JAKARTA, GRESNEWS.COM - Dewan Perwakilan Rakyat menilai, pemerintah tak bijak dengan ikut menghembuskan wacana kenaikan harga rokok Rp50 ribu per bungkus. Anggota Komisi XI DPR RI Heri Gunawan mengatakan, langkah pemerintah itu sebagai bentuk frustrasi pemerintah dalam mengejar pendapatan untuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang kini mengalami kebuntuan. "Wacana ini menciptakan kegaduhan baru," kata Heri, sebelum Rapat Paripurna DPR, Selasa (23/8).

Isu kenaikan harga rokok menjadi Rp50 ribu per bungkus itu sendiri diawali dari hasil penelitian Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan (PKEKK), Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia. Hasil survei itu kemudian menjadi viral di medsos. Hasil penelitian ini kemudian diambil sebagai dasar kebijakan.

Heri menilai, jika hasil survei ini ditetapkan menjadi kebijakan oleh pemerintah, bisa jadi blunder bagi Presiden Joko Widodo. "Hasil penelitian tersebut perlu pendalaman kembali dengan semua pemangku kepentingan," katanya.

Menurut politisi Partai Gerindra itu, kebijakan menaikkan harga rokok dicurigai sarat kepentingan. Bila kenaikan harga rokok benar-benar diterapkan, dampaknya sangat luas dan sistemik. Mulai dari rusaknya struktur industri rokok, terancamnya petani tembakau, hingga ledakan pengangguran yang berujung pada munculnya kelompok miskin baru.

Selain itu, dia menilai, dengan kenaikan harga rokok itu kelak akan banyak pabrik rokok tutup, terutama rokok kretek yang sebetulnya sudah sangat tertekan oleh serbuan rokok luar. Akibatnya, pengangguran dan kelompok miskin baru akan muncul. Tahun 2014 saja, industri rokok melibatkan 5,98 juta pekerja yang terdiri dari 4,28 juta pekerja di sektor manufaktur plus 1,7 juta pekerja di sektor perkebunan.

"Jumlah pabrik rokok yang semula 4.669 telah berkurang menjadi 700 pada 2015 akibat kebijakan beberapa tahun belakangan ini," ungkapnya.

Terganggunya struktur industri rokok, sambung Heri lagi, sudah pasti akan berdampak pada penerimaan cukai dalam APBN. Tahun 2015 saja, tercatat penerimaan cukai sebesar Rp144,6 triliun (96,4% adalah sumbangan dari cukai rokok). Ini jauh lebih tinggi dari kontribusi dividen BUMN yang hanya mencapai Rp37 triliun.

"Tanpa dinaikkan saja, penerimaan cukai rokok sudah mulai menurun akibat berbagai kebijakan yang ada, termasuk peredaran rokok ilegal yang sudah mencapai 11,7% yang sudah merugikan negara sekitar Rp9 triliun," terang Heri.

Akibatnya, penerimaan cukai di kuartal I-2016 turun 67% dari kuartal I-2015 atau menjadi hanya Rp7,9 triliun dari yang tadinya sebesar Rp24,1 triliun. Ditambahkan Heri, kenaikan harga rokok tidak otomatis membuat perokok berhenti merokok. "Yang paling mungkin para perokok itu akan beralih ke rokok ilegal. Dan peredaran rokok ilegal naik drastis. Ini jadi masalah baru lainnya," kata Heri.

Untuk itu, kata dia, pemerintah perlu mengkaji secara komprehensif kebijakan tersebut. Plus-minusnya harus dilihat secara hati-hati dan mendalam. Jika tujuannya menaikkan penerimaan cukai 2017 yang ditargetkan sebesar Rp157,16 triliun, harusnya tidak jadi bumerang. Seperti diketahui cukai hasil tembakau ditargetkan sebesar Rp149,88.

"Rakyat sedang menunggu kerja nyata untuk menanggulangi kemiskinan yang sudah mencapai 28 juta orang. Rakyat sedang menunggu aksi nyata untuk penciptaan kesempatan kerja yang lebih besar. Rakyat juga sedang menunggu gebrakan nyata untuk meyakinkan bahwa pemerintah ini sungguh-sungguh dan mampu," pungkas Heri.

Hal senada juga disampaikan Koordinator Koalisi Nasional Penyelamatan Kretek (KNPK) Zulfan Kurniawan. Dia mengatakan, kenaikan harga rokok sebesar Rp50 ribu per bungkus akan membunuh industri rokok dan menyebabkan PHK massal terhadap buruh pabrik rokok. Petani tembakau juga bisa terancam karena dampak dari berkurangnya daya pembeli. "Jelas kami tidak setuju harga rokok Rp50 ribu per bungkus," kata Zulfan kepada gresnews.com.

Dia menilai, survei yang dilakukan oleh Prof Hasbullah Thabrany yang didanai oleh Bloomberg Initiative sebesar Rp4 miliar itu memang sengaja dilakukan untuk mengkampanyekan kenaikan cukai dan pajak untuk membuat harga rokok mahal agar konsumsi berkurang. Dia membantah harga rokok dan tembakau di Indonesia lebih murah dari negara lain.

"Kata siapa tembakau murah? Parameternya apa mengatakan itu murah? Hanya di Indonesia ada tembakau yang harganya mencapai Rp850 ribu per kilogram," katanya.

SERBUAN ROKOK IMPOR MENGANCAM - Zulfan juga khawatir, jika pemerintah menaikkan harga rokok, tetap saja konsumsi tidak berkurang, karena dikhawatirkan celah pasar itu malah dimanfaatkan oleh masuknya rokok impor. "Kalau rokok produk Indonesia dibikin mahal, ada rokok impor produksi Jerman yang sampai saat ini harganya Rp28.000 per bungkus isi 20 batang.

"Dimana di negara yang sama, Dji Sam Soe dijual dengan harga Rp120 ribu per bungkus isi 12 batang. Jadi bukan hanya China yang akan memasukkan rokok-rokok impor yang dianggap murah ke Indonesia," ujar Zulfan.

Dia juga membantah argumen mahalnya harga rokok dapat menurunkan angka kemiskinan. Dia menilai itu akan menjadi paradoks karena perokok dipastikan sulit berhenti, sehingga perokok miskin akan tetap membeli rokok dan akan bertambah miskin.

Di tempat terpisah, Sekjen Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) Hasan Aoni Aziz menilai, ide harga rokok mencapai Rp50 ribu per bungkus untuk mengurangi konsumsi tak tepat. Menurut Hasan, survei persepsi biasanya tak selalu sama secara tindakan nyata pada saat kebijakan itu dijalankan.

Dia menilai, hasil survei itu posisinya hanya sebagai masukan kebijakan. Hanya yang terjadi di media sosial (medsos) seolah-seolah akan ada tindakan kebijakan dari pemerintah. Apalagi disebutkan mulai berlaku September tahun ini.

"Persepsi itu didapat dari pertanyaan simulatif dengan mengandaikan harga rokok akan lebih dari 400 persen, maka siapapun, bahkan tak perlu susah-susah survei, kalau harga barang konsumsi pokok dinaikkan setinggi itu, kita mudah menduga pasti si pengguna akan mengatakan berencana menghentikan konsumsi," kata Hasan kepada gresnews.com.

Namun lantaran rokok sudah seperti barang konsumsi pokok masyarakat, setiap kebijakan harga yang drastis akan mempengaruhi aspek lain yang berhubungan dengan rantai variabel keekonomian barang itu. Dalam konteks rokok, maka akan mempengaruhi instabilitasnya ekonomi mulai petani, buruh tani dan buruh rokok, pengusaha, negara dan para pegiat kesehatan itu sendiri.

Peneliti Institute for Development of Economics and Finance Ariyo DP Irhamna mengatakan, polemik kenaikan harga rokok memang mengagetkan industri rokok. Di sisi lain pemerintah membutuhkan sumber penerimaan perpajakan di tengah kelesuan harga komoditas.

"Tapi, esensi dari cukai ialah untuk mengontrol konsumsi produk tertentu bukan meningkatkan penerimaan negara. Sebab yang terjadi justru bisa kontraproduktif, industri merasa terbebani dan skenario terburuk terjadi PHK," kata Ariyo kepada gresnews.com.

TIDAK PENGARUHI PHK - Argumen pihak yang menilai kenaikan harga rokok akan membebani industri dan berujung PHK ini dibantah Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia dan Pengurus Komnas Pengendalian Tembakau Tulus Abadi. Dia mengatakan, desakan agar harga rokok dimahalkan hingga minimal Rp50 ribu per bungkus justru terus menguat.

Tulus menilai, selain berdampak positif terhadap masyarakat dan negara, harga rokok yang mahal tidak akan berdampak signifikan terhadap sektor tenaga kerja dan atau petani tembakau. Dia menjelaskan, ada beberapa hal sorotan YLKI terkait hal ini, diantaranya, dari sisi masyarakat, adalah tidak masuk akal mengaitkan harga rokok mahal dengan daya beli masyarakat atau konsumen.

"Ingat, rokok adalah jenis komoditas barang yang dikenai cukai (bukan barang normal), yang justru harus dihindari masyarakat. Harga yang mahal adalah instrumen untuk memproteksi masyarakat agar tidak semakin terperosok pada dampak merusak rokok, baik secara individu, orang lain (perokok pasif) bahkan lingkungan," kata Tulus dalam keterangan tertulis yang diterima gresnews.com.

Tulus mengaku jika mengaitkan dampak harga rokok dengan nasib petani dan ketenagakerjaan juga kurang ada relevansinya. Pasalnya, justru selama ini nasib petani tembakau terpinggirkan karena adanya impor karena adanya impor tembakau.

Produksi rokok nasional 60 persennya dipasok dengan tembakau impor. Ini yang menyebabkan tembakau lokal milik petani tidak tersedot ke pasaran. "Petani tembakau tidak punya bargaining apapun dengan industri," ujarnya.

Menurutnya, nasib buruh industri tembakau juga sama aja hak-haknya dilanggar oleh industri karena mayoritas masih menjadi buruh kontrak. "Adanya PHK, karena industri rokok melakukan mekanisasi, mengganti buruh manusia dengan mesin. Dengan mesin lebih efisien, karena satu mesin bisa menggantikan 900 orang buruh. Jadi musuh petani dan buruh rokok itu bukan harga rokok, bukan kenaikan cukai, tetapi industri rokok sendiri," ujarnya.

Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, belum ada keputusan untuk penetapan harga jual rokok seperti yang diributkan belakangan ini. "Sampai sekarang belum ada aturan terbaru soal harga jual ecerannya ataupun tarif cukai rokok," kata Sri Mulyani, Senin (22/8).

Sri mengungkapkan, sampai saat ini pihaknya akan melakukan kebijakan mengenai penetapan harga jual eceran maupun tarif cukai sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Cukai yang akan dimasukkan dalam RAPBN 2017. Dia juga menjelaskan kenaikkan harga rokok telah membuat ramai di publik

Direktur Jenderal Bea dan Cukai Heru Pambudi menyampaikan, kenaikkan harga rokok akan dilakukan pada tahun depan. Bila dilihat secara historis, setiap tahunnya cukai rokok memang selalu dinaikkan oleh pemerintah dan menyebabkan harga rokok naik.

Heru menyebutkan, jika harga rokok naik, maka akan ada pengumuman beberapa bulan sebelumnya agar asosasi industri, dan petani tembakau tidak kaget dengan adanya kenaikkan tersebut. Selain itu pemerintah juga akan melihat situasi pasar dan ekonomi dalam negeri terlebih dahulu.

"Kalau dilihat historisnya rokok memang harus naik secara regular di tahun depan, nanti aka ada pengumuman agar semua pihak dapat sesuaikan," kata Heru di kantor Kemenkeu, Jakarta, Senin (22/8).

Dia mengaku, secara regular tahunannya, cukai rokok akan mengalami kenaikan sekitar 11 persen (per tahun). Tetapi untuk tahun 2017, pihaknya belum bisa mengetahui berapa persen akan naik.

BACA JUGA: