JAKARTA, GRESNEWS.COM - Sejak diluncurkan awal bulan kemarin, program revaluasi aset yang merupakan bagian dari kebijakan Paket Ekonomi VI, masih sepi peminat. Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno mengatakan, banyak perusahaan pelat merah yang ragu melakukan revaluasi aset.

Padahal tawaran pemerintah lumayan menggiurkan. Tarif normal pajak penghasilan (PPh) dalam melakukan revaluasi aset adalah 10%. Namun terkait paket kebijakan ekonomi, tarif itu diturunkan menjadi 3% untuk BUMN yang melakukan revaluasi aset hingga 31 Desember.

Sementara untuk periode 1 Januari hingga 30 Juni 2016, tarifnya menjadi 4%. Untuk periode 1 Juli hingga 31 Desember 2016 dikenakan tarif PPh 6%.

Dikortingnya tarif PPh ini dilakukan pemerintah agar banyak perusahaan khususnya BUMN mau melakukan revaluasi aset. Dengan begitu, pemerintah berharap ke depan akan menerima pemasukan pajak yang lumayan besar.

Sayang, hingga nyaris sebulan tawaran berlaku, BUMN masih maju-mundur untuk melakukan revaluasi aset. Alasannya, kata Rini, dalam melakukan revaluasi aset akan ada uang tunai yang akan dikeluarkan BUMN yang bisa mengganggu arus kas perusahaan.

Bagi yang punya arus kas lancar, menurut Rini, tentu tak akan ada masalah berapa pun besar uang tunai yang dikeluarkan saat melakukan revaluasi aset.  Tetapi revaluasi aset akan menjadi tidak menguntungkan bagi perusahaan BUMN yang menengah dan kecil karena arus kas akan terganggu.

Rini menilai, revaluasi aset cocok untuk perusahaan yang yang sedang mencari pembiayaan untuk misalnya melakukan ekspansi usaha. "Kalau memang butuh pembiayaan untuk ekspansi, tidak masalah untuk melakukan revaluasi aset. Tapi kalau tidak mau melakukan investasi ya buat apa kita merevaluasi aset," kata Rini, di Jakarta, Sabtu (21/11).

Revaluasi aset penting untuk perusahaan yang membutuhkan pembiayaan. Sebab dengan revaluasi, maka aset menjadi lebih tinggi dan perusahaan mampu menarik pembiayaan lebih besar.

MN melakukan revaluasi, Ikatan Akuntansi Indonesia (IAI) meminta agar perusahaan tidak khawatir dalam melakukan revaluasi aset. Anggota Tim Implementasi Standar Akuntansi Keuangan (SAK) IAI Roy Iman Wirahardja menjelaskan terkait dengan terbitnya Peraturan Menteri Keuangan 191 Tahun 2015, revaluasi aset berdasarkan perpajakan harus dibedakan dengan revaluasi berdasarkan akuntansi.

Dia menerangkan, jika suatu perusahaan akan melakukan revaluasi untuk tujuan perpajakan harus mengikuti ketentuan perpajakan. Sedangkan revaluasi untuk tujuan akuntansi harus mengikuti Standar Akuntansi Keuangan (SAK) yang berlaku, yaitu PSAK 16 berupa aset tetap.

BEDA PERLAKUAN - Roy menerangkan, terdapat beberapa perbedaan perlakuan antara revaluasi berdasarkan perpajakan dengan akuntansi. Berdasarkan perpajakan, revaluasi hanya dilakukan pada suatu titik tertentu dan perusahan boleh melakukan revaluasi kembali untuk jangka waktu 5 tahun ke depan.

"Revaluasi dapat dilakukan untuk aset tertentu yang dimiliki perusahaan," kata Roy, Rabu (25/11) .

Sedangkan revaluasi berbasis akuntansi atau mengikuti PSAK 16, dalam melakukan revaluasi, apabila perusahaan memilih model revaluasi atas aset tetap maka perubahan dilakukan secara konsisten. "Revaluasi harus dilakukan secara reguler dan harus dilakukan untuk seluruh aset dalam kelompok yang sama," katanya.

Roy mengakui ada pendapat yang menyamakan antara revaluasi berbasis akuntansi dengan revaluasi berbasis pajak. Pendapat itu, kata dia, tak tepat karena konvensi International Financial Reporting Standards (IFRS) telah memutuskan, entitas bisnis bisa memilih salah satu.

"Artinya perusahaan bisa apakah akan melakukan revaluasi akuntansi tanpa revaluasi pajak atau sebaliknya," kata Roy.

Menurutnya karena tujuan keduanya berbeda, dua proses tersebut tidak perlu disatukan. Namun secara umum, kata Roy, revaluasi aset memang dilakukan untuk memperbaiki neraca entitas bisnis.

Yang perlu disadari oleh seluruh perusahaan adalah tidak ada penambahan cash flow perusahaan yang telah melakukan karena perhitungannya hanya di buku keuangan. Selain itu, kata dia, dalam proses bisnisnya tidak bisa membagikan dividen dari proses revaluasi aset.

"Revaluasi itu tujuannya untuk memperbaiki neraca. Tentu saja ada harga yang harus dibayarkan ketika melakukan revaluasi itu. Dalam menghitung RoA (Return on Asset) misalnya, ketika pembaginya makin besar, angka pengembalian terlihat semakin kecil. Tapi DER (Debt to Equity Ratio) akan terlihat semakin baik," kata Roy.

Roy menuturkan berdasarkan PSAK 16 terdapat dua syarat untuk melakukan revaluasi. Pertama dilakukan untuk seluruh class of asset. Artinya, jika satu aset direvaluasi, hal itu juga harus dilakukan terhadap aset di kelas yang sama.

Misalnya perusahaan merevaluasi sebidang tanah, perusahaan tersebut juga harus merevaluasi seluruh tanah yang dimiliki. "Tidak bisa memilih sesuai keinginan (cherry picking)," jelasnya.

Syarat kedua, karena ini adalah pilihan, sekali entitas memilih melakukan revaluasi, akan sangat jarang untuk dapat kembali ke model historical cost. Asumsinya informasi fair value ini lebih relevan dibanding informasi historical cost.

Kendati demikian, revaluasi tidak harus dilakukan setiap tahun sepanjang nilai aset tidak berubah signifikan, tetapi dilakukan secara reguler. Selain itu, revaluasi juga tidak selalu harus dilakukan oleh penilai publik, namun bisa juga dilakukan oleh pihak internal.

"Yang jelas nanti hasilnya harus diaudit oleh pihak independen," ujarnya.

REVALUASI TAMBAH MODAL - Nilai positif revaluasi aset juga disebutkan oleh Menteri Koordinator (Menko) Bidang Maritim dan Sumber Daya Rizal Ramli. Rizal mengatakan, revaluasi aset penting untuk menyehatkan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan mendorong pertumbuhan ekonomi.

"Dengan kebijakan revaluasi aset, masalah semua diselesaikan. Lakukan revaluasi, modal bertambah. Ini langkah rajawali bangkit, bukan rajawali ngepret," ujar Rizal dalam acara DBS Asian Insight Conference 2015 di Ritz Carlton Pasific Place, Jakarta, Selasa (24/11).

Rizal mengatakan, saat dirinya menjadi Menteri Koordinator Perekonomian di era Presiden Abdurrahman Wahid, dia sempat melakukan revaluasi aset di PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang nyaris bangkrut dengan beban utang sebesar Rp9 triliun.

"Kami minta PLN lakukan revaluasi aset karena banyak bangunan yang dibeli dengan harga 20 tahun," katanya.

Alhasil, aset PLN pun naik lima kali lipat dari Rp40 triliun menjadi Rp200 triliun. Dana tersebut kemudian dipakai untuk mengatasi utang. "Itu berhasil menyelamatkan BUMN rugi menjadi hidup kembali tanpa menyuntikkan dana," kata Rizal.

Menurut Rizal, lebih baik melakukan revaluasi aset untuk megatasi BUMN yang nyaris rugi dibandingkan menyuntik penyertaan modal negara (PMN). Alasannya, kata Rizal, dengan revaluasi aset akan membuat BUMN kreatif mengatasi kondisi keuangan perusahaan.

Selain menyehatkan BUMN, revaluasi aset juga meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Rizal mengatakan, dengan revaluasi aset ekonomi Indonesia tahun depan bisa tumbuh 6%. Kalau lebih banyak nasabah kecil juga yang ikut revaluasi aset, pertumbuhan ekonomi bisa naik 6,5%.

"Kita bisa kalahkan pertumbuhan ekonomi India 7,3% tapi tidak bisa pakai cara-cara konvensional, harus pakai cara-cara break through," tutur Rizal. (dtc)

BACA JUGA: