JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pemerintah mengklaim paket kebijakan ekonomi II yang berisi pemangkasan berbagai perizinan dan juga paket kebijakan perpajakan seperti tax allowance dan tax holiday merupakan paket yang "nendang". Namun Dewan Perwakilan Rakyat menilai, kebijakan tersebut justru minus lantaran tak menyentuh dua hal mendasar.

Wakil Ketua Komisi VI DPR RI Heri Gunawan mengatakan, kedua masalah itu adalah penyerapan tenaga kerja dan lemahnya pengawasan BKPM. Menurut Heri, belum ada jaminan untuk menyerap tenaga kerja secara maksimal dari masuknya investasi.

Untuk itu perlu ada seleksi atas pemberian kemudahan layanan, pemberian tax allowance, dan tax holiday kepada para investor yang datang. "Berbagi insentif itu harus diberikan kepada investasi yang menjamin penyerapan tenaga kerja. BKPM harus selektif," kata Heri seperti dikutip dpr.go.id, Jumat (2/10).

Dia mengatakan, dari laporan realisasi investasi triwulan II 2015 yang diterbitkan BKPM, telah terjadi penurunan serapan tenaga kerja pada investasi asing yang masuk. "Artinya, selama ini investasi tidak berbanding lurus dengan tingkat penyerapan tenaga kerja. Itu adalah masalah pokok yang harus dipecahkan," jelas politisi Partai Gerindra itu.

Heri mengungkapkan, tingkat pengangguran terbuka semakin lebar. Naik 300 ribu orang dibanding tahun lalu. "Untuk apa invenstasi banyak masuk tapi tak menghasilkan nilai tambah?" ujarnya.

Persolan kedua, lanjut Heri, adalah soal lemahnya pengawasan BKPM dalam menyambut paket kebijakan mempermudah investasi. Pengawasan yang dilakukan BKPM, kata dia, tidak menyeluruh.

"Biasanya di awal bagus, tapi bisa terdistorsi di tengah jalan. Akhirnya, banyak investor mengeluh di lapangan. Ini penting digarisbawahi, karenanya diperlukan penegakan hukum yang konsisten, tegas, dan kuat," ujarnya.

Politisi dari dapil Jabar IV itu melihat, bila dua pokok masalah ini tidak disentuh pemerintah, efek investasi menjadi nihil. "Oleh karena itu, saya mendorong penuh kebijakan investasi yang produktif dan melibatkan sebesar-besarnya SDM lokal," paparnya.

ANGKA PHK TINGGI - Pemerintah memang berupaya memutar roda perekonomian lebih kencang lagi lantaran, akibat pelambatan ekonomi, banyak usaha yang sudah megap-megap yang mengakibatkan tingginya angka pemutusan hubungan kerja (PHK).

Berdasarkan data Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), angka PHK tahun ini sudah mencapai 62.331 orang. Angka ini lebih tinggi dari data Kementerian Tenaga Kerja yang menyebut angka PHK hingga September 2015 mencapai 43.085 orang.

Ketua Umum Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Yorrys Raweyai mengatakan, dari data PHK versi KSPSI itu, Jawa Timur menduduki peringkat tertinggi. "Ada keprihatinan di situ. Kita harus cari solusi," kata Yorrys.

Dia meminta pengusaha yang selama ini sudah menikmati keuntungan, agar memberikan ruang kepada para buruh untuk bertahan. "Sisihkan sedikit anggaran untuk menahan PHK, tantangan daya beli menurun, yes," katanya.

Yorrys mengatakan setelah PHK, para buruh juga harus berhadapan dengan masalah proses pencairan Jaminan Hari Tua (JHT) karena antrean yang panjang. "Belum lagi menyelesaikan masalah JHT, lalu direvisi tapi tidak berujung. Buruh selalu melihat kebijakan yang dibuat pemerintah hanya upaya menutupi masalah yang ada," katanya.

Ia mengatakan para anggota KSPSI data tenaga kerja sekitar 2,6 juta orang. Total di Jabodetabek hampir 1 juta tenaga kerja. Buruh minta diajak bicara oleh pemerintah dari kondisi ekonomi yang lesu saat ini.

Sementara itu, Sekretaris Jenderal Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Muhammad Rusdi mengatakan, buruh sedang menunggu langkah pemerintah mengatasi masalah ini. "Kita sedang tunggu pemerintah ngapain ketika udah terjadi puluhan ribu orang di-PHK. Kita berharap besar buruh diundang pemerintah untuk diskusi. Kita sudah lama nggak diajak bicara. Komunikasi nggak lancar, Ini yang disayangkan," kata Rusdi.

Kondisi saat ini, lanjut Rusdi, PHK tidak hanya terjadi di sektor industri. "Bank collapse juga karena buruh nggak bisa nabung, nggak bisa bayar cicilan rumah, jelas jadi turun juga funding-nya," tambahnya.

Menurut Rusdi, suka tidak suka, upah pekerja harus dipertahankan. Tenaga kerja juga harus tetap punya pekerjaan.

"Problem perusahaan ini kan produk yang dihasilkan tidak terserap masyarakat. Daya beli rendah, suka nggak suka daya beli harus meningkat. Pekerja upahnya dipertahankan. Tenaga kerja harus tetap punya pekerjaan dan pendapatan, suka nggak suka," jelasnya.

INDUSTRI TEKSTIL TERPUKUL - Dari sekian banyak industri yang mengalami pukulan hebat akibat pelambatan ekonomi dan pelemahan rupiah ini, industri tekstil adalah industri yang terkena dampak paling parah. Data Kementerian Perindustrian menyebut, PHK di lingkungan industri tekstil mencapai 36.000 pekerja.

Hal itu terjadi akibat turunnya penjualan di dalam negeri hingga 50% dan naiknya harga bahan baku karena penguatan dolar Amerika Serikat (AS). Kalangan pengusaha tekstil dan produk tekstil (TPT) melakukan PHK dan merumahkan sebagain karyawan sejak lebaran lalu.

"Sampai saat ini 30.000 se-Indonesia dirumahkan. Itu yang lapor 18 perusahaan. Banyak lagi yang belum lapor. Kalau data Kemenaker sektor garmen dan tekstil salah satu PHK terbesar, itu laporan ke kita beda. Laporan ke kita sekitar 30.000 orang dirumahkan," kata Sekjen Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ernovian G Ismy.

Dia mengatakan, pemerintah harus fokus membantu industri TPT, misalnya dengan diskon tarif listrik. Menurutnya, bila tak ada bantuan pemerintah maka perlahan industri TPT akan banyak yang tutup.

"Industri tekstil secara total yang tutup ada, yang bangun baru ada. Kondisi saat ini, pelemahan rupiah, bahan baku mahal akibatnya mati pasar lokal, itu hancur. Kita harus kuatkan. Bahan baku itu cost-nya 60% ke biaya," katanya.

Ia mengatakan, kalangan industri yang merumahkan karyawan karena pertimbangan biaya yang lebih murah daripada PHK. "Kalau PHK itu lebih mahal biayanya, jadi banyak yang memilih merumahkan pegawai sementara. Kalau PHK, kita harus bayar semua sesuai aturan yaitu pesangon, masa penghargan dan kesehatan. Dirumahkan lebih murah biayanya. Nggak ada uang makan dan transport," katanya.

Ernov mengatakan, selain naiknya bahan baku dan lemahnya penjualan, faktor penurunan ekspor pun menjadi pertimbangan dunia usaha merumahkan hingga PHK karyawan. "Kita ekspor US$ 13 miliar udah ngos-ngosan. Ekspor kita tahun-tahun belakangan nggak naik," katanya.

Terkait masalah ini, pemerintah sendiri mengaku belum memiliki solusi. "Kita belum memikirkan crash program untuk mengantisipasi ini (gelombang PHK di industri tekstil), ini kan kondisi yang di luar perkiraan kita," kata Direktur Jenderal Industri Kimia Tekstil dan Aneka, Kemenperin, Harjanto, usai rapat kerja dengan Komisi VI di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (1/10).

Meski demikian, Harjanto yakin industri tekstil bisa segera kembali bangkit. Sebab, industri-industri lain seperti semen dan baja mulai menggeliat lagi berkat proyek-proyek infrastruktur yang mulai digenjot pemerintah.

Bila pendapatan masyarakat tumbuh karena banyaknya proyek infrastruktur, permintaan tekstil juga tentu meningkat, industri tekstil pun bisa kembali bergairah. "Pertumbuhan industri tekstil sekarang memang agak negatif sekarang, belum bagus. Tapi sekarang industri semen dan baja sudah bergerak karena proyek infrastruktur, mudah-mudahan tekstil terkerek juga. Kalau buruh sudah punya uang lagi kan konsumsi untuk pakaian naik," tuturnya.

Agar industri tekstil bisa bertahan, pihaknya terus berupaya membantu menekan biaya produksi, misalnya dengan memindahkan gudang kapas dari Malaysia ke Indonesia. Dengan begitu, industri tekstil di Indonesia bisa lebih berdaya saing.

"Ke depan untuk industri tekstil, kita melihat bahwa perlu national branding, buffer stock membuat gudang kapas supaya lebih efisien," tutupnya.

GAET ASING DEMI PELUANG KERJA BARU - Paket kebijakan ekonomi tahap II yang diluncurkan pemerintah memang sepertinya masih sekadar memberi karpet merah pada investasi asing. Pasalnya, industri dalam negeri justru belum diperhatikan pemerintah seperti yang dikeluhkan industri tekstil tadi.

Pemerintah memang sepertinya hanya fokus untuk mencari arus masuk modal dari luar. Hal itu tercermin dari pernyataan Deputi Bidang Pengendalian Pelaksanaan Penanaman Modal Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Azhar Lubis.

Dia mengatakan, proyek-proyek investasi baru yang sedang digarap BKPM punya potensi menyerap tenaga kerja baru hingga puluhan ribu, di tengah gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

"100 proyek investasi ini kalau bisa terealisasi penuh, dampaknya akan sangat luar biasa karena bisa menyerap sekitar 73.000 tenaga kerja. Hingga saat ini sudah terealisasi 9.420 yang sudah terserap," ujar Azhar, Kamis (1/10).

Sebanyak 100 proyek investasi yang dibahas antara lain proyek-proyek investasi asing yang terdiri dari 64 proyek di sektor industri, 14 proyek di sektor kelistrikan dan sisanya tersebar di sejumlah sektor seperti tambang, perkebunan, pariwisata, transportasi dan peternakan.

Total nilai investasi untuk 100 proyek tersebut ditaksir mencapai Rp80 triliun. "Semuanya sudah masuk masa konstruksi. 1 sudah selesai dan sudah berjalan. Jadi bisa dikatakan ini 100 proyek yang sudah terealisasi, karena sudah masuk masa konstruksi. Terbesar realisasinya di sektor industri sebesar Rp39,3 triliun," kata Azhar.

PROYEK PADAT KARYA - Pemerintah sendiri memang sepertinya menganggap sepi keresahan buruh dalam negeri yang tengah kelimpungan karena kena PHK atau dirumahkan. Bahkan, Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution sendiri meragukan angka PHK setinggi yang disebutkan buruh.

"Mengenai PHK ini soal seberapa meningkat perlu clear juga. Karena beritanya tak pernah jelas. Konon kabarnya, kelihatannya," ungkap Darmin di Kantor Presiden, Jakarta, Kamis (1/10)

Dari Kemenaker mencatat, per September 2015 total pekerja terkena PHK mencapai 43.085 orang. Datanya tidak berbeda jauh dengan BPJS Ketenagakerjaan. Kemudian kalau melihat beberapa laporan oleh perusahaan, kata Darmin jumlahnya jauh lebih banyak.

"Lah makanya, sebenarnya itu juga kan masih ada beberapa tingkatan. Ada yang berapa hari dulu kerjanya. Ada yang ya dirumahkan tapi tidak di PHK. Ada macam-macam kok itu. Jadi terlalu sederhana kalau dijumlahkan semuanya," jelasnya.

Meski demikian, Darmin mengakui saat ini dalam perlambatan ekonomi dan harga komoditas turun cukup drastis. Maka banyak perusahaan terkait yang mengambil langkah PHK.

"Juga bisa masuk akal bahwa dalam situasi ekonomi melambat, harga ekspor turun ya masuk akal kalau kemudian ada bisnis yang mengurangi tenaga kerja. Kalau harga batu bara, kelapa sawit jatuh ya jauh. Katanya harga kelapa sawit cuma Rp5.000 di level petani, itu pasti pengaruh," paparnya

Darmin mengatakan, pemerintah menyiapkan beberapa langkah strategis untuk menciptakan lapangan kerja baru. Misalnya dengan mendorong pembangunan infrastruktur dasar di daerah yang bisa melibatkan banyak orang atau dikatakan sebagai padat karya.

"Jadi ada sejumlah pekerjaan yang mendorong padat karya, supaya menampung tenaga kerja banyak. Saya mendengar PLN mengatakan, ada 1.100 titik untuk membangun transmisi yang akan dikerjakan, walaupun itu baru dua tahun selesai. Tapi sudah akan mulai. Dan itu pasti memerlukan orang. Kan nggak mungkin mesin pergi ke gunung-gunung sana," kata Darmin. (dtc)

BACA JUGA: