JAKARTA,GRESNEWS.COM - Indonesia dinilai terlambat membangun infrastruktur gas. Akibatnya Indonesia tertinggal dengan negara-negara tetangga dalam pengembangan dan pemanfaatan gas.

Vice Presiden LNG Pertamina Didik Sasongko Widi menyebut keterlambatan Indonesia mengembangkan infrastruktur gas, karena terlalu  terlena dengan Bahan Bakar Minyak (BBM). "Infrastruktur kita sekarang masih kalah dengan negara Malaysia.  Yang lebih lengkap justru infrastruktur BBM. Sebab kita terlalu tergantung dengan BBM. Baru beberapa tahun ini saja subsidi BBM ditarik," kata Didik  di Kantor Pusat Pertamina, Jakarta, Jumat (7/10).

Dikatakan Didik, semestinya infrastruktur gas dari beberapa wilayah sudah bisa tersambung, seperti dari utara ke selatan, atau dari Aceh sampai ke Jawa Timur sudah tersambung. Tetapi sampai saat ini Indonesia masih mengalami kesulitan membangun infrastruktur gas tersebut.

"Di China dalam satu tahun telah bisa dibangun. Tapi kalau di Indonesia technically bisa, namun jika pembangunan apakah di dukung masyarakatnya," ujarnya.

Dia mengaku sangat prihatin melihat sikap masyarakat Indonesia, sebab mereka hanya mengeluh jika pasokan gas kurang. Namun saat Pertamina ingin membangun pipa gas justru mendapat penolakan masyarakat.

Menurutnya, membangun pipa gas di Indonesia sama mahalnya dengan membangun pipa gas di negara lain. Seperti di Ginza,Tokyo. Padahal jika dilihat dari harga tanah di Indonesia lebih murah daripada harga tanah di pusat distrik Jepang tersebut.

"Kita bangun pipa 10 kilometer (km) maka itu lebih mahal dari harga di luar negeri. Harga gas diminta agar murah, tetapi disaat gunakan produksi dalam negeri malah lebih mahal hingga 20 persen, ditambah kualitas yang jelek, sehingga banyak masalahnya," ujarnya.

Hal itu salah satunya karena gas  banyak diekspor dalam bentuk LNG, daripada dikonsumsi oleh industri dalam negeri

BANGUN BERSAMA - Pengamat Ekonomi dan Energi dari Universitas Gadjah Madah (UGM) Fahmi Radhi membenarkan bahwa Indonesia masih sangat kekurangan infrastruktur untuk menyalurkan gas dari hulu hingga ke konsumen industri.

Namun menurutnya ketersediaan infrastruktur itu tidak bisa dibandingkan secara apple to apple dengan Malaysia dan Vietnam apalagi Singapore. Lantaran luas wilayah Indonesia jauh lebih luas dibanding luas ketiga negara tersebut," kata Fahmi kepada gresnews.com, Jumat (7/10).

Menurutnya dengan luas wilayah tersebut, maka Indonesia membutuhkan lebih banyak infrastruktur. Namun saat ini pemerintah hampir tidak pernah membangun infrastruktur, Karena pembangunan infrastruktur diserahkan sepenuhnya kepada PGN dan Pertamina.

"Maka keterbatasan infrastruktur menjadi salah satu sebab gas lebih banyak diekspor dalam bentuk LNG daripada dikonsumsi oleh industri dalam negeri," jelasnya.

Hal itu menurutnya berbeda dengan Singapore dan Malaysia, dimana pemerintahannya membangun infrastruktur dengan dana APBN mereka, disamping tetap memberikan subsidi kepada konsumen. "Maka sangat wajar kalau harga gas di Malaysia dan Singapore lebih murah. keterbatasan infrastruktur itu juga memicu harga gas di dalam negeri menjadi mahal," ujarnya.

Seperti diketahui sebelumnya, Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 06 tahun 2016 tentang tata cara penetapan alokasi dan pemanfaatan serta harga gas bumi yang diterbitkan Februari lalu, mewajibkan badan usaha yang mendapatkan alokasi gas bumi, harus  mempunyai atau menguasai infrastruktur fasilitas penyaluran dan penggunaan gas.

Pemerintah memberikan tenggang waktu kepada para badan usaha yang belum mempunyai infrastruktur gas agar membangunnya. Alternatifnya jika tak memiliki infrastruktur gas mereka bisa membangun pipa bersama. Misalnya dalam satu pipa sepanjang 10 km ada lima badan usaha yang memanfaatkan fasilitas tersebut.  Sehingga akan lebih baik jika kelima badan usaha tersebut bekerjasama membangun jaringan pipa gas, agar harga gas lebih murah.

BACA JUGA: