JAKARTA, GRENEWS.COM - Belum ada perubahan berarti dalam pengelolaan keuangan negara. Dalam setiap pemerintahan baik yang lalu maupun saat ini menggunakan utang untuk membiayai defisit anggaran tahun ini. Pemerintah kembali menjual surat utang dalam bentuk sukuk (surat utang syariah) berdenominasi dolar senilai US$2 miliar, atau sekitar Rp26 triliun. Surat utang ini memiliki jangka waktu jatuh tempo 10 tahun, hingga 2025. Menurut pemerintah, surat utang atau sukuk ini adalah Surat Berharga Syariah Negara (SBSN).

Dari keterangan Direktorat Jenderal Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan, Sabtu (23/5), sukuk ini dicatatkan di bursa dua negara (dual listing), yakni Singapore Stock Exchange dan NASDAQ Dubai. Penerbitan surat utang ini akan dilakukan pada 28 Mei 2015. Pemerintah memberikan imbal hasil 4,325 persen/tahun bagi pembeli surat utang tersebut.

Ini merupakan kali keenam pemerintah Indonesia menerbitkan surat utang dalam bentuk sukuk berdenominasi dolar Amerika Serikat (AS). Sukuk Global ini diterbitkan berdasarkan prinsip syariah, dengan menggunakan struktur Wakalah dengan underlying berupa Barang Milik Negara berupa tanah dan bangunan (51 persen), dan proyek-proyek Pemerintah (49 persen).

Pemerintah Indonesia sempat melakukan roadshowke sejumlah negara di Asia, Timur Tengah, dan Eropa untuk menawarkan surat utang tersebut. Menurut keterangan Kemenkeu, respons para investor global sangat baik, dan jumlah penawaran yang masuk lebih dari US$6,8 miliar dari 240 investor, sehingga lebih dari 3,4 kali oversubscribed (kelebihan permintaan).

Meskipun kondisi pasar sangat volatile dan penuh dengan ketidakpastian, surat utang tersebut menarik minat dari berbagai kelompok investor domestik dan internasional.

Adapun investor pembeli surat utang ini 41persen investor dari Timur Tengah, 21 persen investor Amerika, 16 persen investor Eropa, 12 persen investor wilayah Asia selain Indonesia, dan 10 persen investor Indonesia. Berdasarkan jenis investor, pengalokasian penawaran yang diterima kepada bank adalah sebesar 42 persen, fund manager 39 persen, bank sentral 15 persen, asuransi 2 persen, dan bank swasta 2 persen.

Penerbitan surat utang ini merupakan yang terbesar oleh Pemerintah sejak 2009, dan bahkan juga merupakan penerbitan surat utang dalam satu tranche (single-tranche) terbesar di dunia.

Total utang pemerintah Indonesia tercatat sebesar Rp2.702,29 triliun per Januari 2015. Angka ini naik jika dibandingkan posisi utang di akhir tahun 2014 yang sebesar Rp2.604,93 triliun.

Seperti dilansir dari situs resmi Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Senin (23/3), 74,8 persen pinjaman berasal dari Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp2.021,02 triliun.

SBN tersebut terdiri dari denominasi valas sebesar Rp513,04 triliun. Kemudian denominasi Rupiah sebesar Rp1.507,98 triliun. Selain itu, pinjaman luar negeri juga meningkat menjadi Rp677,98 triliun dibandingkan tahun sebelumnya sebesar Rp670,80 triliun.

Untuk pinjaman dalam negeri menempati porsi sebesar 0,1 persen dengan nominal Rp3,30 triliun setelah pada tahun sebelumnya sebesar Rp2,91 triliun.

Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro berharap Indonesia bisa meniru Jepang dalam hal SBN. Dalam menjual surat utang, Negara Matahari Terbit tersebut bisa merangkul investor rumah tangga. Dengan begitu, Bambang berharap utang negara terhadap asing dapat diperkecil. "Isu utang lebih normal kalau negara utang sama masyarakatnya sendiri," kata dia di Hotel Borobudur, Rabu (13/5).

Dia menjelaskan, pihaknya pernah berkunjung ke bank pos Jepang yang merupakan bank terbesar di Jepang. Bambang mengaku terkejut dengan total aset yang dimiliki Bank Pos Jepang mencapai tiga kali GDP Indonesia. "Hanya sembilan persen utang ke asing, selebihnya utang pada masyarakatnya sendiri," sebutnya. Kalau Indonesia bisa menjaring investor rumah tangga buat surat utang, Bambang bilang, dapat menemui win win solution untuk dapat meningkatkan pertumbuhan perekonomian negara. (dtc)

BACA JUGA: