JAKARTA, GRESNEWS.COM - Bidang usaha pegadaian jelas hanya boleh dijalankan oleh PT Pegadaian (Persero) sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN), lantaran di Indonesia belum menetapkan Undang-Undang (UU) tentang Gadai Swasta. Namun, seperti diketahui, bank-bank syariah selama ini juga melakukan aktivitas gadai emas. Lalu bagaimana izin usaha serta legalitas aktivitas gadai syariah? Adakah aktivitas ini merugikan konsumen?

Seperti diberitakan sebelumnya, bidang usaha Pegadaian mempunyai klasifikasi Bidang Usaha dengan nomor Kode 64921 sesuai dengan Peraturan BPS Nomor 57 Tahun 2009 Tentang Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia yang dalam peraturan tersebut bidang usaha ini mencakup usaha penyediaan fasilitas pinjaman kepada masyarakat atas dasar hukum gadai. Kredit atau pinjaman yang diberikan didasarkan pada nilai jaminan barang bergerak yang diserahkan, dengan tidak memperhatikan penggunaan dana pinjaman yang diberikan.

Praktek gadai swasta seperti yang sudah pernah diulas gresnews.com jelas merugikan masyarakat lantaran bunga tinggi dan terdapat unsur kecurangan. Salah satunya yang diungkap gresnews.com yakni saat pertengahan masa pinjaman maka pemberi pinjaman sengaja mempersulit pembayaran utang dengan tujuan agar barang jaminan nasabah ditarik. Usaha gadai ternyata juga dijalankan oleh bank syariah. Karena itu gresnews.com hendak mengulas gadai syariah yang disediakan beberapa oleh bank syariah.

Gresnews.com mendatangi Bank Rakyat Indonesia (BRI) Syariah Kantor Cabang Tangerang, Banten, pada Kamis siang yang terik (6/8) dan bertanya-tanya hendak menjadi calon nasabah gadai emas. Pertama-tama pihak bank mengarahkan ke Customer Service untuk membuka rekening tabungan terlebih dahulu baru kemudian melanjutkan ke mekanisme gadai syariah alias rahn, dalam hal ini emas.

"Saudara tinggal membawa barang jaminan emas baik perhiasan atau logam mulia dengan kadar minimal 70 persen," ujar pegawai BRI Syariah berinisial FA kepada gresnews.com, Kamis (6/8).

Biaya sewa per gram dipatok senilai Rp 1.700 per 10 hari untuk emas 24 karat atau setara dengan persentase 1,5 persen untuk perhiasan dengan masa gadai 120 hari. Maksimal waktu gadai mengalami dua kali perpanjangan, dan bisa dilakukan pelunasan kapan pun nasabah mau.

Jika dalam batas waktu yang ditentukan nasabah tak bisa melakukan pelunasan atau perpanjangan maksimal empat hari setelah jatuh tempo maka pihak bank diberikan kuasa penuh oleh nasabah untuk melakukan lelang. BRI Syariah juga mempunyai standar taksir emas yang ditentukan oleh pihak treasury (ada nota dinasnya) dan nilai taksiran diberikan 90 persen dari standar logam emas. "Penjabarannya tergantung perusahaan masing-masing dan tidak bisa dipublikasikan," katanya.

MENGENAL RAHN - Dalam hal ini, BRI Syariah tak menerima gadai dari pihak kedua, misalnya perusahaan gadai lain yang turut menggadaikan barang jaminannya, rahn, hanya berlaku untuk perorangan. "Kami menjamin barang nasabah karena emas disimpan dalam brankas di ruang khasanah," ujarnya.

Walaupun perjanjian rahn telah memenuhi rukun dan syarat gadai emas sebagaimana yang telah diatur oleh fatwa DSN MUI nomor 25/DSN-MUI/III/2002 tentang rahn dan fatwa DSN MUI nomor 26/DSN-MUI/III/2002 tentang rahnemas. Namun terdapat lima ketentuan yang membuat perbankan syariah telah melakukan perbuatan melawan hukum akibat adanya perjanjian tersebut.

Pertama, perhitungan biaya sewa tempat yang dihitung setara 1,25 persen dari nilai pinjaman per bulan. Padahal dalam ketentuan umum angka 4 fatwa DSN MUI nomor 25/DSN-MUI/III/2002 tanggal 26 Juni 200 disebutkan besar biaya pemeliharaan dan penyimpanan marhun tidak boleh ditentukan berdasarkan jumlah pinjaman. Untuk itu, perhitungan biaya sewa tempat yang dilakukan oleh bank syariah dengan penyetaraan 1,25 persen dari nilai utang pinjaman per bulan adalah bertentangan dengan fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI) tentang rahn.

Kedua, perhitungan biaya sewa tempat yang dihitung per 10 hari disebutkan dalam akad ijarah nomor 8 sertifikat gadai syariah Bank BRI Syariah dengan klausul: "Apabila nasabah melakukan pelunasan lebih cepat dari batas waktu perjanjian, maka tetap dikenakan biaya sewa yang dihitung per sepuluh hari."

Perhitungan ini bertentangan dengan pelaksanaan prinsip syariah yang diatur dalam Pasal 2 UU Perbankan Syariah juncto Pasal 2 ayat 2 Peraturan Bank Indonesia Nomor: 10/16/PBI/2008, selanjutnya disebut PBI Pelaksanaan Prinsip Syariah. Hal ini lantaran perhitungan tersebut mengandung riba dan dzalim. Seharusnya perhitungan sewa tempat dilakukan per hari sesuai waktu penyimpanan

Ketiga, selama jangka waktu penyimpanan barang terjadi risiko-risiko yang mengakibatkan barang menjadi rusak atau hilang, maka bank akan memberikan ganti rugi dengan besaran ganti rugi mengacu pada ketentuan antara bank dengan perusahaan asuransi rekanan bank. Khusus terkait kerusakan barang yang diakibatkan oleh kebakaran, maka maksimum besaran ganti rugi yang diberikan oleh bank sebesar 90 persen dari nilai taksiran barang sebagaimana tercantum dalam sertifikat gadai syariah.

Namun saat terjadi hal-hal di luar kekuasaan bank (force majeure) seperti pada gempa bumi, angin topan, perang, pemberontakan, tsunami, bencana alam, maka bank dibebaskan dari kewajibannya. Klausul ini menunjukkan bank syariah tidak mau menanggung penuh risiko terhadap kerusakan emas gadai, baik karena kelalaiannya ataupun di luar kemampuannya. Padahal untuk hal tersebut bank syariah telah memberikan pertanggungan kepada asuransi rekanannya. Asuransi jelas menanggung 100 persen nilai taksiran harga emas.

Penggantian sebesar 90 persen ini bertentangan dengan Pasal 2 UU Perbankan Syariah juncto Pasal 2 ayat 2 PBI Pelaksanaan Prinsip Syariah dan menempatkan bank syariah melanggar kewajiban hukumnya, ini memenuhi kriteria perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh badan hukum.

Keempat, apabila nasabah tidak mengambil barang yang dijaminkan bersamaan dengan pelunasan pijaman, maka diberikan batas waktu pengambilan barang  sampai dengan 16 hari setelah tanggal pelunasan. Jika lewat, maka harta nasabah akan langsung dapat disalurkan oleh bank sebagai sedekah. Hal ini berarti bank secara sepihak meminta nasabah mengalihkan hak miliknya kepada bank dengan persyaratan waktu tertentu, padahal hukum gadai dalam syariah Islam tidak memperbolehkan pengalihan hak milik nasabah selaku pemberi gadai kepada bank syariah selaku penerima gadai.

Klausul ini juga bertentangan dengan Pasal 18 huruf (f) ayat (1) UU Perlindungan Konsumen yang menyatakan pelaku usaha dilarang mencantumkan klausul baku apabila memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa.

Hal lain yang menjadi pertanyaan lantaran dianggap mengesampingkan perjanjian gadai emas syariah pada Pasal 1126 s/d Pasal 1130 KUHPerdata. Misal saat emas gadai yang tidak diambil padahal telah dilunasi ternyata pemiliknya telah meninggal dan emas tersebut menjadi harta warisan sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 396 Perma Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah namun ahli waris tidak mengetahui sehingga tidak menuntut haknya.

MEMUNCULKAN MASALAH - Persoalan rahn atau gadai emas ini pun pernah membuat budayawan Butet Kartarajasa dan rekannya pada 2013 merasa dirugikan oleh BRI Syariah yang menjanjikan gadai syariah emas dijamin aman dan menguntungkan. Produk yang dikeluarkan pada Januari 2009 ini ditawarkan dalam akad qardh, akad pinjaman dana dan akad ijarah, akad sewa menyewa. Pada 2010, ia mengikatkan diri dengan akad qardh dan ijarah dalam jangka waktu 120 hari. Setelah pengikatan, mereka wajib melakukan pembayaran secara tunai maupun debit tabungan.

Pada 2012 BRI Syariah menolak memperpanjang akad qardh dan ijarah dan memaksa menjual emas yang telah dijaminkan. Alasannya adalah adanya Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 14/7/DpbS tentang Pengawasan Produk Qardh Beragun Emas di Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah.

Penolakan perpanjangan pengikatan dan pemaksaan menjual emas yang digadaikan dianggap bertentangan dengan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 14/7/Dpbs. Surat Edaran tersebut mengatur akad yang terkait dengan produk Qardh beragun emas yang sudah dilakukan bank syariah sebelum berlakunya surat edaran BI ini dinyatakan tetap dapat berlaku sampai jatuh tempo dan dapat diperpanjang selama satu tahun terhitung sejak berlakunya surat edaran.

Namun, BRI Syariah tetap tidak pernah mendebet tabungan seniman ini sampai jatuh tempo. Bahkan, ketika tanggal jatuh tempo terjadi, BRI Syariah tidak pernah memberikan peringatan kepada Butet dan rekan untuk membayar biaya pinjaman dana dan biaya ijarah tersebut.

Emas yang digadaikan juga diduga telah dijual bank tanpa melalui lelang sebagaimana yang diatur dalam sertifikat gadai syariah. Hal ini jelas bertentangan dengan prinsip syariah dan kepatutan sebagaimana diatur dalam Pasal 24 huruf a UU Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah juncto Pasal 29 Ayat (4) UU Nomor 10 tahun 1998 tentang Perbankan juncto Pasal 7, Pasal 8 ayat (1) huruf f UU Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Dalam pasal tersebut dinyatakan nasabah berhak mendapatkan informasi mengenai kemungkinan timbulnya risiko kerugian sehubungan dengan transaksi nasabah yang dilakukan bank. Bank sebagai pelaku usaha dilarang memproduksi barang atau jasa tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, atau promosi penjualan barang atau jasa tersebut.

Kerugian material yang diderita Butet atas kasus ini mencapai Rp 1,5 miliar. Sedangkan enam rekan lainnya mengalami kerugian sebanyak lebih dari Rp11,2 miliar. Ditambah, karena telah diposisikan sebagai debitur macet oleh BRI Syariah, tindakan tersebut juga telah merugikan para penggugat secara immaterial sejumlah Rp35 miliar.

Penggamat ekonomi Enny Sri Hartati menyatakan walaupun pernah menimbulkan masalah, namun gadai syariah sampai saat ini masih tumbuh subur. Hal ini terlihat lantaran permintaan jasa tersebut oleh masyarakat dapat dikatakan cukup tinggi.

"Harus ada standarisasi sebuah usaha yang menjual jasa gadai kepada masyarakat agar ada perlindungan bagi konsumen," katanya kepada gresnews.com, Jumat (7/8).

Jika terdapat permasalahan seperti yang dihadapi Butet maka ia menyarankan OJK termasuk penegak hukum terkait ikut mengusut agar masyarakat tak sampai dirugikan. "Jangan lupa edukasi ke masyarakat juga terhadap hukum-hukum yang mengikat, jangan saat rugi baru komplain," ujarnya.

Direktur Industri Keuangan Nonbank (IKNB) Syariah  Otoritas Jasa Keuangan Mochamad Mukhlasin menyatakan dalam hal gadai emas, bank syariah memiliki ketentuan khusus. "Memang syariah bisa lakukan gadai syariah, rahn namanya, didasarkan pada fatwa MUI," ujarnya kepada gresnews.com, Jumat (7/8).

Untuk itu dirinya menegaskan bank syariah tak hanya melakukan aktifitas pinjam-bayar tapi boleh melakukan kegiatan gadai berdasarkan syariat. "Beda antara bank-bank lain, bank syariah ada UU tersendiri sehingga tak perlu dipermasalahkan," katanya.

Rahn atau gadai pada dasarnya tidak didefinisikan dalam UU Perbankan Syariah, namun UU tersebut memberikan ruang gerak yang luas bagi kegiatan usaha bank umum syariah selama tidak bertentangan dengan prinsip syariah. Juga ketentuan perundang-undangan yang berlaku sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 19 ayat 1 huruf q UU Perbankan Syariah.

Landasan hukum bagi perbankan syariah untuk mengeluarkan produk layanan berdasarkan prinsip syariah menggunakan fatwa DSN MUI. Untuk keperluan pengawasan terhadap lembaga keuangan syariah dan perbankan syariah, DSN MUI membuat garis panduan produk syariah yang diambil dari sumber-sumber hukum Islam.

Definisi rahn sendiri dapat dilihat pada fatwa DSN MUI Nomor 25/DSN-MUI/III/2002 tanggal 26 Juni 2002 tentang rahn, yang mendefinisikan rahn sebagai pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai jaminan utang. Sedang dasar hukum gadai emas berdasarkan fatwa DSN MUI Nomor 26/DSN-MUI/III/2002 tanggal 28 Maret 2002 tentang Rahn Emas, yang menyatakan rahn emas dibolehkan berdasarkan prinsip rahn.

BACA JUGA: