JAKARTA, GRESNEWS.COM - Hutang PT Trans Pacific Petrochemical Indotama (TPPI) kepada Pertamina hingga triliunan rupiah harus segera diusut para penegak hukum. Hutang TPPI yang mencapai Rp 6,5 triliun itu dinilai merugikan negara.

Untuk itu Pertamina disarankan untuk mengambil alih kilang milik TPPI yang bisa dimanfaatkan untuk mengolah Ron 88 (premium) untuk mengurangi kerugian. "Itulah yang harus dikejar penyidik, untuk apa membeli kilang, ambil alih saja, karena berpotensi mengolah premium hingga 83 ribu barel per hari," kata Pengamat Energi Yusri Usman kepada Gresnews.com, Rabu (3/6).

Jika ada potensi pengolahan premium sebesar itu, akan mengurangi impor premium Pertamina. Yusri mengkhawatirkan pemerintah akan jatuh dan tertimpa tangga lantaran kasus TPPI menjadi hutang yang tak terbayarkan. Sementara kilang yang ada akan menjadi besi tua apabila tak cepat dimanfaatkan.

Kasus TPPI ini hanyalah salah satu permainan yang kerap dijadikan lahan bancakan oleh petinggi SKK Migas.

Sementara Kasus lain yang juga penting diusut adalah pemberian kuasa penjualan LNG bagian negara kepada anggota konsorsium IDD Chevron Kaltim (Chevron Rapak, Ganal Makasar & Eni Muara Bakau). Pemberian kuasa itu tertuang dalam SK No. 0062/BPOOOOO/2011/ SO tanggal 11 Mei 2011 yang ditandatangani Kepala BP Migas Raden Priyono.

Bahkan, BP Migas juga memberikan alokasi gas kepada hampir 100 trader gas dan sebagian bertameng Perusda (BUMD) yang tanpa persetujuan Menteri ESDM. Padahal menurut Permen ESDM No 3 tahun 2010, alokasi gas harus atas persetujuan Menteri ESDM.

"Kalau sudah proses penyidikan itu sudah wewenang Bareskrim tapi kita lihat ada bukti lain di sini," katanya.

Kuasa jual dianggap telah melanggar KPTS No 20 tahun 2003 bukan saja dilakukan kepada TPPI,  tapi juga kepada konsorsium IDD yang ditandatangani Priyono pada 27 Mei 2011. Memberi kuasa jual ini telah melanggar pedoman tata laksana pemberian kuasa jual minyak dan gas bumi kepada pihak lain.

Anggota Komisi VII M. Suryo Alamy mengatakan pemerintah saat ini melihat peluang pasar bukan dengan menambah jumlah premium. Namun dengan mengembangkan BBM jenis baru yakni  pertalite. Hanya sayangnya jenis ini dianggap belum memiliki kesiapan pasar.

"Pertamina melihat pertamax telah dilempar ke pasar bebas, sedang memproduksi premium justru banyak kerugian karena ada disubsidi. Maka mereka investasi lain ke pertalite," katanya kepada Gresnews.com, Rabu (3/6).

Padahal, daripada mengembangkan pertalite, Komisi VII cenderung lebih melihat dinamika penggunaan BBM pada jenis premium. "Kita akan awasi segala kebijakan ini jangan sampai merugikan rakyat," ujarnya.

BACA JUGA: