JAKARTA, GRESNEWS.COM - Asosiasi Produsen Listrik Swasta Indonesia (APLSI) menilai Indonesia masih menghadapi tiga tantangan terbesar dalam industri listrik nasional, yakni ketidakpastian regulasi, kurangnya koordinasi antar Kementerian/lembaga pemerintah dan pengelolaan Program 35 GW (Giga Watt).

Penilaian itu didasari hasil survei yang dilakukan APLSI bersama  PwC Indonesia baru-baru ini. Survei yang diperoleh dari beragam responden, termasuk perwakilan dari pemilik dan operator Produsen Listrik Swasta (PLS), pengembang pembangkit listrik, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Pemerintah itu diperoleh gambaran adanya tantangan mendesak yang menghambat industri ketenagalistrikan dan perkembangan Program 35GW.

Menurut Power & Utilities Partner PwC Indonesia, Yanto Kamarudin dari penyampaian para responden yang disurvei menyatakan ada sejumlah tantangan utama yang kini dihadapi dalam pembangunan sektor ketenagalistrikan Indonesia, yakni  1) Ketidakpastian regulasi; 2) Kurangnya koordinasi di antara Kementerian/lembaga pemerintah lainnya; dan 3) Pengelolaan Program 35 GW.    

Dari hasil survei koresponden mengakui Pemerintah telah melakukan sejumlah inisiatif untuk mengatasi tantangan tantangan industri ketenagalistrikan.

"Dan Sebagian besar responden optimis bahwa arah reformasi peraturan sudah positif, dan terdapat peluang-peluang yang signifikan bagi PLS untuk bekerja sama dengan Pemerintah  meningkatkan kinerja sektor ketenagalistrikan," ujar Yanto seperti disampaikan dalam rilisnya.  

Namun menimbang komentar-komentar dari para responden yang disurvei tersebut terkait seringnya dilakukan perubahan terhadap regulasi, maka pelaku usaha masih menanti perencanaan, kejelasan pengadaan, dan konsistensi Pemerintah agar mendorong perubahan ke arah yang lebih baik.

"Para responden berpandangan bahwa apabila pendongkrak kebijakan seperti perbaikan alokasi risiko dalam Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik (Power Purchase Agreements/PJBL) diterapkan, maka hal ini dapat mendukung elektrifikasi dan keandalan pasokan listrik," ujar Yanto dalam rilisnya.

Mereka juga melihat adanya dukungan kuat pemerintah terkait iklim investasi bagi investor. "Meskipun terdapat kekhawatiran itu, para investor yang kami survei yakin bahwa Pemerintah telah menunjukkan dukungannya terhadap investasi swasta dan menciptakan iklim investasi yang kondusif di industri ketenagalistrikan," jelasnya.

Dari hasil survei juga terungkap sebanyak 67 persen responden mengkhawatirkan soal ketersediaan pasokan listrik untuk lima tahun ke depan. Kekhawatiran ini konsisten dengan pertanyaan-pertanyaan seputar ketepatan waktu pelaksanaan Program 35 GW oleh pemerintah.

Selain itu, sebagian peserta survei juga telah mengidentifikasi tiga megatren global sebagai faktor-faktor penting yang mempengaruhi sektor ketenagalistrikan Indonesia, yaitu pertumbuhan penduduk, pembangunan kota-kota megapolitan dan disruptive technologies. Hal ini seiring pertumbuhan ekonomi yang terus meningkat dan dengan jumlah penduduk lebih dari 250 juta jiwa. "Hal ini menyebabkan  permintaan pasokan listrik di Indonesia secara year-on-year terus mengalami pertumbuhan, sehingga Indonesia tengah menghadapi permintaan pasokan listrik yang sangat besar, " tutur Yanto.

Responden survei juga menyoroti peluang-peluang di luar pembangkit, transmisi dan distribusi listrik terpusat, yang didorong oleh peralihan ke arah energi terbarukan. Solusi-solusi mini-grid dan off-grid semakin relevan untuk negara kepulauan yang wilayahnya tersebar luas seperti Indonesia.

"Meskipun demikian, beberapa isu terkait dengan tarif, model usaha, lokasi usaha dan penerimaan masyarakat setempat masih menjadi tantangan," tambahnya.

Hasil survei juga memperlihatkan bahwa pemerintah maupun industri sangat mengetahui adanya ‘Trilema Energi’ – trade-off antara keamanan, keterjangkauan dan kesinambungan pasokan. Dimana keamanan pasokan menjadi prioritas utama di tahun 2016, disusul ketat keterjangkauan, kemudian keberlanjutan (energi bersih).

MASIH BERTUMPU BATUBARA - Dari kondisi ini pihaknya melihat fokus kebijakan akan tetap berada pada pembangunan PLTU yang menggunakan batubara, dimana sumber daya ini volumenya melimpah dan harganya murah. Sehingga dalam jangka pendek, sejalan dengan  bauran energi untuk Program 35GW yang sekitar 60% diantaranya merupakan pembangunan PLTU.

Namun prioritas ini bergeser saat para responden survei memandang untuk lima tahun ke depan, dimana keberlanjutan diharapkan menjadi isu yang lebih diprioritaskan daripada keamanan pasokan. Hasil ini kembali mendukung potensi perpindahan menuju pemakaian energi terbarukan dalam satu dekade ke depan.

Survei juga memperlihatkan sekitar 69% responden menilai kebijakan kerjasama antara Pemerintah dan swasta yang lebih baik serta adanya alokasi risiko yang lebih berimbang dalam PJBL akan berdampak positif meningkatkan elektrifikasi dan keamanan pasokan.

Sementara sebagian responden menekankan adanya pemisahan kegiatan pembangkitan, transmisi dan distribusi dan liberalisasi pasar ketenagalistrikan bisa berdampak positif bagi peningkatan elektrifikasi.

Kendati menghadapi banyak tantangan itu responden masih optimis dengan banyak peluang yang terbuka, dan adanya perbaikan-perbaikan yang yang dilakukan di masa depan. Hanya saja sistem ketenagalistrikan Indonesia dinilai masih akan tetap terhambat sampai terbentuknya kerangka model investasi yang lebih menarik dan kepastian regulasi yang lebih baik.

Menanggapi hasil survei ini Ketua Harian APLSI, Arthur Simatupang berharap laporan ini dapat menjadi masukan bagi pengembangan sektor ketenagalistrikan.

"Sebab Kami melihat masih banyak perbaikan yang perlu dilakukan untuk mempercepat perkembangan elektrifikasi di Indonesia agar bisa menjangkau mayoritas penduduk di seluruh nusantara," tutur Arthur.

BACA JUGA: