JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pemerintah memperlakukan PT Freeport Indonesia dengan istimewa agar perusahaan asal Amerika Serikat itu tetap berinvestasi dan melanjutkan kegiatan ekplorasi tambang emas di Papua. Bahkan pemerintah dalam hal ini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral rela mengubah aturan agar tujuannya tercapai.

Sebelumnya diam-diam pemerintah Indonesia mengeluarkan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) kepada Freeport pada 10 Februari lalu dan terungkap ke publik baru-baru ini. Poin pentingnya perusahaan tambang ini dapat kembali menggunakan Kontrak Karya mereka yang berlaku hingga 2021 jika tidak mendapat kesepakatan dengan pemerintah mengenai IUPK dalam delapan bulan sejak IUPK dikeluarkan Februari lalu.

Staf Khusus Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Hadi M. Djuraid mengatakan, terkait pemberian IUPK sementara selama delapan bulan itu, bukan berarti pemerintah melunak kepada Freeport. Hadi mengatakan, Kementerian ESDM mengacu dan berpedoman pada Undang-Undang (UU) Nomor 4 tahun 2009 dan Peraturan Pemerintah Nomor 1 tahun 2017.

Atas dasar itu, lanjut Hadi, posisi dan sikap Kementerian ESDM adalah menggunakan perundingan untuk memastikan Freeport Indonesia mengubah Kontrak Karya (KK) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) Operasi Produksi, membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter), dan divestasi saham hingga 51%. "Tiga poin tersebut tidak bisa ditawar dan dinegosiasi. Yang bisa dirundingkan adalah bagaimana implementasinya," tegas Hadi, dalam pernyataan tertulis yang diterima gresnews.com, Kamis (6/4) lalu.

Langkah pemerintah tersebut diatas tak memiliki dasar hukum yang kuat. Lantaran seolah Freeport memiliki kontrak ganda dan bisa bolak balik mengganti kontrak dari KK ke IUPK dan kembali ke KK. Menyadari ketiadaan dasar hukum inilah Menteri ESDM segera melakukan revisi Peraturan Menteri ESDM Nomor 05 Tahun 2017 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral di Dalam Negeri (Permen ESDM 05/2017).

Revisi atas Permen ESDM 05/2017, yaitu Peraturan Menteri ESDM Nomor 28 Tahun 2017 (Permen ESDM 28/2017) ditandatangani Jonan pada 30 Maret 2017 dan mulai diundangkan oleh Kemenkum HAM pada 31 Maret 2017.

Yang direvisi oleh Jonan melalui penerbitan Permen ESDM 28/2017 ini hanya 1 pasal di Permen ESDM 05/2017, yaitu pasal 19.

Pasal 19 ayat 2b di beleid baru ini memberikan kewenangan pada Menteri ESDM untuk memberikan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) Operasi Produksi yang berlaku selama waktu tertentu dalam rangka penyesuaian kelanjutan operasi.

Kemudian di Pasal 19 ayat 5, disebutkan bahwa KK tetap berlaku meski perusahaan tambang sudah mengantongi IUPK untuk jangka waktu tertentu. Di Pasal 19 ayat 7, jika ternyata perusahaan tambang tak puas dengan IUPK, tak menemukan penyelesaian dengan pemerintah dan memutuskan tak mau menyesuaikan diri menjadi IUPK, maka perusahaan tersebut boleh kembali ke KK.

Sebelumnya di Permen ESDM 05/2017, perusahaan tambang pemegang Kontrak Karya (KK) yang ingin mendapat izin ekspor konsentrat harus mengubah status kontraknya menjadi IUPK Operasi Produksi. KK harus dilepas, IUPK berlaku sampai berakhirnya jangka waktu KK.

Permen ESDM 05/2017 juga mewajibkan perusahaan tambang melepas KK ketika sudah memegang IUPK. Dengan demikian KK dianggap berakhir ketika sudah menjadi pemegang IUPK. Tak ada juga aturan yang memungkinkan untuk kembali menjadi pemegang KK.

Perubahan aturan ini memberi payung hukum pada Jonan untuk memberikan IUPK yang masa berlakunya hanya 8 bulan dari 10 Februari 2017 sampai 10 Oktober 2017 untuk PT Freeport Indonesia. KK Freeport juga tetap dihormati selama 8 bulan itu.

Jika dalam negosiasi selama 8 bulan itu Freeport dan pemerintah tak menemukan solusi yang memuaskan kedua pihak, Freeport boleh melepas kembali IUPK Operasi Produksi dan kembali menjadi pemegang KK murni.

SIKAP BERBEDA - Wajah berbeda dalam bernegosiasi ditunjukkan pemerintah ketika menghadapi masyarakat Papua yang kekayaan alamnya dikeruk Freeport. Permintaan agar masyarakat dilibatkan dalam perundingan dengan PT Freeport Indonesia tak digubris. Padahal perundingan yang diinginkan dalam kerangka penyelesaian menyeluruh bagi pemulihan lingkungan dan penyelesaian pelanggaran HAM akibat operasi PT Freeport Indonesia. Bukan hanya membahas pemenuhan kewajiban PP No 1 Tahun 2017.

Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Wahyu Wagiman menegaskan pemerintah Indonesia juga harus menyiapkan sumber-sumber penghidupan bagi masyarakat Timika pasca habisnya bahan-bahan minerba di wilayah operasi PT. Freeport, 10 atau mungkin 50 tahun mendatang.

"Pemanfaatan seluruh sumber daya alam yang berada di tanah Papua seharusnya dipergunakan bagi kesejahteraan dan peningkatan mutu kehidupan masyarakat Papua," katanya dalam siarn pers yang diterima gresnews.com.

Menurutnya Eksploitasi sumber daya alam yang dilakukan saat ini di tanah Papua juga harus mampu untuk mencadangkan sumber daya alam bagi generasi Papua mendatang. Hal ini harus menjadi perhatian serius, mengingat kesepakatan antaraPemerintah Indonesia dan PT Freeport Indonesia untuk melakukan negosiasi selama 6 (enam) bulan terkait pelaksanaan PP No 1 Tahun 2017 dilakukan tanpa partisipasi masyarakat Papua, khususnya masyarakat adat Amungme dan Kamoro yang selama ini terkena dampak langsung dari operasi PT Freeport Indonesia.

Menurutnya hal tersebut sangat ironis, mengingat sejak awal pemberian Kontrak Karya pertama oleh Soeharto kepada PT Freeport Indonesia, kedua masyarakat adat ini tidak pernah dilibatkan dalam penyerahan wilayah adat mereka.

Sejak dimulai penambangan secara resmi (1967), suku Amungme dan Kamoro telah kehilangan secara berturut-turut tanah ulayatnya seluas 100.000 hektare. Beberapa tahun kemudian, antara 1983-1985, mereka kembali kehilangan tanah seluas 7.000 hektare untuk pendirian kota Timika. Kemudian, tanah seluas 25.000 hektare kembali “hilang” untuk pendirian kota Kuala Kencana, yang diresmikan Soeharto tahun 1997.

Suku Amungme bahkan kehilangan tanah seluas satu juta hektare untuk kepentingan para pendatang yang didatangkan dari luar Papua atas nama program transmigrasi. Setelah pengesahan kontrak karya Freeport tahun 1991, pemerintah Indonesia juga menyatakan persetujuannya untuk memberikan konsesi tanah untuk keperluan pertambangan kepada Freeport seluas 2,6 juta hektare. Hal ini mengakibatkan pemiskinan bagi masyarakat adat Amungme dan Kamoro.

Operasi PT Freeport Indonesia juga mengorbankan sejumlah sungai yang dijadikan lahan untuk membuang limbah beracun (merkuri dan sianida), yakni sungai Aghawagon, Otomona, Ajkwa, Minajerwi dan Aimone. Sungai Ajkwa di Mimika bahkan telah menjadi tempat pembuangan limbah tailing sejak 1998 lalu. Pencemaran air sungai oleh limbah PT Freeport Indonesia ini menyebabkan masyarakat Amungme dan Kamoro sulit mengakses air bersih.

Praktik perampasan tanah ulayat dan pencemaran lingkungan ini bukan tidak diketahui pemerintah Indonesia. Berbagai pelanggaran HAM dan kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh PT Freeport Indonesia tersebut bahkan berupaya ditutupi oleh pemerintah Indonesia di masa Orde Baru. Sebagai contoh, pada tahun 1995, OPIC (Overseas Private Investment Corporation) menyatakan PT Freeport Indonesia telah mencemari sungai di Papua dengan tailing yang mengandung asam dan racun. Para pejabat Indonesia di masa Orde Baru justru terlihat mendukung kepentingan PT Freeport Indonesia daripada kondisi lingkungan di Papua. Mereka beralasan bahwa PT Freeport Indonesia merupakan perusahaan yang sangat penting bagi bangsa Indonesia karena telah menanamkan investasi besar dan berkontribusi bagi pendapatan negara.

Padahal kontribusi PT Freeport Indonesia bagi pendapatan negara tidak seberapa dibandingkan dengan risiko kerja yang dihadapi buruh dan jumlah korban selama beroperasinya PT. Freeport Indonesia. Pada 2013, 38 pekerja tertimbun reruntuhan terowongan Big Gossan, 28 pekerja tewas. Sebelumnya pada 2003, 8 pekerja tewas dan 5 luka-luka akibat longsor di Grasberg.

Belum lagi peristiwa penembakan hingga menewaskan pekerja Freeport dan masyarakat sekitar yang terjadi sejak 2009. Di tahun 2009, tercatat terjadi 12 kali penembakan yang mengakibatkan 7 orang pekerja tewas dan 10 orang pekerja mengalami luka-luka. Sementara tahun 2010, seorang pekerja tewas dan 3 lainnya mengalami luka-luka setelah diberondong tembakan oleh aparat keamanan ketika terjadi aksi mogok kerja.

Di tahun 2011, terjadi 13 kali peristiwa penembakan yang mengakibatkan 10 orang tewas dan 6 orang mengalami luka-luka. Tahun 2012, 2 orang pekerja Freeport kembali tewas akibat peristiwa penembakan misterius. Di tahun 2013, terjadi 5 peristiwa penembakan di mana korbannya terdapat 1 orang tewas dan 1 orang menderita luka-luka. Di tahun 2014 terjadi 1 kali penembakan yang mengakibatkan 1 orang menderita luka-luka. Sedangkan di tahun 2015, terjadi penembakan yang mengakibatkan 3 orang tewas.

Di tahun 1996, majalah Multinational Monitor melaporkan bahwa Freeport termasuk dalam 10 perusahaan multinasional terburuk di dunia. Dalam penyelidikannya, Multinational Monitor menegaskan "Freeport telah mengoloni Papua, di mana ia menguras, mengeksplorasi dan mengeksploitasi sekitar 2,6 juta hektare lahan, mengoperasikan dan mempunyai hak atas tambang emas terbesar di dunia, dan tambang tembaga terbesar di dunia. Di lain pihak, pemerintah Indonesia yang masih di bawah kediktatoran Soeharto hanya mengontrol Freeport dengan mendapatkan pembayaran pajak sebesar sembilan persen".

Berbagai peristiwa yang terjadi seiring dengan beroperasinya PT Freeport Indonesia tentu saja tidak hanya bisa diselesaikan dengan prasyarat yang tertera dalam PP No 1 Tahun 2017 saja. Tetapi juga harus mempertimbangkan aspek lingkungan dan hak asasi manusia sebagai bagian integral dalam negoisasi Pemerintah Indonesia dan PT Freeport Indonesia. (dtc)

 

BACA JUGA: