JAKARTA,GRESNEWS.COM - Indonesia ternyata menjadi satu-satunya negara yang tak memiliki cadangan energi nasional. Selama hampir 70 tahun merdeka negara ini belum mampu memiliki cadangan energi nasionalnya.  Cadangan bahan bakar minyak (BBM) hanya dimiliki Pertaminan itu pun berupa cadangan operasional yang hanya bertahan selama 18 hingga 23 hari.

Kondisi ini dinilai mengancam ketahanan energi, sehingga jika ada kondisi darurat  misalnya terjadi perang, penutupan selat Malaka atau impor BBM terhenti, selama itu pemerintah tak bisa berbuat apa-apa. Komisi VI mendesak pemerintah segera mengantisipasi kedaruratan  ini dengan menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres).

Sebab International Energy Agency (IEA) mensyaratkan cadangan BBM untuk setiap negara harus 90 hari demi mencapai ketahanan energi. Saat ini, pemerintah hanya mampu memenuhi sepertiganya atau sekitar 30 hari. Hal ini dinilai tak sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2004 tentang Industri Hilir Perminyakan dan Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan  Energi Nasional.

Tak kunjung terbentuknya cadangan energi nasional karena alasan, pemerintah tidak memiliki dana untuk membangun fasilitas penyimpanan dan membeli minyak untuk cadangan 90 hari. Diketahui untuk mencadangkan BBM dalam satu hari Indonesia membutuhkan dana sebesar Rp 1,4 triliun, sehingga untuk mencadangkan BBM selama 90 hari seperti disyaratkan, pemerintah membutuhkan anggaran sekitar Rp 126 triliun. Hal itu tentu sulit dipenuhi dari APBN.

Vice President for Corporate Communication PT. Pertamina (Persero) Wianda Pusponegoro membenarkan permasalahan minimnya stok bahan bakar minyak disebabkan oleh minim anggaran operasional di Pertamina. Saat ini  Pertamina baru bisa menanggung cadangan operasional BBM untuk distribusi harian.

Ia juga menegaskan bahwa cadangan energi nasional berbeda dengan cadangan operasional. Saat ini Pertamina hanya siap menyediakan cadangan operasional. Pertamina selaku badan usaha selalu siap diri untuk meningkatkan kemampuan storage. "Terutama untuk ketahanan cadangan operasional BBM rata rata 20 hari ke atas," ujar Wianda kepada gresnews.com, Rabu (29/7).

Sementara, menurut Wianda,  untuk cadangan nasional, prakarsa dan domain ada di tangan pemerintah. Termasuk  untuk menyiapkan pendanaan, perumusan infrastruktur penyimpanan yang diperlukan. Sebab  di negara negara lain cadangan operasional juga mendapat dukungan dari pemerintahnya. Sementara ini data cadangan minyak di Pertamina yang tersedia data coverage days saja. Premium cukup untuk 20 hari, pertamax 28 hari dan solar 25 hari ke depan.

KETERGANTUNGAN IMPOR - Menurut Wakil Ketua Komisi VI DPR RI, Heri Gunawan, sulitnya pemerintah memenuhi cadangan minyak 90 hari tersebut adalah bukti bahwa kabinet kerja saat ini tidak mampu keluar dari ketergantungan  pasokan minyak impor. Mengacu pada laporan IEA, Indonesia sudah menjadi importir minyak terbesar kedua di tingkat regional. Gap antara produksi dan konsumsi juga kian melebar. "Tahun 2015 saja, konsumsi minyak telah mencapai 1,5 juta barrel per hari sedangkan realisasi lifting hanya berkisar 700 ribu barrel per hari," katanya kemarin.

Ketergantungan terhadap impor minyak akan sangat membahayakan ketahanan energi nasional. Di saat yang sama, tata kelola minyak masih amburadul. Dari berkurangnya cadangan dan produksi minyak dan gas bumi, hingga berkurangnya kegiatan eksplorasi. Selain kondisi kilang-kilang minyak yang sudah tua dan tidak efisien lagi, juga diperburuk adanya mafia minyak yang terus mencari untung.

Pemerintah harus menjamin ketahanan energi untuk menjamin berhasilnya pertumbuhan ekonomi nasional. Di tengah-tengah pertumbuhan penduduk dan urbanisasi yang demikian cepat yang memberi dampak meningkatnya konsumsi energi nasional. Hingga tahun 2025, konsumsi BBM diprediki akan mencapai 2,5-2,6 juta barrel per hari.

Untuk itu, pengelolaan cadangan minyak sangat strategis. Pada konteks ini, pemerintah harus bekerja keras untuk memenuhi cadangan BBM. Jangan hanya karena uang tidak ada, lalu pemerintah menyerah. "Kalau pemerintah cepat menyerah, maka kesinambungan pertumbuhan ekonomi, politik dan sosial akan terancam," ujar Heri.

Ini menurutnya ancaman serius karena kehidupan ekonomi, sosial dan politik sangat bergantung pada kemampuan pemerintah memastikan ketersediaan energi yang berkelanjutan. Diketahui bahwa pemenuhan kebutuhan dan pemeliharaan energi nasional menjadi pilar utama dari kebijakan dan strategi ekonomi serta investasi.

HARUS ADA TEROBOSAN - Untuk mencapai hal itu, pemerintah harus melakukan terobosan dan perbaikan. Terutama sistem kelembagaan yang  masih perlu penguatan dalam perencanaan, kebijakan dan implementasi. Juga  investasi pada infrastruktur energi dan usaha yang berkelanjutan guna menuju pasar energi yang terkelola dan menciptakan struktur harga yang baik.

Heri menegaskan, presiden perlu mengeluarkan Perpres atau Peraturan Presiden untuk meningkatkan  cadangan BBM hingga 90 hari. Sehingga ada jaminan kepastian ketersediaan BBM. "Dengan Perpres tersebut diharapkan  menjadi solusi kebijakan BBM nasional yang mengalami banyak kesulitan dikarenakan banyaknya lembaga dan badan yang saling tumpang tindih," ungkap Heri.

Ia menambahkan pemerintah harus sungguh-sungguh menyediakan infrastruktur, seperti perbaikan dan pembangunan kilang-kilang yang selama ini menjadi tantangan utama Indonesia. Termasuk dalam mencapai bauran energi yang selama ini hanya "lips service".

Uang, menurutnya, tidak boleh menjadi alasan penghambat menyediakan cadangan energi. "Menteri-menteri terkait termasuk BUMN Pertamina harus bekerja keras. Kalau tidak mampu, maka presiden harus berani mengevaluasi. Kalau harus diganti, ya ganti," ujarnya.

Sementara  anggota Komisi VII DPR dari Partai Nasional Demokrat (Nasdem) Kurtubi mengatakan pemerintah harus menyadari bahwa ketahanan BBM saat ini sangat rawan. Sebab cadangan BBM hanya cukup untuk kebutuhan di bawah 20 hari. Kalau terjadi sesuatu dengan impor atau pendistribusiannya, maka gerak ekonomi Indonesia bisa terhenti. Negara-negara maju selalu mempertahankan cadangan BBM untuk minimal 90 (sembilan puluh) hari.

"Mestinya Pemerintah segera mendorong pembangunan infrastruktur tangki timbun yang memadai, baik oleh Pertamina maupun oleh pihak swasta," ujar Kurtubi kepada gresnews.com, Rabu (29/7)

STRATEGI PEMERINTAH - Sebelumnya Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi, Kementerian ESDM, IGN Wiratmaja Puja mengungkapkan dalam mempertahankan ketersediaan energi  pemerintah Presiden Joko Widodo (Jokowi) memiliki empat agenda prioritas.

Agenda pertama dengan memaksimalkan eksplorasi. Menurutnya, Indonesia memiliki 60 cekungan yang akan dieksplorasi secara masif. "Kita sudah kerjasama dengan Lemigas dan Badan Geologi. Termasuk yang di laut, kita kerjasama dengan Badan Geologi Kelautan," katanya, Rabu (10/6) lalu.

Kedua,  dengan pembangunan infrastruktur BBM. Berupa Depo-depo BBM di wilayah timur yang masih sangat kurang. Beberapa pulau diketahui masih belum memiliki SPBU dan tangki. "Saat gelombang besar, masyarakat di pulau itu tidak bisa dapatkan  BBM," ungkapnya.

Ketiga, meningkatkan storage atau kemampuan cadangan Pertamina. Saat ini masa simpan cadangan BBM baru bisa untuk 22 hari sedangkan elpiji 12 hari. cadangan ini menurutnya akan dikembangkan menjadi 30 hari. Proyek ini menurutnya sudah dimulai, dengan menyewa tangki-tangki KKKS dan Pertamina.
Cadangan buffer atau penyangga diupayakan ditambah 30 hari. Kalo satu hari 1,5 juta barrel, 30 hari dibutuh storage 45 juta barel. "Ini besar sekali dan perlu tangki-tangki dengan investasi besar. Ini ditargetkan tercapai dalam 5 tahun," katanya.

Sementara prioritas keempat adalah dengan pembangunan kilang. Ditargetkan dalam 10 tahun akan bangun 4 kilang setara 300 ribu-350 ribu barel/hari. Menurutnya telah banyak badan usaha dan perusahaan asing mengajukan usulan pembangunan kilang ini. Saat ini sedang dalam screening. Prioritas yang akan membangun Pertamina bersama partner. Polanya dengan kerjasama KPS atau pemerintah-swasta. Pemerintah dalam hal ini diwakili Pertamina.

Selain infrastruktur BBM pemerintah juga fokus pembangunan infrastruktur gas. Pemerintah berusaha untuk menyambung pipa gas dari ujung Sumatera sampai ujung Pulau Jawa. (Agung Nugraha/dtc)

BACA JUGA: