JAKARTA, GRESNEWS.COM - Rencana kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) jenis Solar sebesar Rp500 akibat kenaikan harga minyak mentah dunia pada 2017 mendatang akhirnya dibatalkan. Pemerintah juga tak akan menaikkan harga BBM jenis Premium. Pertamina sendiri akan melakukan efisiensi demi mengurangi kerugian.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan mengatakan, pemerintah tidak akan menaikkan harga Premium dan Solar serta minyak tanah pada Tanggal 1 Januari hingga bulan Maret 2017 mendatang. Untuk sementara, dalam 3 bulan kedepan, harga Premium masih berada pada harga Rp6.450 per liter dan harga Solar masih sebesar Rp5.150 per liter. Harga itu sudah termasuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB).

Jonan mengatakan, keputusan pemerintah untuk tidak menaikkan BBM jenis Premium, Solar dan minyak tanah, sesuai perintah Presiden Jokowi demi menjaga daya beli masyarakat. Jonan menyebutkan, jika harga BBM naik maka akan menimbulkan inflasi seperti komponen harga-harga yang diatur pemerintah.

"Sesuai arahan Pak Presiden ,makan kami evaluasi tiap bulan, diharapkan tidak ada perubahan, semuanya demi menjaga daya beli masyarakat," kata Jonan di Kantornya ,Gedung Kementerian ESDM, Selasa ( 20/12).

Jonan mengatakan, pemerintah telah berupaya dengan luar biasa untuk menjaga daya beli masyarakat tidak menurun, dengan cara menahan harga BBM tersebut. Pada kesempatan itu, Jonan juga memaparkan soal kesiapan listrik dan BBM menghadapi libur panjang natal dan tahun baru. Menurut Jonan semua sudah disiapkan dengan baik.

"Stok Premium 19,44 hari. Cukup saya kira. Minyak tanah 57 hari. Solar 21 hari, Pertamax 16 hari, Pertamax Turbo 31 hari, Pertamina Dex itu 31 hari. Jadi kalau ada lonjakan menurut saya masih bisa dikendalikan. Sementara itu dulu," jelas Jonan.

Terkait hal itu, Direktur Jenderal Minyak dan Gas (Dirjen Migas) Kementerian ESDM I Gusti Nyoman Wiratmaja Puja menyampaikan, tidak naiknya harga BBM dilakukan karena masih menunggu hasil evaluasi tiga bulanan. Karena itu, meski saat ini seluruh asumsi penetapan harga BBM mengalami kenaikan, pemerintah tetap menahan harga, karena bisa jadi dalam sebulan kedepan harga minyak dunia akan turun lagi.

"Jadi secara umum, ketiga asumsi tersebut ada kenaikkan tiap bulannya, namun semuanya itu fluaktuatif, tetap nanti kita akan evaluasi, setiap bulannya," kata Wiratmaja di Kantor Gedung Kementerian ESDM, Selasa (20/12).

Bagimana dengan Pertamina? Direktur Utama Pertamina Dwi Soetjipto mengatakan, Pertamina akan terus melakukan efisiensi sehingga mengurangi beban dan dapat menahan kenaikan harga BBM di saat harga minyak dunia naik.

"Jadi untuk posisi saat ini tentu saja (harga minyak dunia) naik, tapi harga minyak dunia ini akan fluktuatif, naik turun naik turun. Sehingga apa namanya nanti kita lihat Februari Maret seperti apa. Tapi kami yakin pemerintah memperhatikan kinerja Pertamina sendiri, di samping juga masyarakat," kata Dwi di kantor Kementerian ESDM, Jakarta, Selasa (20/12).

"Dari manajemen kami berusaha efisiensi, mudah-mudahan efisiensi dikembangkan bisa paling nggak mengurangi menjadi beban Pertamina. Tapi pemerintah pasti tidak ingin agar Pertamina rugi. Ini belum bisa lihat berapanya bagaimana Januari Februari dan seterusnya," imbuhnya.

Dwi mengatakan, Pertamina memperhatikan keinginan pemerintah agar daya beli masyarakat bisa dijaga dengan menahan kenaikan harga BBM.

Sementara itu, Wakil Direktur Utama Pertamina, Ahmad Bambang, menyatakan sejak 1 Oktober 2016 lalu harusnya harga BBM naik mengikuti kenaikan harga minyak dunia. "Tapi kita akhirnya setuju tidak naik, karena solar ini subsidi. Pertamina untung nggak ada gunanya, temuan BPK juga. Disuruh mengembalikan. Dan sebetulnya yang menyebabkan inflasi itu Solar. Karena Solar itu digunakan untuk angkutan, harga barang," jelas Bambang.

Bambang mengatakan, bila semua negara anggota OPEC komitmen memangkas produksi minyaknya, maka harga minyak dunia bisa mencapai US$55-US$60 per barel. "Pertamina masih bisa menahan kenaikan harga BBM meski harga minyak dunia sedikit di atas US$55/barel," tegas Bambang.

KEPUTUSAN TEPAT - Ditempat terpisah, pengamat Direktur Eksekutif Energy Wacth Mamit Setiawan mengatakan, sangat setuju dengan sikap pemerintah yang tidak menaikkan harga BBM jenis Premium dan Solar serta minyak tanah dari bulan Januari sampai Maret 2017. Keputusan itu dinilai tepat di tengah kondisi ekonomi yang melemah saat ini.

Dia menilai dengan pemerintah menunda untuk menaikkan harga BBM periode saat ini, masyarakat akan mendapatkan sedikit kelonggaran. "Dengan menunda maka setidaknya masih memberikan napas kepada masyarakat agar roda perekonomian bisa berjalan secara maksimal," kata Mamit kepada gresnews.com, Selasa (20/12).

Dia menyebutkan, dengan penundaan tersebut, dampaknya adalah Pertamina akan mengalami kerugian. "Karena memang harga pokok produksi lebih tinggi dari harga jual BBM saat ini. Tapi setidaknya pertamina bisa membantu meringankan beban karena periode kemarin mereka masih mengalami keuntungan," jelasnya.

Menurutnya, dengan adanya kenaikan Rp100 rupiah saja akan terjadi inflasi dan gejolak di masyarakat. Alasannya, karena kenaikan tersebut akan langsung diikuti dengan kenaikan harga barang serta ongkos transportasi. "Jelas ini sangat membebani masyarakat kita," ujarnya .

Sementara itu, Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI) Yusri Usman mengatakan, dengan tidak menaikkan harga BBM jenis Premium dan Solar pada Januari hingga Maret 2017 kedepan, pemerintah telah mengambil sikap yang bijak. Pernyataan itu, kata Yusri, dapat menghidari spekulasi kenaikan harga barang-barang kebutuhan pokok.

"Apalagi menjelang Natal dan Tahun Baru sebagian besar harga bahan pokok sudah duluan naik dan biasanya turun lagi habis tahun baru, tentu kenaikan ini menyumbang tingkat inflasi lebih tinggi disaat semakin lemahnya daya beli sebagian besar rakyat kita," kata Yusri kepada gresnews.com, Selasa (20/12).

Menurutnya, bila kenyataan harga minyak dunia naik dan Pertamina rugi, karena tetap menjual BBM dengan harga lama, kerugian itu masih bisa ditalangi pemerintah. Pemerintah bisa membuat payung hukum untuk itu.

"Karena secara UU BUMN itu dianggap melanggar, kalau berbisnis sengaja merugi, tetapi karena ada pertimbangan untuk kepentingan nasional yang jauh lebih besar, sehingga kebijakan ini bisa dibenarkan," jelasnya. (dtc)

BACA JUGA: