JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kondisi perekonomian yang terus melemah memaksa pemerintahan Joko Widodo terus mencari sejumlah terobosan untuk mengatasinya. Diantaranya, dengan meluncurkan kebijakan ekonomi paket I yang  mengedepankan deregulasi aturan yang menghambat investasi. Disusul dengan meluncurkan paket kebijakan jilid II dan kini tengah bersiap meluncurkan paket kebijakan ekonomi ke III  yang disebut-sebut akan berdampak langsung bagi masyarakat.

Salah satu usulan yang ditawarkan presiden adalah menurunkan harga bensin jenis premium dan solar. Dua komponen bahan bakar minyak (BBM) ini dinilai berperan vital  menggerakkan sektor riil. Dengan diturunkannya dua komponen  BBM ini sektor riil akan bisa bergerak lebih gesit.                                              

Presiden Jokowi dalam rapat terbatas Rabu (1/10) kemarin telah meminta kepada Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Pertamina untuk menghitung kembali apakah harga bensin Premium bisa diturunkan.

"Berkaitan BBM, meskipun kemarin sudah diumumkan oleh Menteri ESDM, dalam keadaan negara membutuhkan, tolong dihitung lagi. Apakah masih mungkin yang namanya Premium itu diturunkan meskipun hanya sedikit," tegas Jokowi, saat rapat di kantor Presiden, Jakarta, Kamis (1/10).

Soal kepastian apakah  harga bensin bisa diturunkan,  menurut Presiden, baru akan dilaporkan Senen mendatang. "Kalau bisa, ya berarti nanti diumumkan. Kalau tidak bisa pun  akan diumumkan," katanya ,  saat mengunjungi Gudang Bulog, Kelapa Gading, Jakarta Utara, Jumat (2/10).

Diakui Presiden, Kementerian ESDM telah menyampaikan kepadanya harga bensin Premium tidak akan naik hingga akhir Desember mendatang. Namun pihaknya tetap ngotot untuk dihitung kembali kemungkinan penurunan harga Premium dan solar.  

Menanggapi permintaan presiden ini Menko Perekonomian, Darmin Nasution mengatakan, pemerintah bersama Pertamina  terlebih dahulu akan melakukan perhitungan, apakah harga bensin Premium bisa diturunkan.

Pertamina menurutnya telah menyanggupi untuk melakukan kalkulasi. Kalkulasi ini dilakukan mengingat  kurs rupiah yang terus melemah terhadap dollar Amerika, yang sudah menyentuh level Rp 14.700. Sebab meski harga minyak turun, namun karena perhitungannya menggunakan dollar Amerika, maka harga minyak masih akan tidak menentu.  

"Kalau rupiahnya menguat ya ada peluang, tapi saya pikir lebih baik disimpulkan kalkulasi dijalankan," ujar Darmin usai rapat terbatas, Kamis (1/10).

Disebutkannya,  sebenarnya ada  faktor lain yang  bisa mempengaruhi kondisi tersebut. Misalnya, dengan menaikkan penggunaan crude (minyak mentah) dalam negeri. Hal itu akan membuat Pertamina tidak perlu impor lebih banyak.

Namun  hal itu masih akan dipelajari dan akan dilakukan assessment oleh Pertamina, seperti apa situasi saat ini. Namun ia menegaskan hal itu belum bisa dipastikan bahwa premium akan turun.  "Kalau terbuka kesempatan itu, ya akan kita lakukan," jelasnya.

Darmin menuturkan, bahwa sulit membuat Pertamina efisien dalam jangka pendek, khususnya di sektor BBM. Namun bila jangka panjang, itu bisa dilakukan dengan Pertamina membangun kilang dalam negeri sendiri.

MASIH AKAN DIHITUNG - Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Dwi Soetjipto juga belum bisa memastikan kemampuan Pertamina untuk menurunkan harga Premium. "Itu yang akan kita evaluasi, dan ke depan bisa kita laporkan," jelas Dwi, pada kesempatan yang sama.

Dwi mengungkapkan,  pada Agustus 2015 lalu, harga bensin Premium yang dijual Pertamina masih 2% di bawah harga keekonomian. Sehingga Pertamina akan melihat kondisi perkembangan harga bensin Premium yang dijual sepanjang September lalu.

"Ya kita lihat apakah ada langkah-langkah efisiensi dan sebagainya. Makanya itu yang harus kami evaluasi," ungkap Dwi.

Dwi mengungkapkan, bahwa terkait upaya mengatasi impor BBM,  akan ada  2 proyek yang bisa mendorong Pertamina menurunkan impor BBM. Yakni pertama, beroperasinya kilang PT Trans Pacific Petrochemical Indotama (TPPI), Tuban, Jawa Timur dan beroperasinya Residuel Fluid Catalytic Cracker (RFCC) kilang Cilacap, Jawa Tengah.

"RFCC proyek refinery upgrading di Cilacap itu akan bisa menurunkan impor sekitar 5% untuk produk, terus kalau bisa dioptimalisasi proyek yang lain, misalnya pengoperasian TPPI, akan bisa menekan 10% dari impor," tutur Dwi.

Menurutnya peluang penurunan harga itu memang ada. Tinggal melihat nanti seberapa dan ke depan seperti apa.

BUKAN BERARTI BUNTU - Namun menurut Direktur Pemasaran Pertamina, Ahmad Bambang,  harga Premium sulit diturunkan di tengah melonjaknya nilai dolar yang hingga menembus Rp 14.700 saat ini. Sementara Pertamina masih mengandalkan impor untuk pengadaan bensin Premium tersebut.

"Kami serahkan saja ke pemerintah. Sejujurnya agak susah (menurunkan harga bensin Premium) karena tekanan dolar, apalagi kita juga harus mengurangi pembayaran dalam dolar, yang berarti harus dilakukan deferred payment dan atau hedging," kata Bambang, Kamis (1/10).

Namun diakuinya hal itu bukan berarti jalan buntu. Harga premium menurutnya, bisa turun bila ada penundaan pembayaran komponen pajak, seperti  pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak bahan bakar kendaraan bermotor (PBBKB) dari harga Premium yang dijual Pertamina.

Keinginan keras presiden untuk menurunkan harga bensin premium, juga tak didukung oleh kondisi keuangan negara saat ini. Menteri Keuangan, Bambang Brodjonegoro, memastikan bahwa tidak ada anggaran  untuk subsidi harga premium dalam anggaran pemerintah.

"Tapi kita upayakan Pertamina tidak kerepotan. Begitu saja," kata Bambang usai membuka Rakernas Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Pemerintah di Kementerian Keuangan, Jakarta, Jumat (2/10). Ia juga berjanji tak akan membuat Pertamina tekor akibat penurunan harga ini. (dtc)

BACA JUGA: