JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pemerintah Joko Widodo dinilai mengambil kesempatan dalam kesempitan. Di tengah polemik kisruh Polri dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendadak pemerintah  menyetujui perpanjangan ekspor konsentrat  bagi PT Freeport  Indonesia untuk enam bulan mendatang. Padahal PT Freeport  selama ini tak kunjung merealisasikan ketentuan UU untuk membangun pabrik pemurnian hasil tambang atau smelter.

Kesepakatan yang digelar di hari libur, Minggu (25/1)  antara pemerintah dengan PT Freeport itu dinilai lebih menguntungkan Freeport  dan merugikan negara.

Peneliti dari Institute Global for Justice Salamuddin Daeng mengatakan kesepakatan itu dinilai melanggar konstitusi dan norma-norma yang ada. Diungkapkan Daeng Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said telah memberikan rekomendasi persetujuan ekspor Freeport untuk enam bulan ke depan melalui MoU. Padahal perusahaan yang sudah bercokol dan mengeruk kekayaan alam Indonesia di Papua selama 45 tahun  ini tak terlihat niatnya untuk segera membangun pabrik pemurnian atau smelter.

Menurut  Salamudin Freeport tidak menunjukkan itikad baik untuk menjalankan aturan bea keluar dan pembangunan pabrik pemurnian atau smelter. Namun pemerintah justru memberi kelonggaran kepada Freeport.

Menurutnya kebijakan memberikan kelonggaran kepada Freeport itu ditengarai mengandung unsur manipulasi dan korupsi. Ditambah lagi kebijakan ini diambil di tengah-tengah kekacauan akibat konflik antara lembaga penegak hukum Polri dengan KPK. Dia menambahkan kebijakan Menteri ESDM melanggar Pancasila dan UUD 1945 serta janji pemerintahan Jokowi menjalankan Trisakti.

"Sudirman Said telah membuat Trisakti ke dalam tong sampah dan menjadikan janji Jokowi sebagai omong kosong belaka," kata Salamuddin, Jakarta, Senin (26/1).

Berikut ini aturan yang diduga dilanggar oleh Menteri ESDM Sudirman Said,

1)      Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara, Pasal 170 berbunyi ; Pemegang kontrak karya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 yang sudah berproduksi wajib melakukan pemurnian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 ayat (1) selambat-lambatnya 5 (lima) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan.

2)      Peraturan pemerintah No 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, yang menegaskan kewajiban perusahaan pertambangan mineral dan batubara melakukan pengolahan di dalam negeri.

3)      Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 6/Pmk.011/2014 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor  75/Pmk.011/2012 Tentang Penetapan Barang Ekspor Yang Dikenakan Bea Keluar Dan Tarif Bea Keluar.

"Seharusnya UU Minerba dengan segala keterbatasannya yang diturunkan pada regulasi tentang smelterisasi dan bea keluar ekspor bahan mentah menjadi tonggak awal membangun fondasi ekonomi yang tangguh," kata Salamuddin.

Sementara itu, pengamat dari Energy Watch Indonesia Ferdinand Hutahaean menilai keinginan Freeport membangun smelter di Gresik hanyalah wacana karena tanpa bukti yang langsung dipercaya oleh Sudirman Said. Sehingga pemerintah langsung memperpanjang izin ekspor Freeport. Menurutnya apa yang dilakukan Sudirman Said dan Freeport adalah bentuk pelanggaran terhadap UU Minerba. Amanat UU Minerba sangat jelas.

Seharusnya Sudirman Said membatalkan izin ekspor Freeport, bahkan jika perlu pemerintah harus memutuskan kontrak Freeport yang akan berakhir pada 2021 mendatang. Sebab Freeport sudah tidak tunduk pada perintah undang-undang dan tindakan tersebut merupakan bentuk penghinaan terhadap negara, dimana sebuah perusahaan tidak memberikan manfaat besar bagi Indonesia. "Kita bangsa yang merdeka kok dijajah oleh sebuah perusahaan seperti Freeport," kata Ferdinand.

BACA JUGA: