JAKARTA, GRESNEWS.COM - Indonesia pernah dicap sebagai negara lemah dalam menghadapi kejahatan pencucian uang dan pendanaan terorisme. Hal itu terbukti ketika Indonesia sempat masuk dalam Public Statement (black list) Financial Action Task Force (FATF) pada Februari 2012 lalu karena dipandang belum serius terhadap pencegahan pendanaan terorisme dan pencucian uang.

FATF yang resmi didirikan pada 1989 merupakan lembaga pembuat kebijakan antarpemerintahan yang tujuannya menetapkan standar internasional, mengembangkan dan mempromosikan kebijakan, baik di tingkat nasional maupun internasional dalam memerangi pencucian uang serta pendanaan terorisme.

Setiap negara yang masuk dalam daftar black list FATF wajib mendapat peringatan dari lembaga keuangan di seluruh negara dengan tujuan mengevaluasi kegiatan transaksi keuangan maupun perbankan agar semakin lebih hati-hati.

Setelah kurang lebih tiga tahun masuk dalam daftar hitam, pada 2015 FATF secara resmi mengeluarkan Indonesia dari daftar negara yang memiliki kelemahan strategis dalam regime anti pencucian uang dan pemberantasan pendanaan terorisme pada pertemuan pleno FATF yang dilaksanakan di Brisbane, Australia, 21-26 Juni 2015 lalu.

Indonesia mendapat pengakuan FATF setelah melakukan kemajuan dalam menanggulangi tindak pencucian uang dan pendanaan terorisme.

Beberapa pertimbangan FATF adalah komitmen Indonesia memperkuat legislasi nasional melalui pengesahan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme serta Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

Direktur Jenderal Multilateral Kementerian Luar Negeri yang menjadi perwakilan Delegasi Indonesia dalam pertemuan di FATF Hasan Kleib mengatakan, Indonesia sudah menunjukan kemajuan dan tekad memerangi tindak pelanggaran pencucian uang dan pendanaan terorisme.

Hal itu, kata dia, dibuktikan melalui implementasi UU anti money laundering dan financing terorism. Dengan penerapan itu, menurutnya, posisi Indonesia di mata internasional akan aman.

"Pemerintah membuat UU pemberantasan pendanaan terorisme dan pencucian uang itu kan sangat penting untuk kepentingan dalam negeri. Kebetulan memenuhi harapan FATF jadi akhirnya kita bebas dari black list," kata Hasan kepada gresnews.com, Senin (8/2).

Manfaat dari pembebasan itu, jelas Hasan, sangat berdampak positif terutama memudahkan aktifitas financial transaction. Kemudian, bagi pihak asing atau kalangan investor tidak ragu lagi melakukan transfer atau transaksi ke Indonesia karena bersih dari kejahatan tindak pidana.

RAWAN PRAKTIK PENCUCIAN UANG - Walaupun sudah terlepas dari catatan hitam FATF tahun 2015 lalu, namun Indonesia masih rawan terhadap target money laundering dan kejahatan di sektor keuangan.

Direktur Kajian Ekonomi Pusat Studi Sosial dan Politik Kusfiardi mengatakan, alasan tersebut dikarenakan Indonesia masih menganut Rezim Devisa bebas. Kalau pun dibatasi lewat transaksi tunai, menurut dia, itu hanya bagian dari salah satu aspek pencegahan.

Namun persoalan mendasarnya, kata dia, adalah kajian penerapan aturan devisa bebas yang selama ini cukup merugikan Indonesia.

Rezim devisa bebas adalah kondisi dimana setiap orang membawa masuk-keluar uang di Indonesia secara bebas yang berpotensi membuka celah atau kemungkinan pihak-pihak dari luar untuk menjadikan Indonesia sebagai tempat tujuan pencucian uang. Devisa bebas juga akan mempersulit pemerintah mengendalikan hot money (uang panas) yang diperoleh secara ilegal dari luar negeri.

"Selama ini masih berlangsung, Indonesia masih jadi negara rentan terhadap sistem keamanan keuangan," kata Kusfiardi dihubungi gresnews.com, Rabu (10/2).

Menurutnya, tidak ada jalan lain selain mengantisipasi dan mengevaluasi aturan devisa bebas. Pengamanan dan pengawasan sektor keuangan perlu memperhatikan efek rezim devisa bebas diantaranya dengan mengoreksi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa.

PERLUNYA ATURAN PEMBATASAN TRANSAKSI TUNAI - Pencegahan terhadap kejahatan pencucian uang dan tindak pidana pendanaan terorisme dapat dilakukan melalui kebijakan pembatasan transaksi tunai. Strategi ini dipandang efektif memerangi kasus pencucian uang atau setiap aktivitas transaksi yang mencurigakan.

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Donal Fariz menyebut, usulan ini sebenarnya sudah lama direkomendasikan Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK) kepada pemerintah terkait RUU pembatasan transaksi tunai. Bahkan, status RUU tersebut pun dikabarkan telah melewati finalisasi draft akademik.

"PPATK sudah usulkan, tapi itu putus dan pemerintah belum memiliki keseriusan memberlakukan pembatasan tunai ini," tutur Donal dihubungi gresnews.com, Rabu (10/2).

Seandainya proses transaksi tanpa pembatasan, Donal menilai, sangat mungkin terjadi praktik pelanggaran karena uang tersebut tidak bisa dipertanggungjawabkan kemudian identitas pelaku bisa dikaburkan.

Seperti RUU Pembatasan Transaksi Tunai yang direkomendasikan oleh (PPATK) mengatur soal ketentuan penarikan tunai di atas Rp 100 juta tidak lagi diizinkan oleh bank. Dalam aturan merekomendasikan proses transaksi di atas Rp 100 juta dilakukan melalui transfer antar rekening.

Menurut Donal, sekarang tinggal bagaimana tugas pemerintah memaksimalkan informasi bersama Penyedia Jasa Keuangan terkait seluruh potensi tindak pidana mencurigakan. Terutama, melalui kordinasi pencegahan dan sinergi kebijakan yang baik dalam memberikan informasi terkait segala bentuk pelanggaran.

BACA JUGA: