JAKARTA, GRESNEWS.COM - PT PLN (Persero) mencatat "rekor" yang bikin kepala para pelanggannya pusing. Dalam empat bulan belakangan ini, PLN secara agresif terus menaikkan tarif dasar listrik. Juli ini, PLN mencatatkan kenaikan tarif listrik untuk keempat kalinya sebesar Rp 16,65-Rp 23,7 per kWh.

Berdasarkan daftar tarif listrik yang diumumkan setiap bulan di situs PLN yang dikutip, Kamis (2/7), tahun ini tarif listrik hanya turun pada Februari dan Maret 2015. Sedangkan mulai April hingga Juli tarif listrik terus naik.

Tarif listrik Maret dibandingkan Februari turun berkisar Rp 28,13-Rp 41,67/kWh. Sementara tarif listrik pada April dibandingkan Maret naik Rp 26,6-Rp 39,31/kWh. Kemudian pada Mei, PLN kembali menaikkan tarif listrik berkisar Rp 48,92-Rp 72,2/kWh. Selanjutnya pada Juni tarif listrik kembali naik tipis Rp 6,6-Rp 9,43/kWh. Bulan ini (Juli), tarif listrik kembali naik lagi Rp 16,65-Rp 23,7/kWh.

Kenaikan tarif listrik ini diperkirakan akan semakin memberatkan para pelanggan yang selama ini juga sudah dibebani dengan kenaikan berbagai macam harga kebutuhan pokok, khususnya, menjelang lebaran. Kenaikan ini sendiri merupakan bagian dari rencana pemerintah untuk menghapus subsidi listrik sebesar Rp73,1 triliun di tahun anggaran 2016 termasuk rencana menghapus subsidi untuk golongan rumah tangga dengan daya 450 Volt Amper.

Beberapa waktu lalu Badan Anggaran DPR sendiri telah menyetujui rencana pencabutan subsidi listrik itu. Hanya saja, sebelum diberlakukan kebijakan ini tahun depan, pemerintah diminta untuk membereskan data kemiskinan. Selaku penerima subsidi tersebut nantinya.

"Prinsipnya kita setujui. Tapi harus perbaikan data. Ini jadi tanggung jawab pemerintah, ngitung masyarakat miskin berapa. Datanya nanti disinkronkan dengan BPS (Badan Pusat Statistik) dan lainnya," ungkap Wakil Ketua Banggar Sahid Abdullah dalam rapat di Gedung DPR/MPR, Jakarta, Selasa (30/6).

Plt Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Suahasil Nazara menuturkan, untuk pendataan akan diselesaikan dalam waktu dekat dengan bekerjasama dengan berbagai instansi terkait untuk penyempurnaan data.

"Nanti kami diperbaiki datanya. Gampangnya kalau jumlah orang yang hidup di bawah garis kemiskinan 28 juta dibagi 5 jadi 6 juta. Sementara jumlah pelanggan 450 VA da 900 VA ada 44 juta," kata Suahasil dalam kesempatan yang sama.

Di samping itu, juga akan dibahas lebih lanjut mengenai bentuk penyalurannya. Salah satu yang dimungkinkan adalah melalui skema Kartu Keluarga Sejahtera (KKS).

"Nanti kita bicarakan lagi dengan PLN. Bagaimana mekanismenya. Nanti di pemerintah kami diskusikan. Apa lewat KK, Kartu keluarga Sejahtera (KKS). Kalau mau dapat 450 VA mesti nunjukin apa KK, KKS atau apa. Banyak caranya ini harus diomogin," tukasnya.

SUBSIDI LISTRIK SALAH SASARAN - Alasan pemerintah mencabut subsidi listrik ini adalah lantaran subsidi listrik selama ini memang dinilai salah sasaran. Karena itulah pemerintah ingin menghapus subsidi listrik untuk dua golongan rumah tangga, yakni R-1 daya listrik 450 Volt Amper (VA) dan R-2 daya listrik 900 VA.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said menjelaskan bahwa saat ini ada sekitar 46 juta pelanggan yang mendapatkan subsidi listrik. Selama ini mereka hanya membayar listrik 30 persen dari harga keekonomian.

Di sisi lain, jumlah keluarga miskin di Indonesia menurutnya hanya sekitar 15 juta KK. "Pasti ada sesuatu yang salah. Ini sedang didalami," katanya di Gedung DPR, Rabu (24/6) lalu.

Sudirman mengatakan, pihak PT PLN juga menemukan data di lapangan, bahwa ada pelanggan 900 VA yang tidak berhak menerima subsidi. "Teman-teman PLN menemukan data di lapangan. Listriknya 900 VA tapi di dalam rumahnya ada dua mobil parkir. Nah, yang gini-gini itu yang harus di-clean up," katanya.

Pada tahun 2015, subsidi listrik tercatat di angka Rp68,7 triliun. Jumlah itu sebagian besar memang terserap pelanggan berdaya 450 dan 900 VA. Direktur PLN Nicke Widyawati menjelaskan, saat ini jumlah pelanggan golongan 450 dan 900 VA adalah 46 juta keluarga atau 72 persen dari jumlah total pelanggan PLN yang berjumlah 62 Juta keluarga.

"Sekarang 450 VA itu rata-rata tiap bulan bayarnya Rp 33 ribu. Untuk 900 VA itu bayaranya Rp 53 ribu," katanya.

POLA SUBSIDI DIUBAH - Sudirman Said mengatakan, pihak Kementerian ESDM sudah beberapa berdikusi dengan PLN mengenai pola subsidi ini. Hal itu dilakukannya dalam rangka untuk membuka ruang penghematan anggaran. Hasil diskusi mengerucut pada pengubahan pola distribusi subsidi.

Pola terbaik menurut Sudirman adalah memberikan subsidi pada orangnya langsung, bukan melalui perusahaan. "Mudah-mudahan dalam waktu 6 bulan ke depan kita bisa menemukan pola sehingga si penerima subsidi akan menerima uang dan membayar listrik dengan harga keekonomian," katanya.

Pola ini menurut Sudirman akan mengurangi terjadinya penyelewengan subsidi. Sebab, seperti yang terjadi pada elpiji, pupuk dan lainnya, subsidi melalui produk atau perusahaan itu rawan penyimpangan. Hal itu terjadi karena ada disparitas harga, antara produk yang disubsidi dan yang tidak disubsidi.

Sementara ini, Kementerian ESDM sendiri telah menskenariokan empat model kenaikan listrik yaitu model diskon, model naik Rp5000/bulan, model naik penuh dikompensasi Bantuan Langsung Tunai (BLT) dan model naik bertahap.

Untuk model diskon, PLN akan menaikkan tarif listrik ke tingkat yang wajar, namun masih lebih rendah dari tarif keekonomian. Tingkat yang wajar, bila tarif minimal sama dengan biaya eneegi untuk memproduksi 1 kWh.

Misalnya, Tarif listrik R-1 450 VA yang semula Rp392/kWh naik menjadi Rp1.052/kWh. Tarif listrik R-1 900 VA yang semula Rp595/kWh naik menjadi Rp1.334/kWh.

Model ini tetap memberikan keringanan biaya kepada konsumen yang secara ekonomi tidak mampu dalam bentuk cash-back atau diskon sehingga rekening listrik per bulannya tidak mengalami kenaikan. Nantinya dengan kebijakan ini, setiap rumah tangga tidak mampu ini akan mendapatkan diskon maksimum Rp38.000/bulan (untuk 450 VA) dan Rp55.000/bulan (untuk 900 VA). Dengan kebijakan ini, penghematan subsidi listrik 2016 dapat mencapai Rp 31,7 triliun.

Untuk model naik Rp5.000/bulan, pelanggan golongan R-1 450 VA dibebani kenaikan Rp5000/bulan dan pelanggan R-1 900 VA dibebani kenaikan Rp11.000/bulan.

Tambahan rekening ini diberlakukan setiap bulan, sejak September 2015 hingga Desember 2015 (atau sebanyak 4 kali). Hingga akhirnya tarif listrik dua golongan ini tidak disubsidi lagi. Dengan model ini, negara bisa menghemat Rp19,07 triliun.

Model ketiga yaitu model naik penuh dikompensasi BLT. Model ini mengasumsikan harga listrik langsung dinaikkan ke harga keekonomian, sehingga pemerintah tidak lagi mensubsidi listrik.

Tapi setiap konsumen rumah tangga miskin yang menggunakan listrik 450 VA dan 900 VA diberi Rp75.000/bulan. Dengan model ini, negara bisa menghemat subsidi listrik Rp47 triliun, di mana semula subsidi dua golongan ini Rp59 triliun menjadi hanya Rp12 triliun.

Keempat adalah model naik bertahap. Model ini mengasumsikan harga listrik bagi seluruh golongan tarif yang masih bersubsidi, dinaikkan 5% per triwulan sepanjang 2016, kecuali R-1/450 VA dan R-1 900 VA, kenaikan 5% hanya dikenakan bagi pemakaian di atas 60 kWh/bulan.

Jadi kenaikan tarif selama satu tahun sebesar 21,55%, kecuali untuk R-1 450 VA dan R-1 900 VA, kenaikannya hanya 8,23% (karena hanya di atas 60 kWh yang mengalami kenaikan tarif). Dampak metode ini bila diberlakukan, bisa menghemat subsidi listrik Rp4 triliun.

PEMERINTAH PILIH MODEL SUBSIDI LANGSUNG - Dari keempat model tersebut, pemerintah sendiri kemungkikan cenderung memilih untuk memberikan subsidi secara langsung. Artinya tarif listrik dinaikkan hingga ke harga keekonomiannya, namun pelanggan miskin diberi subsidi.

Hal ini tergambar dari rencana pemerintah mengeluarkan "kartu sakti" penerima subsidi listrik. Kartu akan diberikan kepada pelanggan miskin. "Tahun depan seharusnya siap," kata Sudirman Said.

Direktur PLN Nicke Widyawati mengatakan hal serupa. Dia menjelaskan, semangat perubahan pola ini adalah untuk memberikan subsidi kepada mereka yang lebih tepat. Nicke mengatakan, pemerintah tidak melakukan penghapusan subsidi, tetapi hanya mengubahnya.

"Dari subsidi produk menjadi subsidi langsung ke masyarakat. Subsidi tidak lagi diberikan pemerintan melalui PLN," ujarnya.

Nicke mengatakan, ada plus minusnya jika subsidi diberikan langsung ke masyarakat melalui kartu. Kelebihannya, subsidi akan lebih tepat sasaran. Subsidi tidak dinikmati oleh keluarga yang tidak berhak menerimanya.

Di sisi lain, kebijakan ini akan berdampak pada keuangan PLN sebagai perusahaan. Yaitu, PLN tidak mendapatkan lagi uang subsidi yang dibayarkan pemerintah. Dengan begitu PLN harus melakukan penghematan yang optimal.

"Kalau misalnya masih dengan pola subsidi lewat PLN, itu kan tidak men-encourage atau mendorong perusahaan untuk melakukan penghematan yang optimal. Kalau itu diberikan langsung ke masyarakat kita jadi dapat challenge untuk melakukan penghematan yang optimal," katanya.

SISTEM KARTU TIDAK EFEKTIF - Pengamat kelistrikan, Fabby Tumiwa mengatakan tidak sependapat dengan rencana pemerintah, mengganti subsidi produk ke subsidi dengan kartu. Dia menilai solusi pencabutan subsidi listrik dengan memberikan kartu sakti listrik merupakan solusi yang tak cantik.

Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform (IESR) itu menyebut dua alasan atas ketidaksetujuannya.
Pertama, dasar pemberian subsidi tidak jelas. Fabby malah mempertanyakan dasar yang dipakai jika subsidi diberikan dalam bentuk kartu.

"Kalau kartu lagi, kartu lagi, dasarnya apa? Pelanggan listrik 450 misalkan. Kita tahunya pelanggan listrik 450 itu miskin atau nggak dari mana," katanya kepada Gresnews.com, Kamis (2/7).

Kedua, subsidi dengan kartu juga memerlukan biaya tambahan untuk pendistribusiannya. Ketiga, subsidi yang diberikan dalam bentuk kartu dan uang tunai, belum tentu digunakan untuk konsumsi listrik.

Fabby lebih setuju dengan model subsidi listrik yang ada saat ini, yaitu subsidi produk. Karena dasar pemberian subsidinya jelas dan mudah. Pelanggan yang diberi subsidi sudah diketahui berapa daya listrik yang dipakainya.
Selanjutnya, tinggal ditetapkan berapa jumlah subdisi yang diberikan. "Kalau dia mau disubsidi seluruh penggunaan listriknya, bisa saja. Atau dia mau disubsidi jumlah tertentu dari penggunaan listriknya bisa juga," ujarnya.

Terkait dengan alasan pemerintah ingin mengganti skema subsidi karena dinikmati oleh pelanggan yang tidak berhak, Fabby mengatakan solusinya mudah saja. Jika ada pelanggan 900 VA yang tidak berhak maka dihilangkan saja subsidinya.

Namun, jika masih akan diberikan maka subsidinya tidak perlu dalam jumlah besar. "Kalau sekarang berapapun saya pakai, listriknya itu disubsidi. Misalnya, saya pelanggan 900 VA, saya pakai 100 kWh. Itu 100 kWh-nya disubsidi. Harusnya jumlah yang disubsidi dibatasi, kalau ada kecenderungan seperti itu," katanya.

Untuk itu PLN bisa membuat penelitian. Dari sekian puluh juta pelanggan 450-900 VA berapa yang tidak layak untuk diberi subsidi. Hal itu dapat dengan mudah dihitung dari rata-rata konsumsi listriknya di setiap bulannya.

SUBSIDI TERARAH - Fabby mengingatkan, subsidi listrik dapat disebut terarah jika ada kejelasan dalam tiga hal. yaitu: kelompok sasaran, volume dan produknya. "Dalam hal ini produknya adalah listrik, volumenya adalah kwh-nya," katanya.

Dia mengingatkan Pemerintah untuk kembali menyadari bahwa yang diberikan subsidi adalah komoditas listriknya. "Apanya yang disubsidi? Penggunaan listriknya, konsumsi listriknya," ujarnya.

Menurut fabby, agar lebih efektif, pemerintah harus tegas menentukan siapa dan kelompok mana saja yang disubsidi. Setelah itu baru ditetapkan berapa yang disubsidi, berapa jumlah kilo Watt hour (kWh) listrik yang disubsidi dan subsidinya berapa besar.

Pemerintah bersama DPR bisa menentukannya. "Kan dulu sudah bisa, mana kelompok pelanggan yang terkena tarif full, itu siapa saja. Kan sudah ada peraturan-peraturan sebelumnya. Tapi dasar penentuan subsidinya harus ditetapkan pemerintah," katanya.

Misalnya, untuk pelanggan listrik 450 VA ditetapkan subsidinya listriknya maksimal 60 kWh per bulan. Penggunaan di atas 60 kWh dikenakan tarif penuh. Begitu juga, untuk pelanggan 900 VA misalnya, ditetapkan yang disubsidi adalah hanya 30 per bulan.

"Dari tingkat konsumsinya kelihatan. Dalam hitungan PLN kan di meteran listriknya kan sudah ketahuan,ketika bayar listrik, disitu sudah diketahui berapa kwh yang disubsidi. Dasar itu yang dibayarkan pemerintah kepada PLN. Hitung-hitungannya mudah sekali, karena semuanya kan sudah terkomputerisasi," katanya.

Menurut Fabby, itu merupakan model subsidi yang menggunakan penghitungan penghitungan konsumsi secara riil. Hal ini menurutnya tidak akan dapat dicapai jika subsidi menggunakan kartu atau uang tunai.

"Misalnya untuk pelanggan 450 VA itu yang disubsidi 60 kWh pertama, dan ternyata saya hanya makai 50 kWh, maka subsidi yang dibayar pemerintah hanya 50 kWh. Tapi kalau diberi uang tunai, misalnya saya diasumsikan pakai 100 kWh per bulan, dan pemerintah bayar subsidi untuk 100 kWh walaupun saya hanya pakai 50 kWh," katanya. (Gresnews.com/Agus Hariyanto/dtc)

BACA JUGA: