JAKARTA, GRESNEWS.COM - Defisit anggaran dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2016 terancam semakin besar akibat target penerimaan pajak tahun 2016 yang diprediksi bakal jauh dari target. Realisasi penerimaan pajak hingga akhir November 2016 kemarin baru mencapai Rp965 triliun atau 71 persen dari total target yang ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2016 sebesar Rp1.355,2 triliun.

Wakil Ketua Komisi XI DPR RI Ahmad Hafizs Tohir mengatakan, pemerintah akan kembali mengalami defisit penerimaan pajak alias shortfall, terlebih jika asumsi pertumbuhan ekonomi tak tercapai. "Jadi, kalau asumsi pertumbuhan ekonomi tercapai 5,2 persen maka di depan mata sudah ada potensi shortfall. Lebih-lebih jika pertumbuhan ekonomi di bawah prediksi Bank Dunia, kekurangan penerimaan pajak bakal lebih besar lagi," kata Hafizs kepada gresnews.com, Senin (12/12).

Dia menyebutkan, dalam nota keuangan RAPBN-P 2016, pemerintah menyampaikan, setiap terjadi perubahan angka pertumbuhan ekonomi 0,1 persen, penerimaan perpajakan juga akan ikut bergeser sebesar Rp1 triliun hingga Rp1,6 triliun. Dari hitungan itu, dengan asumsi pertumbuhan ekonomi 5,2 persen maka kekurangan penerimaan pajak hingga akhir tahun diperkirakan mencapai Rp219 triliun.

"Kalau asumsi inflasi, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, ICP (Indonesian Crude Price), dan lifting minyak ikut meleset, potensi shortfall-nya akan semakin membesar. Jika ini terjadi maka Indonesia bisa mengalami krisis," ungkapnya.

Menurutnya, untuk inflasi, pemerintah memasang asumsi 4 persen. Kalau meleset, 0,1 persen saja, pendapatan negara bisa bergeser Rp8,9 triliun hingga Rp9,7 triliun. Sementara itu, kata dia untuk asumsi kurs, sensitivitasnya, setiap pertambahan atau pengurangan kurs Rp100 per Dolar AS, pendapatan negara dari pajak dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) bisa naik-turun Rp3,7 triliun hingga Rp5,1 triliun.

Demikian pula dengan lifting minyak yang diperkirakan tak akan tercapai sesuai asumsi makro yang disusun dalam APBNP 2016. "Karena tak berdasar realitas adalah lifting minyak bumi yang diprediksi 810.000 barel per hari. Sejak awal, asumsi lifting minyak kemungkinan besar tidak akan tercapai," ujarnya.

Dia menambahkan, tahun lalu saja, ketika harga minyak dunia tidak serendah proyeksi tahun ini, realisasinya hanya 778.000 barel per hari. Dia mengaku, angka realisasi tahun lalu yang dijadikan patokan, artinya asumsi pemerintah bakal meleset 32.000 barel per hari.

"Sehingga penerimaan perpajakan dan PNBP berpotensi berkurang antara Rp5 triliun hingga Rp9,6 triliun, dari asumsi lifting minyak yang meleset," ujarnya.

Selain itu, risiko tax amnesty yang tak tercapai, bisa menjadi bencana lebih besar. Pasalnya, pemerintah sudah memasukkan tax amnesty dalam asumsi penerimaan perpajakan. Dari delapan jenis penerimaan perpajakan, hanya dua pos yang diproyeksikan bakal naik. "Pertama, pendapatan cukai yang ditaksir bisa mencapai Rp148,09 triliun dari posisi APBN 2016 yang sekitar Rp146,44 triliun," tegasnya.

Dia juga menyampaikan, tambahan penerimaan berasal dari tambahan barang kena cukai. Pemerintah memang akan mengenakan cukai terhadap botol plastik sebesar Rp200 per botol pertengahan tahun ini. "Kedua, penerimaan pajak penghasilan (PPh) non-migas yang ditargetkan naik sekitar Rp103,71 miliar menjadi total sekitar sekitar Rp819,50 triliun," imbuhnya.

Namun, perinciannya, pendapatan dari PPh orang pribadi sebesar Rp358,3 triliun dan PPh Badan sebesar Rp461,1 triliun. Katalisnya, pemerintah memasukkan asumsi penerimaan dari tax amnesty sebesar Rp165 triliun.

TIDAK KREDIBEL - Hafisz menilai, perhitungan pemerintah atas target penerimaan dari tax amnesty tidak kredibel. Pasalnya, target tersebut disusun berdasarkan asumsi saja, tanpa landasan yang kuat. "APBN-P 2016 bernada spekulatif lantaran amat bergantung pada penerimaan dari tax amnesty. Perlu dicatat bahwa sebagian dana yang akan masuk, kemungkinan sudah ada di Indonesia sejak jauh-jauh hari," katanya.

Indikasinya, tak sedikit pebisnis yang menggunakan skema back to back loan. Caranya, deposito milik pebisnis yang bersangkutan di bank luar negeri dijadikan jaminan kredit anak usahanya di Indonesia. "Alhasil, kalau sekitar Rp105  triliunan yang bisa masuk, defisit kita bisa mencapai di atas 2,5 persen," katanya.

Namun, pemerintah memang tidak punya banyak pilihan. Harga minyak dan komoditas tambang yang tertekan membuat penerimaan pemerintah dari PPh migas, PNBP migas, serta PNBP tambang merosot. Pemerintah tak bisa menghindari kondisi tersebut sehingga harus mencari sumber penerimaan alternatif.

"Tahun lalu, penerimaan pajak non-migas tumbuh sekitar 13 persen. Apabila tahun ini kita pertahankan yang 13 persen itu masih ada potensi shortfall sekitar Rp150 triliun sampai Rp180 triliun.

Tetapi, kata dia, realisasi uang tebusan dari tax amnesty sudah cukup tinggi dan sesuai koridor. Kata Hafisz, terdapat faktor lain yang dapat menjadikan shortfall, dimana sumber potensi shotfall terbesar adalah bergesernya asumsi makro, seperti yang telah dijelaskan di atas.

Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja (FSP) BUMN Bersatu Arief Poyuono mengatakan, tax amnesty memang belum bisa diharapkan banyak menambal penerimaan negara. "Malah lebih dijadikan sebagai alat untuk melegalkan uang panas milik WNI di luar negeri dan dalam negeri dan setelah bersih uang tersebut kembali ke habitatnya," kata Arief kepara gresnews.com, Senin (12/12).

Dia menjelaskan, program repatriasi modal ke Indonesia justru makin menyebabkan devisa negara lari keluar dan yang didapat negara hanya kertas-kertas saham bukan dana yang likuid. Pasalnya, banyak WNI yang punya kekayaan di luar negeri dalam bentuk perusahaan offshore di negara tax haven yang memiliki saham mayoritas dan saham pengendali pada perusahaan-perusahaan di Indonesia justru melepaskan sahamnya dengan hanya membayar pajak penjualan sebesar dua persen dengan mengunakan fasilitas tax amnesty.

"Tetapi tetap bisa mengendalikan perusahaan tersebut karena juga memiliki saham mayoritas perusahaan tersebut," jelasnya.

Arief memberikan contoh seperti penjualan saham-saham BCA oleh pemegang saham kendali yang dimiliki perusahaan yang berbadan hukum di negara Mauritius yaitu Farindo. Saham bank swasta terbesar di Indonesia ini dihargai Rp15.224 per lembar saham atau senilai total Rp177 triliun.

"Yang mana dana sebesar Rp177 triliun dari hasil pelepasan  saham BCA milik harus terbang ke Mauritius setelah dipotong pajak kekayaan 2 persen dengan fasilitas tax amnesty," ungkapnya.

ANCAMAN KRISIS - Terkait pertumbuhan ekonomi, Arief menilai, juga tak akan tercapai sesuai target pemerintah karena pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini lebih banyak ditopang oleh ketergantungan terhadap komsumsi masyarakat serta ekspor ke China. Sedangkan pertumbuhan ekonomi China sendiri saat ini diperkirakan akan turun menjadi 5-6 persen yang akan makin berpengaruh negatif terhadap ekspor komoditas Indonesia ke China

Indonesia juga akan semakin terpukul dengan langkah The Fed atau bank sentral AS yang akan menaikkan suku bunga untuk menguatkan ekonomi dalam negeri AS. Hal ini akan berdampak pada nilai tukar rupiah terhadap Dolar AS dimana akan banyak mata uang Dolar AS mengalir ke dalam negeri AS akibat kebijakan bank sentral AS itu.

Kemudian, kata Arief, langkah pemerintah Indonesia untuk menjadikan Yuan China  menjadi alat transaksi perdagangan antara negara tidak akan banyak membantu. Pasalnya, utang luar negeri baik oleh swasta dan pemerintah lebih banyak dalam mata uang Dolar AS.

Jika pun pemerintah nekat, Indonesia bisa rugi dua kali sebab untuk membayar utang luar negeri, nantinya, debitur Indonesia harus menanggung selisih kurs antara Yuan dan Dolar AS yang tidak sedikit. "Jika tidak ada sebuah strategi jitu yang dilakukan oleh Tim Ekonomi Joko Widodo maka sangat dimungkinkan kurs USD terhadap Rupiah akan tembus Rp15 ribu/USD," tegas Arief.

Dia berharap pemerintah tidak melakukan blunder sehingga krisis ekonomi bisa dihindari. "Tapi mudah-mudahan krisis ekonomi tidak terjadi di tahun 2017, karena jika terjadi akan makin cepat pemerintahan Joko Widodo jatuh," ungkapnya.

Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memperkirakan kekurangan penerimaan pajak atau shortfall hingga akhir tahun sedikit meleset dari proyeksi awal di angka Rp219 triliun. Meski begitu, defisit anggaran dijamin tetap di kisaran 2,7 persen.

"Kalau meleset, tidak akan terlalu jauh. Seperti yang saya katakan, defisit masih di kisaran 2,7 persen. Itu maksimal," jelas Ani, Jumat (9/12) lalu.

Ani pun telah mematok target penerimaan yang akan digenjot oleh Direktorat Jenderal Pajak. Di mana pendapatan yang berasal dari penerimaan rutin diperkirakan berada di kisaran Rp101-Rp102 triliun. Selain itu, akan ada tambahan dari tax amnesty dan extraeffort.

"Dari tax amnesty dan extraeffort sekitar Rp42 triliun. Itu target kita untuk bulan ini. Beberapa penerimaan sudah kita identifikasi," katanya. (dtc)

BACA JUGA: