JAKARTA, GRESNEWS.COM - Panel Organisasi Perdagangan Internasional Word Trade Organization (WTO) memutuskan memenangkan gugatan Amerika dan Zelandia Baru atas kebijakan restriksi (pembatasan) impor produk agrikultur oleh Indonesia. Panel pun memerintahkan Indonesia harus mencabut restriksi impor terhadap produk agrikultur seperti daging, sayuran dan buah-buahan itu.

Sejumlah pihak menilai kekalahan Indonesia dalam sidang panel itu atas persengketaan Indonesia dan sejumlah negara eksportir maju itu,  karena Indonesia tidak mempunyai negosiator yang kuat.

Wakil Ketua Komisi IV DPR RI Herman Khaeron mengatakan kekalahan Indonesia di WTO tersebut karena tidak mampu beragumentasi dan menjelaskan komitmen INdonesia ke WTO. Menurutnya bahwa ada kepentingan dalam negeri yang lebih besar dengan pembatasan tersebut.

Regulasi memperketat itu bukan mempersulit. Sebagai negara berkembang dan daya saing yang masih rendah dibanding Amerika dan New zealand. "Indonesia tentu memiliki cara, strategi, dan regulasi untuk melindungi kepentingan dalam negeri," kata Herman kepada gresnews.com, Senin (26/12).

Herman mengatakan, pentingnya diplomasi internasional agar dunia tahu kepentingan Indonesia. Indonesia juga sebagai negara yang menganut ekonomi pancasila bukan ekonomi liberal dan pasar bebas, harus diketahui oleh mereka. "Jangan kita jadi korban liberalisme mereka. Kita hanya dijadikan pasar oleh mereka, hal ini harus menjadi kekuatan diplomasi kita di WTO," jelasnya.

Menurut Herman meskipun  Indonesia diberikan waktu 60 hari hingga awal 2017 untuk melakukan banding, namun ia pesimis, karena  kesempatan menang Indonesia kecil.

"Jika Indonesia ingkar terhadap hasil gugatan WTO, maka ada ancaman Indonesia menghadapi retaliasi atau pembalasan dari negara seperti AS yaitu berupa kenaikan tarif atau meningkatnya hambatan non tarif bagi produk Indonesia," ujarnya.

Menurutnya, apalagi 2017 merupakan era Presiden Trump dengan agenda proteksi impor dari negara lain. "Disatu sisi kekalahan Indonesia dalam WTO, akan menyebabkan nasib kedaulatan pangan kita menjadi bermasalah," paparnya.

Paahal menurutnya, saat ini saja hambatan non tarif (Non Tariff Measures) Indonesia hanya 272 jenis. Amerika punya 4.780, Australia 789, dan New Zealand 720 jenis berdasar data WTO tahun 2016. "Dengan lepasnya 18 hambatan non tarif di bidang pangan maka Indonesia makin terjerumus dalam jebakan impor pangan yang semakin dalam," tegasnya.

DAMPAK KEKALAHAN PANEL WTO TERHADAP PETERNAK LOKAL - Economist Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira, mengatakan kekalahan Indonesia dalam sidang WTO akan berdampak cukup besar bagi peternak sapi lokal. "Serbuan impor sapi membuat peternak sapi lokal merugi," kata Bhima kepada gresnews.com, Senin (26/12).

Ia juga meyakini kekalahan Indonesia dalam perundingan WTO soal impor sapi ini,  salah satu penyebabnya karena kualitas negosiator yang kurang profesional. Sehingga banyak kebijakan proteksi Indonesia yang sebenarnya penting untuk melindungi produsen pangan lokal kalah di panel WTO.

"Ketidakmampuan dalam perundingan ini dimanfaatkan negara maju asal impor pangan seperti AS, Australia dan Selandia Baru," ujarnya.

Atas kekalahan ini, pemerintah melalui Menteri Perdagangan (Mendag) Enggartiasto Lukita telah memberikan sinyal akan mengajukan banding awal tahun depan kepada Organisasi Perdagangan Dunia ( WTO) terkait keputusan WTO yang memenangkan gugatan Selandia Baru, dan AS, terhadap kebijakan dagang Indonesia.

"Setelah kami terima dari hasil keputusannya, kemudian kami susun pembelaan, lalu dengan tidak mengurangi rasa hormat, kami akan banding," kata Enggar di Kantornya Kementerian Perdagangan, Jumat (23/12).

Dia menyebutkan, Kemendag sedang mempersiapkan sejumlah paket deregulasi yang akan disampaikan kepada WTO bersamaan dengan pengajuan banding tersebut.

Pihaknya akan melihat semua poin baru dalam banding dan pasti akan melakukan banding. Paket deregulasi tersebut berisi poin-poin keberatan apa saja yang akan diajukan oleh pemerintah Indonesia kepada WTO pasca panel WTO memenangkan gugatan Amerika Serikat (AS) dan Selandia Baru terkait ketentuan impor yang diterapkan Indonesia.

Sementara itu, berdasarkan data Kemendag total perdagangan Indonesia dan Selandia Baru sepanjang Januari-Oktober 2016 mencapai US$832,38 juta. Angka ini berasal dari total ekspor yang senilai US$288,15 juta dan impor senilai US$543,32 juta.

Kemudian, Indonesia-AS mempunyai nilai perdagangan US$19,268 miliar pada periode yang sama, yang berasal dari total ekspor sebesar US$6,02 miliar.

BACA JUGA: