JAKARTA, GRESNEWS.COM - Rencana Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral untuk merevisi Undang-Undang No.4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (Minerba) demi memberikan izin ekspor konsentrat kembali mendapatkan tentangan. Badan Pengurus Pusat Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (BPP Hipmi) menilai, Menteri ESDM Sudirman Said seharusnya konsisten untuk tidak memberikan dispensasi ekspor konsentrat kepada pihak tertentu.

Hal itu penting untuk menjamin agar program hilirisasi pertambangan mineral tidak mati di tengah jalan. "Posisi Hipmi mengawal hilirisasi ini sampai tuntas. Pengusaha Hipmi juga sedang membangun smelter di berbagai daerah, masak kita matikan smelter sendiri," kata Ketua Umum BPP Hipmi Bahlil Lahadalia, dalam pernyataan tertulis yang diterima gresnews.com, Selasa (1/3).

Sejak era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, seiring terbitnya UU Minerba, pemerintah memang sudah menyusun langkah hilirisasi sektor pertambangan mineral. Lewat program ini, pemerintah berupaya mengembangkan industri pengolahan dan pemurnian hasil tambang (smelter). Dengan program hilirisasi ini pemerintah berharap akan mendapatkan nilai tambah lebih besar dari hasil tambangnya. Selain itu, pemerintah juga berharap ada nilai tambah lain berupa penguasaan teknologi, sekaligus menciptakan lapangan kerja baru.

Ketika itu, pemerintah melihat adanya kenaikan ekspor komoditas mineral tertentu. Bauksit misalnya, bijih bauksit yang naik lima kali lipat dari 10 juta ton menjadi 40 juta ton per tahun dari tahun 2008-2011. Sementara nikel naik delapan kali lipat dari 5 juta ton menjadi 33 juta ton per tahun. Jika komoditas ini diolah, pemerintah yakin penerimaan negara bisa naik 19 kali lipat dan bauksit naik 30 kali lipat.

Sayangnya, saat ini Kementerian ESDM justru seperti angkat tangan ketika pemegang kontrak pertambangan besar seperti Freeport dan Newmont tak juga mau membangun smelter. Alih-alih bersikap tegas, Sudirman Said malah ingin merevisi UU Minerba agar izin ekspor konsentrat kembali dibuka.

Sikap Sudirman Said ini dinilai bakal mengancam program hilirisasi yang sudah dirintis selama ini. Bahlil mengatakan, rencana relaksasi ini bakal membuat pengusaha yang terlanjur dan berencana membangun smelter kecewa dan enggan melanjutkan investasinya.

Sebagaimana diketahui, dengan alasan kesulitan likuiditas PT Freeport Indonesia mengajukan penangguhan jaminan setoran senilai US$ 530 juta. Uang jaminan itu merupakan salah satu persyaratan perpanjangan ekspor konsentrat Freeport yang berakhir pada 28 Januari lalu.

Sebelumnya, pemerintah menyatakan memaklumi kondisi Freeport di tengah anjloknya harga komoditas tambang di pasar internasional. Sebab itu, pemerintah kemudian menerbitkan rekomendasi Surat Persetujuan Ekspor (SPE) kepada PT Freeport Indonesia.

Dengan rekomendasi itu, Kementerian Perdagangan kemudian menerbitkan izin ekspor konsentrat sebanyak satu juta ton selama enam bulan ke depan. Terkait hal ini, Bahlil menegaskan, hilirisasi merupakan harga mati untuk meningkatkan nilai tambah bahan mentah dalam perekonomian bangsa. Selain itu, hilirisasi akan menyerap pengangguran atau menciptakan lapangan kerja lebih besar.

Karena itu, kata dia, Hipmi akan mengawal program ini sampai selesai. Meski demikian, Hipmi mengingatkan Menteri Said agar berlaku adil kepada semua pelaku industri ini. "Jangan sampai ada dispensasi. Kalau mau relaksasi, sekalian dibuka semua. Kalau mau tutup kerannya, jangan sampai ada keran lain yang dibuka ekspornya," ujar Bahlil.

Bahlil mengatakan, semua perusahaan tambang saat ini mengalami kesulitan likuiditas, perusahaan tambang nasional atau domestik juga mengalami hal yang sama. Sebab itu, tidak boleh ada pengecualian termasuk PT Freeport.

"Kita ingin semua sama-sama bersusah-susah dahulu, bersenang-senang kemudian. Jangan hanya segelintir pelaku usaha yang bersusah-susah," imbuh Bahlil.

Bahlil mengatakan, pihaknya akan taat konsistusi. Sebab itu, sesuai Undang-Undang (UU) Minerba No.4 Tahun 2009, para pengusaha lokal sedang membangun smelter di beberapa tempat di Tanah Air sebagai bentuk kepatuhan kepada regulasi atau UU, meski di tengah lemahnya dukungan permodalan dan pasokan energi.

KONSISTENSI PEMERINTAH DITAGIH - Hipmi, ujar Bahlil, tetap meminta konsistensi pemerintah agar bersikap tegas kepada Freeport dengan menyetop dispensasi ekspor konsentrat perusahaan ini. Hipmi, menurut Bahlil, sangat mendukung program hilirisasi sebagaimana dimaksud dalam UU No.4 Tahun 2009.

Namun, Hipmi meminta penerapan UU tersebut secara berkeadilan dan konsekuen. Terlebih lagi, PT Freeport kerap menimbulkan banyak masalah di negeri ini. Misalnya, dulu pemerintah memperbolehkan Freeport mengekspor konsentrat dengan syarat perusahaan berbasis di Amerika Serikat itu memenuhi janjinya membangun smelter di Gresik, Jawa Timur hingga 60persen.

Namun, hingga kini, dalam pantauan Hipmi, progres smelter Freeport itu hanya mencapai 14persen. Bahkan sesuai janjinya, Freeport akan membangun Smelter hingga 30persen per Januari 2016 dengan serapan investasi proyek sebesar minimal sekitar US$698 juta.

"Jadi, faktanya sudah jelas Freeport banyak ingkar janji. Kenapa dimanjakan terus. Sementara, kita ini pengusaha lokal, yang punya negeri ini tidak menikmati dispensasi apa-apa. Kita yang punya negeri ini malah kena diskriminasi dari Menteri ESDM," pungkas Bahlil.

Sebelumnya, pihak Kementerian Perindustrian juga mengaku keberatan dengan rencana Kementerian ESDM melakukan relaksasi ekspor konsentrat. Dirjen Industri Logal, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika (Ilmate) Kemenperin, I Gusti Putu Suryawirawan mengatakan, hal itu akan mengganggu upaya hilirisasi industri pertambangan yang sudah diupayakan sejak 7 tahun lalu.

"Relaksasi ekspor mineral mentah sudah jelas mengganggu hilirisasi, sudah jelas," kata Putu Suryawirawan, Kamis (25/2).

Bila ekspor mineral mentah diizinkan lagi, menurut Putu, proses pembangunan smelter di dalam negeri akan terganggu, dan bisa-bisa berhenti di tengah jalan karena tak lagi wajib. Pemerintah harus konsisten mendorong hilirisasi mineral di dalam negeri. "Rusak semua nanti, kepastian hukum jadi berantakan," ucapnya.

Karena itu, pihaknya meminta revisi atas UU Minerba ditunda hingga smelter-smelter selesai dibangun dan mulai beroperasi. "Sebaiknya tunggu smelter-smelter yang sekarang sedang dibangun beroperasi, baru kita tinjau lagi UU Minerba," tutupnya.

Pihak Kemenperin punya beberapa alasan untuk menolak rencana relaksasi. Selain mengancam program pembangunan smelter, relaksasi juga akan menjadi preseden buruk bagi kepastian hukum di Indonesia. "Investor jadi ragu-ragu, benar nggak ini Indonesia bikin aturan ini. Makanya sebaiknya janganlah. Jadi seharusnya kita menunjukkan ketegasan kepada investor," tukas dia.

Ketiga, pembukaan kembali ekspor mineral mentah akan membuat harga komoditas pertambangan semakin jatuh tak terkendali. "Kalau kita punya barang mineral maka kita harus punya kemampuan untuk mengontrol itu. Jangan membanjiri, nanti pasaran jadi rusak. Kita yang harus kontrol. Oke kita punya sumber, ya kita harus kontrol. Konsep ini harus kita pegang dulu. Jangan mentang-mentang kita punya sumber lalu kita habiskan," tegasnya.

Keempat, harusnya Indonesia sudah tak mengandalkan komoditas mentah lagi untuk pendapatan negara. "Jangan kita berpikir seperti nenek moyang kita, yang kita jual apa yang ada di ladang. Tapi kita harus berpikir, bagaimana mengolah yang ada di ladang, baru dijual. Konsepnya kita berikan nilai tambah," cetus Putu.

Kelima, industri logam pengolahan sumber daya alam termasuk sebagai prioritas dalam Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional (RIPIN). Maka kewajiban pembangunan smelter harus konsisten dijalankan. "Kita sudah punya RIPIN. Salah satu prioritas kita adalah industri logam dasar dan industri yang mengolah sumber daya tidak terbarukan," kata Putu.

PERLU DIKAJI ULANG - Sikap pemerintah terkait program hilirisasi ini memang terkesan ambigu. pasalnya di antara kementerian terkait pun seperti tak ada saling satu suara. Kemenperin boleh saja meradang dengan rencana relaksasi. Sebaliknya, Kementerian Koordinator Maritim dan Sumber Daya justru mendukung langkah Kementerian ESDM.

Menteri Koordinator Maritim dan Sumber Daya Rizal Ramli mengatakan, aturan larangan ekspor bahan mentah tambang tersebut perlu dikaji kembali. "Itu UU (Minerba) saya kira memang agak berlebihan dan tergesa-gesa. Karena itu wajibkan semua perusahaan tambang bangun smelter, padahal bangun smelter kan mahal yang nilainya US$ 1-1,5 miliar," jelas Rizal beberapa waktu lalu.

Pemaksaan pembangunan smelter ini, kata Rizal, membuat banyak perusahaan tambang mengalami kesulitan finansial karena dilarang mengekspor. Di sisi lain perusahaan tak bisa membangun smelter, karena modal dan skala produksinya tak mencukupi untuk kelayakan smelter.

"Jadi jelas banyak miner (perusahaan tambang) nggak mampu bangun smelter. Karena nggak bisa penuhi skala produksi minimum. Nggak masuk hitungan," terangnya.

Rizal mengungkapkan, sampai saat ini pun baru 7 perusahaan tambang skala raksasa yang memenuhi kewajiban pengolahan konsentrat tambang tersebut. "Makanya kan dari seluruh penambang hanya ada 7 saja yang segera melaksanakan. Yang lain imposible bangun, hanya yang besar-besar saja, termasuk salah satunya Freeport, artinya perlu di-review lagi," pungkasnya.

Sementara itu, Kepala Pusat Komunikasi Publik Kementerian ESDM Sujatmiko mengakui revisi UU Minerba bakal menguntungkan perusahaan-perusahaan tambang besar yang belum menjalankan kewajiban membangun smelter. Tetapi, dia membantah revisi UU Minerba dilakukan untuk membuka keran ekspor mineral mentah demi "memanjakan" beberapa perusahaan besar seperti Freeport dan Newmont semata.

Menurut dia, revisi UU Minerba akan menguntungkan semua perusahaan tambang. "Iya, intinya pemerintah tidak spesifik membuat aturan untuk 1-2 perusahaan, tapi yang universal yang berlaku untuk semua perusahaan," katanya.

Lalu bagaimana dengan perusahaan-perusahaan tambang yang sudah susah payah memenuhi kewajiban pembangunan smelter sesuai UU Minerba? Sujatmiko mengatakan, bagi perusahaan yang sudah membangun smelter tidak akan dirugikan.

"Perusahaan-perusahaan itu juga diizinkan mengekspor mineral mentah, dan memperoleh keuntungan besar dari hasil penjualan mineral yang telah dimurnikan," katanya.

Namun demikian ia menjelaskan, wacana memberikan kelonggaran ekspor bahan mentah masih dikaji. Misalnya bentuk pelonggaran ekspor apa yang akan diberikan, teknis pelaksanaannya, dan seberapa besar pelonggarannya.

"Intinya pemerintah ingin membuat ekspor mineral mentah dimungkinkan pembatasannya lebih fleksibel dibanding UU Minerba," ujarnya. (dtc)

BACA JUGA: