JAKARTA, GRESNEWS.COM - Federasi Serikat Pekerja (FSP) BUMN Bersatu mengancam akan mengajukan judicial review atas pemberlakuan Undang-Undang Pengampunan Pajak atau Tax Amnesty ke Mahkamah Konstitusi. UU tersebut Senin lalu telah disahkan dalam Paripurna DPR dan akan diberlakukan dalam masa 9 bulan mendatang. Federasi menilai adanya muatan kepentingan dalam penerapan UU Pengampunan Pajak.   

Ketua Umum FSP BUMN Bersatu Arief Poyuono menyebut UU Pengampunan Pajak merupakan cara untuk menjebak Jokowi dalam menerapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBNP 2016) yang defisit hingga Rp273 triliun. Defisit itu akan ditutup salah satunya dari hasil pendapatan pajak para pengemplang pajak dan koruptor yang memiliki dana di dalam dan luar negeri melalui fasilitas tax amnesty dengan hanya membayar 1,5 persen. Padahal dari hitungan total pajak yang dikemplang mereka mencapai Rp4.000 triliun.

Ia menyebutkan, para koruptor itu akan membayar fasilitas tax amnesty  dengan uang rakyat. "Melalui tax amnesty, para mantan pejabat, anggota DPR dan politisi korup bisa melakukan pencucian uang hasil korupsinya dengan hanya membayar 1,5 persen dari seluruh harta yang dikorup. Selanjutnya harta hasil korupsi tersebut akan jadi legal," kata Arief kepada gresnews.com, Rabu (29/6).

Arief menilai sebenarnya pendapatan dari para terutang pajak yang benar-benar usahanya dan kekayaannya berasal dari sumber yang sah, nilainya tidak sampai Rp100 triliun. Sementara ia memperkirakan pendapatan negara dari sektor pajak dengan menggunakan UU Pengampunan Pajak hanya akan memperoleh Rp1,5 triliun," jelasnya.

Menurutnya, para pengemplang pajak yang menjalankan usaha seperti penyelundupan, illegal logging, illegal mining, illegal fishing, penjual barang-barang tiruan dijamin mereka tidak akan menggunakan fasilitas tax amnesty yang sudah berlaku. Sebab penggunaan fasilitas tax amnesty bagi mereka justru akan banyak dirugikan.

"Maka jelas nantinya Jokowi akan kesulitan menerapkan APBNP 2016," ujarnya .

Sebab hasil pendapatan pajak dari terutang pajak melalui program tax amnesty tidak akan banyak mengatasi defisit anggaran tahun 2016 yang masih 6 bulan berjalan. Bahkan akibatnya postur APBNP 2016 akan makin mempercepat krisis ekonomi, karena ternyata UU Pengampunan Pajak tidak ampuh menambal defisit anggaran.

Padahal pada bulan September 2016 masa jatuh tempo pembayaran cicilan pokok dan bunga dari Surat Utang Negara dan swasta, serta utang luar negeri yang sangat membutuhkan devisa. Hal itu menjadi ancaman bagi pemerintah karena akan gagal bayar pada para kreditor luar negeri .

"Begitu juga pasar akan semakin merespons negatif terhadap postur APBNP 2016 yang sumber pembiayaannya juga tidak jelas," paparnya.

FSP BUMN Bersatu pun menyerukan masyarakat untuk melakukan pembangkangan sosial menolak membayar pajak, serta segera mengajukan uji materiil ke Mahkamah Konstitusi untuk membatalkan UU Pengampunan Pajak yang melanggar konstitusi Negara. Serta mendesak Kejagung, KPK dan Kepolisian untuk terus memantau para koruptor yang menggunakan fasilitas tax amnesty. Sekaligus menyiapkan perangkat hukum agar bisa membawa para koruptor itu ke pengadilan.

KONDISI BELUM SIAP - Sementara itu peneliti Institute for Development of Economics and Finance, Aryo DP Irhamna, mengatakan,  UU Pengampunan Pajak digunakan pemerintah untuk menutup agar defisit anggaran tidak terlalu lebar. "Sebab defisit melebihi tiga persen  akan memiliki risiko politik yang berat, pemerintah dianggap melanggar konstitusi," kata Aryo kepada gresnews.com, Rabu (28/6).

Namun Aryo menilai, kondisi perpajakan Indonesia belum siap untuk menerapkan tax amnesty. "Terutama di bidang administrasi perpajakan, data Wajib Pajak, dll. Maka saya ragu akan efektivitas tax amnesty," ujarnya.

Seperti diketahui, DPR telah mengesahkan RUU Pengampunan Pajak menjadi UU. UU ini akan diberlakukan selama sembilan bulan. Dari Juli 2016 hingga Maret 2017.

UU Pengampunan Pajak itu memberi peluang bagi para wajib pajak yang selama ini belum melaporkan pajaknya akan mendapat tarif tebusan yang lebih rendah. Tarif itu dibagi dalam tiga kategori, yakni bagi usaha kecil menengah, bagi wajib pajak yang bersedia merepatriasi (membawa pulang) asetnya di luar negeri, serta deklarasi aset di luar negeri tanpa repatriasi.

Untuk wajib pajak usaha kecil menengah, yang mendeklarasikan harta kekayaannya sampai Rp10 miliar akan dikenai tarif tebusan sebesar 0,5%. Sedang yang mengungkapkan lebih dari Rp10 miliar akan dikenai 2%.

Sedangkan bagi wajib pajak yang bersedia merepatriasi asetnya di luar negeri akan diberikan tarif tebusan sebesar 2% untuk Juli-September 2016, 3% untuk periode Oktober-Desember 2016, dan 5% untuk periode 1 Januari 2017 sampai 31 Maret 2017.

Sementara itu bagi wajib pajak yang mendeklarasikan asetnya di luar negeri tanpa repatriasi akan dikenai tarif 4% untuk periode Juli-September 2016, 6% untuk periode Oktober-Desember 2016, dan 10% untuk periode Januari-Maret 2017. Namun UU Pengampunan Pajak ini hanya akan berlaku hingga akhir Maret 2017 mendatang.

BACA JUGA: