JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pemerintah telah menetapkan program pembangunan pembangkit listrik 35 ribu mega Watt (MW) hingga tahun 2019. Namun sejumlah pihak menilai proyek tersebut terlalu ambisius,  jika  melihat kemampuan finansial, angka pertumbuhan ekonomi, serta nilai tukar rupiah yang terus anjlok.

Deputi Bidang Usaha Energi, Logistik, Kawasan dan Pariwisata Kementerian BUMN Edwin Abdullah dan Direktur Utama PLN Sofyan Basir sempat dicecar pertanyaan oleh anggota DPR, saat Rapat Dengan Pendapat (RDP) dengan Komisi VI DPR RI. Rapat tersebut membahas keinginan PLN untuk memperoleh  persetujuan atas permohonan  Penyertaan Modal Negara (PMN) senilai 10 triliun untuk tahun 2016.

Edwin mengungkapkan dana PMN tersebut akan digunakan untuk membiayai proyek-proyek PLN tahun ini. Diantaranya untuk proyek distribusi senilai Rp 5,6 triliun, proyek transmisi Rp 2 triliun,  modal 3 PLTGU Tanjung Priuk Rp 1,5 triliun, PLTG Muara Karang Rp 700 miliar, PLTGU Lombok Timur Rp 200 miliar. Dana 10 triliun tersebut  untuk membiayai sebagian dari total kebutuhan sebesar  56,3 triliun.

"Debt Equity to Ratio (DER) Neraca PLN sudah di atas 200 persen jika kita teruskan untuk pembiayaan proyek ini kondisi neraca PLN jadi kurang baik. Dengan PNM, DER membaik 15 persen dan beban pinjaman jadi lebih rendah ” ujar Edwin di Gedung Nusantara I kompleks Gedung DPR RI, (31/8).

Irwan mengungkapkan proyek-proyek tersebut merupakan bagian dari pembangunan mega proyek pemerintah 35 ribu MW dalam lima tahun ke depan. Karena sampai saat ini Indonesia baru mampu membangun 47 ribu MW.  Untuk itu PNM sangat dibutuhkan oleh PLN. Pemerintah sendiri memang telah berkomitmen merealisasikan penyediaan listrik sebesar 35000 Megawatt (MW) dalam jangka waktu 5 tahun (2014-2019).

Dalam kurun waktu tersebut pemerintah bersama PLN dan swasta akan membangun 109 pembangkit. Masing-masing terdiri 35 proyek oleh PLN dengan total kapasitas 10.681 MW dan 74 proyek oleh swasta/Independent Power Producer (IPP) dengan total kapasitas 25.904 MW. Dan pada tahun 2015 PLN akan menandatangani kontrak pembangkit sebesar 10 ribu MW sebagai tahap I dari total keseluruhan 35 ribu MW.

Sofyan Basir menegaskan PMN ini tidak berhubungan dengan signifikasi proyek 35 ribu MW. Seberapa besar pun PMN yang PLN dapatkan menurut Sofyan berguna bagi pembiayaan proyek-proyek PLN sendiri. pembangkit-pembangkit yang perlu pendanaan modal sendiri. "PLN keterbatasan laba, kita rugi berat. Ini bukan karena kesalahan PLN. Tahun ini PLN berhasil melakukan efisiensi Rp 30 triliun. Kita rugi  karena selisih kurs. ini memang kesalahan kondisi ekonomi nasional dan global," ujar Sofyan

Komisi VI sendiri belum memberikan jawaban kepada Kementerian BUMN dan PLN atas permintaan PNM mereka dalam rapat tersebut.

ROAD MAP PROYEK DIPERTANYAKAN - Anggota Komisi VI Tifatul Sembiring mempertanyakan proyeksi road map pemerintah terhadap proyek 35 ribu MW seperti apa. Karena menurutnya sampai saat ini belum jelas langkah-langkah pertahun yang akan diambil untuk mencapai target lima tahun mendatang tersebut.

Menurut Tifatul,  listrik untuk jangka panjang agak sulit untuk dilihat dalam jangka pendek. Sehingga proyek perlu didiskusikan jalan keluarnya seperti apa. Angka-angka itu menurutnya sangat merisaukan. Program 35 ribu MW yang  sudah direncanakan seperti apa. "Sebab SBY merencanakan 10 ribu MW dalam 10 tahun cuma dapat 8 ribu MW. Boleh direncanakan 35 watt tapi road mapnya seperti apa," ujar Mantan Menteri Komunikasi dan Informasi era Presiden SBY ini.

Tifatul mencontohkan Kita punya Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP)  Kamojang. Sudah  10 tahun di bangun baru dapat 30 MW. Kemarin presiden meresmikan baru akan dibangun 35 MW. "35 ribu ini nolnya tiga lho pak,” tambah politisi Partai Keadilan Sejahtera ini.  

Politisi yang pernah menjadi Pegawai PLN di bidang Pusat Pengaturan Beban Jawa, Bali, Madura pada kurun waktu 1982 hingga 1989 ini mengaku takut proyek 35 ribu MW ini nasibnya akan seperti proyek-proyek  listrik sebelumnya yang tidak jelas road mapnya. "Dipakailah diesel dan itu buatan China yang kualitas barangnya, setelah saya tanyakan ke BPPT itu rapuh. Untuk sejenak seperti aspirin bisa tapi kalau untuk jangka panjang bagaimana,” ujar Tifatul.

BUTUH PENYESUAIAN - Kekhawatiran sebenarnya tidak hanya muncul dari kalangan DPR. Anggota Komite II Dewan Perwakilan Rakyat (DPD) Djasarmen Purba juga mengungkapkan kekhawatiran serupa.

Menurutnya ada tiga hal yang menyebabkan proyek ini harus mengalami beberapa
penyesuaian. Pertama, pertumbuhan ekonomi yang di luar prediksi. Program ini direncanakan dengan asumsi tingkat  pertumbuhan ekonomi diprediksi 6-7 persen. Tapi nyatanya saat ini hanya tumbuh 4,2 persen. "Ini tidak diprediksi sejak awal," ungkapnya dalam Dialog Kebangsaan DPD RI (26/8).

Kedua, nilai kurs yang anjlok, sementara barang-barang yang akan dibeli untuk keperluan proyek itu sebagian besar impor. "Anggaran berkisar 1200 triliun itu pasti membengkak angkanya," ujar Djasarmen

Ketiga, adanya kordinasi antar kementerian yang  bukan hanya menyangkut masalah listrik seperti masalah pengadaan lahan. Apakah ini  semua sudah diantisipasi, sebaiknya diadakan penyesuaian. "Kalau mau jalan terus sah-sah saja. Tapi jauh lebih parah kalau proyek  ini gagal nantinya,” tandas Djasarmen

Menanggapi hal tersebut, Direktur  Operasional PLN Supangkat Iwan Santoso menjelaskan bila sebenarnya Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik untuk 10 tahun ke depan 2015-2024 itu sudah dibuat oleh PLN. Tiap tahun kebutuhan listrik nasional itu sekitar  7 ribu MW dengan asumsi pertumbuhan ekonomi 6 persen dan pertumbuhan listrik 8-9 persen.  "Ada volatilitas kalau ekonomi tumbuh maka listrik lebih tinggi dari pertumbuhan," ujar Supangkat.

Supangkat  mengungkapkan bila pertumbuhan ekonomi turun maka RUPTL juga harus turun.  Tapi itu harus berdasarkan prediksi yang ditetapkan pemerintah dan prediksi PLN sendiri yang dikombinasikan. Tiap tahun itu disesuaikan. Lebih cukup kurang atau lokasinya harus disesuaikan. "Karena disiapkan listrik kalau tidak ada permintaan juga repot begitu juga sebaliknya ada permintaan tidak ada listrik juga repot," ungkapnya.

Supangkat juga menerangkan bila tenaga listrik yang disediakan kelebihannya terlalu besar itu juga akan menjadi beban. Tetapi menurut Supangkat jika pemerintah mau mendorong pembangunan tenaga listrik, itu juga harus realistis. Karena ada harga di sana. "Marjin yang normal itu 35 persen di atas kebutuhan beban puncak di malam hari," ujarnya.

BUKAN HANYA UNTUK PEMBANGKIT - Supangkat juga mengingatkan proyek ini bukan sekedar masalah pembangkit melainkan juga masalah pemerataan listrik secara nasional. Sekarang ini masih banyak sistem yang terisolasi. Yang sekarang ini menjadi program besar pemerintah adalah masalah transmisinya.

Di Jawa sistemnya sudah matang, Jawa Bali Madura sudah satu sistem. Sedangkan di Sumatera itu masih ada 43 sistem yang nantinya akan jadi. Satu kecuali pulau-pulau yang sulit disambung. Di seluruh Indonesia ada 180 sistem yang terpisah. Harapannya nanti pulau-pulau besar jadi akan  satu sistem tersendiri. "Karena kalau sudah satu sistem maka kebutuhan dimana pun akan mampu di suplay dari berbagai pembangkit. Dan kalau sudah merata ada gangguan bisa disuplai dari tempat lain," ujarnya.

Supangkat mengutarakan lewat proyek 35 ribu MW ini  sebenarnya pemerintah sudah mempertimbangkan, infrastruktur listrik jangan sampai kurang. Akibatnya investor industri dan bisnis tidak tumbuh pesat. Padahal kedua sektor ini didorong untuk menciptakan lapangan kerja, meningkatkan pendapatan dari pajak, dan lain sebagainya. "Listrik yang menjadi lokomotif," kata Supangkat.

Direktur Pembinaan Program Kelistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Alihuddin Sitompul menegaskan sebenarnya jika dihitung dari kebutuhan maka program 35 ribu MW itu hitungannya masih kecil dan kurang. Secara nasional saat ini rasio antara kebutuhan listrik dan penduduk baru mencapai 885 KWH per kapita. "Itu sangat kecil bila dibandingkan dengan negara tetangga yang sudah 2000-3000 KWH per kapita," ujar Alihuddin

Menurut Alihuddin pemerintah ingin masyarakat sejahtera dari sisi listrik. Artinya seluruh rakyat Indonesia harus menikmati listrik dan setiap saat dibutuhkan itu harus ada.

Dalam jumlah yang cukup, kualitas yang baik, dan harga yang terjangkau oleh masyarakat. Selanjutnya bertujuan menjaga kesinambungan pembangunan secara nasional. Untuk itu pemerintah menyusun program dalam 5 tahun ke depan agar itu bisa tercapai.

35 RIBU MW TERLALU BESAR - Pengamat energi sekaligus pengamat Ekonomi Ichsanuddin Noorsy mempertanyakan proyek 35 ribu MW. Menurutnya sebaiknya PLN dan pemerintah terlebih dahulu menyelesaikan proyek 10 ribu MW yang belum tuntas dikerjakan oleh mereka selama 10 tahun masa pemerintahan SBY.

"Apakah 10 ribu MW sudah terpenuhi, kalau belum kenapa tidak diselesaikan dulu. Pemerintah baru menyelesaikan 7900 MW belum sampai 10 ribu MW. Artinya masih ada sisa 2.100 MW, itu dari mana belum jelas juga posisinya. Tapi kita sekarang sudah ribut dengan 35 ribu MW," ujar Noorsy.

Noorsy juga mengungkapkan bila angka 35 ribu MW itu terlalu ambisius kalau ditinjau dari angka pertumbuhan ekonomi yang dicapai oleh Indonesia saat ini. Dalam hitung-hitungannya selama lima tahun ke depan, menurut Noorsy Indonesia hanya membutuhkan pasokan tambahan tenaga listrik sebesar 24.280 MW bukan 35 ribu MW.

"Angka itu diperoleh dengan asumsi pertumbuhan ekonomi 4,7 persen (2015) 5,2 persen (2016) 6 persen (2017), 6,5 persen (2018), dan 7 persen (2019). Ini saya masih berharap ada pertumbuhan tahun-tahun ke depan," kata Noorsy

Noorsy juga mempertanyakan kemampuan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara untuk menjamin proyek ini. Noorsy mencontohkan Ketika SBY menggulirkan proyek 10 ribu MW, APBN menjamin itu 150 triliun. "Sekarang kalau 35 ribu MW berapa triliun yang dibutuhkan. Kalau menggunakan model SBY dibutuhkan 525 triliun. Apakah itu sudah didukung  di tahun 2016 ini" ujar Noorsy

Noorsy mengingatkan berapa pun pasokan tenaga listrik yang dibangun ke depan, harga jualnya kepada masyarakat tidak akan murah. Karena penetapan harga jual listrik masih merupakan harga pasar dan anjloknya nilai rupiah. "Ini berkorelasi dengan Permen ESDM yang menyatakan harga listrik tergantung pada ECP, nilai tukar ditambah inflasi," tandanya.

Kritik yang datang tampaknya tidak menggoyahkan sedikit pun PLN untuk meneruskan proyek 35 ribu MW. Sofyan Basir menegaskan pihaknya terus bekerja mengikuti road map yang telah disusun.

"Tahun ini selesai kontrak 10 ribu MW. Transmisi harus tanda tangan akhir tahun ini 1000-2000 km. Sirkut yang sudah di tanda tangani daerah-daerah sudah hampir 10 ribu km. Harapannya 2019 mudah-mudahan untuk tarif industri akan turun. Kalau tidak pengangguran akan makin merajalela,” tandas mantan dirut Bank Rakyat Indonesia ini. (Lukman Al Haries)

BACA JUGA: