JAKARTA, GRESNEWS.COM - Peluncuran BBM jenis baru, Pertalite banyak menimbulkan pro kontra di masyarakat. Dikhawatirkan lantaran tak ada di pasaran dunia, Pertalite akan menjadi celah baru golongan tertentu untuk memperkaya diri dengan merugikan keuangan negara alias korupsi. Pasalnya, sama seperti kasus Premium, diperkirakan Pertalite yang bahan bakunya diimpor dikhawatirkan akan menimbulkan jalur mafia baru.


Beberapa waktu lalu, Direktur Eksekutif Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB) Ahmad Safrudin pernah mengatakan, upaya pemerintah meluncurkan Pertalite yang memiliki RON 90 mengandung hal-hal yang mencurigakan. Pasalnya, RON 90 tidak ada di harga internasional dan belum diatur di negara manapun sehingga sulit bagi publik melacak harga sesungguhnya.

"Di sini ada peluang mafia Migas bermain, karena belum ada MOPS-nya seperi RON 91. Yang saya tidak habis fikir, kenapa Pertalite hanya 90 tidak sekalian menjadi RON 91," kata Safrudin di kantor KPBB di Jakarta, beberapa waktu lalu.

Terlebih, tim Reformasi Tata Kelola Migas (RTKM) juga tidak menyambut positif langkah peluncuran Pertalite. Anggota RTKM Fahmy Radhi mengatakan, saat ini angka oktan terendah yang umum diperdagangkan di dunia adalah RON 92. Karena Pertalite ada di RON 90, maka Pertamina akan melakukan pencampuran untuk menurunkan nilai oktannya. "Lantas apa bedanya dengan Premium? Permainan mafia migas bisa terulang," ujarmya.

Selain itu, masih banyak pertanyaan terkait masalah pencampuran atau blending Pertalite ini, apakah dilakukan di Indonesia? Atau di luar negeri? "Blending di dalam atau luar negeri juga berpengaruh. Sebab, ada beda yang cukup besar dalam penentuan harga," ujarnya.

Direktur Pusat Kebijakan Publik (Puskepi) Sofyano Zakaria juga mengatakan, keberadaan Pertalite juga membuka peluang bagi pengusaha hitam untuk bermain dalam pasokan BBM. Dia mengaku pesimistis hadirnya Pertalite bisa membuat pengguna premium berpaling.

"Harga premium tetap saja lebih murah daripada Pertalite walau dipasok siapa pun," ujarnya kepada gresnews.com, Minggu (26/7).

Meski begitu, menurut dia, peluncuran Pertalite sebagai produk alternatif sah-sah saja, sebab, Pertalite merupakan produk non subsidi. Permasalahan akan timbul saat dengan peluncuran Pertalite ini kemudian Premium dihapuskan, maka daya beli masyarakat dikhawatirkan akan terganggu.

Kebijakan penghapusan Premium bisa kembali memberatkan keuangan rakyat karena pada dasarnya rakyat sudah membeli Premium dengan harga yang sudah tidak ada muatan subsidi dari pemerintah. "Jika dihapuskan dalam kondisi ekonomi dunia dan negara yang tak menentu, maka ini kurang bijak," katanya.

Tidak dihapusnya Premium, kata Sofyano, penting selain menjaga daya beli, juga untuk mempersulit mafia BBM bermain. Sebab BBM ini tak disubsidi, sehingga jika ada permainan mafia migas, maka harga akan mahal dan tentu masyarakat tak akan membelinya. "Kecuali berkaca pada Premium yang penggadaannya disubsidi sehingga dapat menimbulkan celah-celah korupsi lewat dana subsidi tersebut," ujarnya.

PREMIUM HARUS DIPERTAHANKAN - Lantaran adanya kerawanan baru dimana mafia migas bisa memainkan harga Pertalite, menurut Sofyano, kebijakan peluncuran Pertalite ini harus didukung dengan tak menghapuskan Premium. Dengan demikian, tidak ada celah bagi mafia untuk bisa memainkan harga sebagaimana pada kasus Premium di masa lalu.

Sofyano mengatakan, penggunaan Premium masih umum dilakukan bahkan di Amerika Serikat, Rusia, Mesir, dan lainnya hingga saat ini juga masih menggunakan BBM bahkan dengan RON di bawah 88. "Amerika, masih menggunakan RON 87," ujarnya.

Bahkan, hingga kini California masih ada negara yang menggunakan aditif methyl tertiary butyl ether (MTBE) yang harganya jauh lebih murah dibanding high-octane motor-gasoline component (HOMC). MTBE merupakan sejenis oksigenat yang sama dengan methanol-ethanol atau ethyl tertiary butyl ether (ETBE).

MTBE dikenal dan dipakai secara luas di dunia karena harganya yang relatif murah dibandingkan dengan oksigenat lain. Namun, penggunaan MTBE banyak dilarang karena telah terbukti mencemari air tanah.

Environment Protection Agency (EPA) pun mulai merekomendasikan pemanfaatan oksigenat lain di luar MTBE seperti HOMC yang sudah lama digunakan Pertamina untuk produk BBM-nya.

Selain alasan itu, peluncuran Pertalite juga dinilai tak sebanding dengan kesiapan kilang-kilang minyak di Indonesia. Sebab diketahui saat ini kilang yang siap memproduksi hanya kilang Balongan saja, sementara Cilacap masih menunggu proses upgrade. Padahal konsumsi minyak bisa mencapai 1 juta barel setiap harinya.

"Makanya Pertamina masih uji coba, kilang kita memang masih kilang-kilang tua," katanya.

PERSEMPIT CELAH KORUPSI LEWAT PENGHAPUSAN SUBSIDI - Sementara ini, meski harga BBM jenis Premium tidak disubsidi, namun diperkirakan hal itu hanya berlangsung selama harga minyak dunia turun. Sementara jika harga minyak dunia naik tajam dan harga BBM Premium melonjak harga keekonomiannya hingga ke angka di atas Rp10.000 per liter, maka pemerintah tetap akan memberlakukan subsidi agar mampu meredam gejolak harga.

Nah, karena subsidi bisa menimbulkan celah korupsi, disarankan kebijakan serupa tidak diambil untuk Pertalite. Pengamat Energi Bambang Setiawan mengatakan, celah korupsi pada Pertalite akan sangat kecil, bahkan hampir tak mungkin jika Pertalite tidak disubsidi sama sekali.

Berkaca pada Premium, dimungkinkan ada celah korupsi tersebut lantaran terdapat subsidi dan Petral sebagai lembaga yang memanfaatkan. Setidaknya, kini Petral telah dibubarkan, pun dengan subsidi yang sudah ditiadakan.

"Sama saja, jika ingin main maka mungkin bisa di pengadaannya saja, dibolak balik seolah punya kontrak. Misal dengan negara abal-abal seperti Maladewa yang tak punya minyak lalu minyaknya tetap ambil sana sini," katanya kepada gresnews.com, Minggu (27/7).

Ia juga menduga upaya pengadaan Pertalite merupakan salah satu cara menghemat kerugian Pertamina. Sebab selama ini, saat memproduksi Premium, Pertamina tetap membeli RON 92 yang kemudian diproses menjadi RON 88. Karena itu, tentu ada biaya tambahan untuk mengubah ke RON yang lebih kecil.

Denggan diubahnya RON 92 ke level yang lebih tinggi, diharapkan biaya tambahan ini akan mulai berkurang. "Jika uji coba berhasil maka ini tahap ini bisa jadi Pertamina menghilangkan Premium," katanya.

Pada kesempatan terpisah, anggota Komisi VII M. Suryo Alamy menyatakan Komisi VII DPR RI pada masa sidang bulan depan akan membahas langkah yang dilakukan Pertamina ini. Pasalnya, pada rapat terakhir, Komisi VII telah meminta penundaan peluncuran Pertalite karena masih terdapat hal-hal yang mengganjal.

Walaupun pengadaan Pertalite dibebaskan lantaran tak disubsidi, namun mereka khawatir peluncurannya akan mengurangi jatah Premium. "Kita juga mau tahu, Pertalite racikannya bagaimana? Beli jadi atau racik di dalam negeri? Jangan sampai cuma oplosan Premium dengan Pertamax karena akan ada pelanggran," ujarnya kepada gresnews.com, Minggu (26/7).

Mekanisme yang belum jelas inilah yang akan diminta klarifikasinya oleh Komisi VII. Rapat Dengar Pendapat terakhir belum meemberikan kejelasan dari pohak Pertamina. "Bulan depan pasti ditanyakan untuk pertanggung jawaban," tutupnya.

BAKAL DIPRODUKSI DI DALAM NEGERI - Sementara itu, Vice President Communication Pertamina Wianda Pusponegoro menyatakan ke depannya, Pertamina berusaha akan memproduksi BBM jenis Pertalite ini di dalam negeri. Saat ini, elemen blending yang dipakai, yakni naphta yang berasal dari kilang Cilacap pun sudah sangat besar volumenya, bahkan berlebih.

"Melihat penjualan yang bagus, ke depan akan diperbanyak lagi," katanya kepada gresnews.com, Minggu (26/7).

Diketahui, penjualan Pertalite pada daerah Jawa bagian barat di 66 SPBU termasuk DKI Jakarta dan sekitarnya mengalami kenaikan. Total dari satu hari, yakni tanggal 24 Juli ke 25 Juli penjualan naik sebesar 80 persen atau setara dengan 186.610 liter per hari.

Kenaikan yang pesat ini menurutnya merupakan reaksi positif masyarakat yang merasakan dampak langsung dari Pertalite bagi kendaraan mereka. "Naphta dan HOMC semua ada di dalam negeri, di level standar normal dan tak ada lonjakan apapun," katanya.

Untuk produksi dalam negeri, Pertamina menyatakan siap dengan kilang yang dimiliki walaupun hanya bergantung pada Balongan dan Cilacap yang ditargetkan selesai pembenahannya pada waktu dekat. Sebab, dari kilang Balongan, Pertamina biasa memproduksi sekitar 200 ribu barel per hari dan Cilacap selama ini sudah mampu produksi 90 ribu barel per hari.

Uji penjualan Pertalite ini, kata Wianda, akan sepenuhnya diserahkan ke masyarakat. "Mereka bebas memilih akan tetap menggunakan Premium atau beralih ke Ron 90 yang kualitasnya lebih baik," ujarnya.

Namun, ia menyangkal isu penghapusan Premium, sampai saat ini, Premium masih bisa dibeli normal. "Sama sekali tak ada pengurangan RON 88," ujarnya.

BACA JUGA: