persen, Prancis sebesar Rp26,24 triliun naik dari Rp24,79 triliun atau naik 3,6 persen. Kemudian, dari Asia Development Bank naik 15,6 persen atau naik dari Rp109,71 triliun menjadi Rp113,92 triliun, utang pemerintah terhadap Bank Dunia naik 27,1 persen, dari Rp189,5 triliun menjadi Rp197,1 triliun. Terakhir penyumbang terbesar dari Jepang naik 30,9 persen, dari Rp210 triliun menjadi Rp224,33 triliun.

BACA JUGA: