JAKARTA, GRESNEWS.COM -  Pernyataan PT Pertamina (Persero) yang mengaku tak sanggup mengelola ladang minyak dan gas bumi di Blok Mahakam, mengundang tanda tanya besar. Ketua Umum Solidaritas Pensiunan Karyawan Pertamina (eSPeKaPe) Binsar Effendi Hutabarat mengatakan, Pertamina memiliki cukup kemampuan dan pengalaman untuk mengelola Blok Mahakam.

Karena itu, kata dia, seharusnya Blok Mahakam bisa dikelola 100 persen oleh Pertamina pasca berakhirnya kontrak Total E&P Indonesie dan Inpex Corporation asal Jepang pada tahun 2017. Penguasaan Blok Mahakam oleh perusahaan asing tersebut, kata Binsar, selama ini tak membawa kesejahteraan kepada masyarakat di sekitar Blok Mahakam.

"Kedua perusahaan migas asing itu menguras habis isi perut migas di Blok Mahakam. Mereka itu sudah sangat kenyang, sementara lihat saja penduduk Sanipah yang dekat anjungan Blok Mahakam. Listrik pun sulit didapat," ungkap Binsar Effendi dalam keterangan tertulis yang diterima gresnews.com, Minggu (27/9).
 
Binsar menegaskan, Pertamina sudah berpengalaman dalam mengerjakan kegiatan usaha hulu. Belakangan Blok ONJW  (Offshore North West Java) berhasil diproduksi bagus setelah diakuisisi dari British Petroleum (BP), dan Blok WMO (West Madura Offshore) yang lebih sulit dari Blok Mahakam juga berhasil mendongkrak lifting minyak dan gas bumi (migas) setelah diakuisisi dari Kodeco.

"Kenapa kita tidak percaya kepada Pertamina yang milik negeri kita sendiri, dan yang seratus persen sahamnya dimiliki Pemerintah. Ini kan pembodohan publik," ujar Binsar.

Sudah sejak tahun 2008, kata Binsar, Pertamina, sesuai aturan kontrak bagi hasil atau Production Sharing Contract (PSC), telah menyampaikan minatnya untuk mengelola sepenuhnya Blok Mahakam pasca habis kontrak tahun 2017. Dan pada akhir 2014 pun, Pertamina sudah menyeerahkan proposal kesanggupan dan kemampuannya untuk sepenuhnya menjadi operator Blok Mahakam.
 
"Baik Dirut Pertamina Bu Karen Agustiawan di tahun 2008 maupun Plt Dirut Pak Husen di tahun 2014, itu sama-sama selaku mantan Direktur Hulu Pertamina. Sangat tidak mungkinlah kedua pejabat tinggi Pertamina itu asal minta tanpa ada dasar dan tidak menghitung untung ruginya lebih dulu," ujar Binsar.
 
Karena itulah, kata dia, pihak eSPeKaPe menyayangkan pernyataan Direktur Hulu Pertamina Syamsu Alam yang mengakui Pertamina tak bisa mengelola Blok Mahakam sendirian dan Pertamina pun kini berharap bantuan Total E&P. "Padahal sebelumnya, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Migas Indonesia (KSPMI) Faisal Yusra bilang dari segi teknomik, Pertamina memang sangat sanggup mengelola Blok Mahakam secara mandiri tanpa perlu menggandeng Total E&P dan Inpex. Apalagi sebagian besar proses pengelolaan gas di Blok Mahakam sudah ditangani oleh Pertamina, seperti sektor hilirnya di PT Badak. Artinya jika para pekerjanya saja menyatakan sanggup, kenapa Syamsurl Alam mengambil sikap ragu-ragu?" tanyanya.
 
Tak hanya dari segi teknologi, Pertamina pun dinilai sanggup dari sisi pendanaan. "Dari sisi pendanaan, Pertamina sanggup berinvestasi untuk mengelola Blok Mahakam tanpa bantuan perusahaan asing. Apalagi Blok Mahakam sudah berproduksi. Pertamina hanya butuh Rp 2 triliun dan tidak masalah, karena dapatnya Rp 3 triliun. Jadi masalah pendanaan tidak menjadi hal krusial, karena bukan proyek baru," tandas Binsar Effendi.
 
RISIKO TINGGI - Sebelumnya dalam dalam rapat dengar pendapat Direksi Pertamina dan Dirjen Migas, BPH Migas dengan Komisi VII DPR, Selasa (1/9), Direktur Hulu Pertamina, Syamsu Alam memang menyatakan, perusahaan migas pelat merah itu tak sanggup mengelola Blok Mahakam. Alasannya, meskipun cadangan minyak dan gas bumi di blok tersebut masih terbilang cukup banyak, tapi risiko kegagalannya cukup tinggi.

"Kita sudah pelajari operasionalnya, karena risikonya tinggi sekali. Kami optimis tapi sangat berisiko kalau tiba-tiba sendirian di sana dan tanpa pemikiran berkelanjutan yang panjang," kata Syamsu.

Melihat besarnya risiko tersebut, pemerintah mengizinkan agar pengelolaan Blok Mahakam juga menggandeng perusahaan lainnya terutama perusahaan yang berpengalaman mengelola Blok Mahakam, yakni Total E&P Indonesie dan Inpex Corporation.

"Pemerintah izinkan kita boleh lakukan share. Itu juga atas pertimbangan kami bisa menjaga operasional. Bukan sanggup tak sanggup, tapi kurangi risiko saja. Apabila ada gangguan itu bisa dikurangi. Kami lihatnya kami ingin sharing risk. Karena di negara manapun, nggak mungkin ambil semua risiko besar sendirian dalam operasi migas. Bukan tak sanggup, tapi kurangi risiko gangguan operasional," jelas Syamsu.

Direktur Utama Pertamina Dwi Soetjipto menambahkan pemerintah memang telah memberikan 100% pengelolaan Blok Mahakam kepada Pertamina, tapi karena pertimbangan risiko yang cukup besar tersebut, pihaknya memberikan 30% saham ke perusahaan lain. "100% Pertamina, dan dikasih 30% buat sharing, itu maksimal ya," tutup Dwi.

Pemerintah sendiri telah memutuskan mulai 1 Januari 2018, Blok Mahakam akan kelola oleh Pertamina dengan porsi saham 70%, sedangkan sisa saham 30% diberika kepada Total E&P Indonesie dan Inpex Corporation. Pertamina dinilai masih memerlukan campur tangan mantan pengelola Blok Mahakam itu lantaran selain alasan risiko juga terkait soal pendanaan.

Pertamina harus menyiapkan dana sebesar US$2 miliar atau sekitar Rp28 triliun setiap tahun, untuk belanja modal (capital expenditure/capex) dan biaya operasional (operational expenditure/opex) di blok ini. Satuan Kerja Khusus Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) meragukan Pertamina dapat menggelontorkan dana sebesar itu.

"Dalam 1 tahun ada capex dan opex yang harus dikeluarkan (untuk mengelola Blok Mahakam). Saat ini investasinya US$ 1-2 miliar. Untuk operasinya saja US$ 700 juta-1 miliar harus disiapkan. Sekarang cash flow Pertamina seperti apa?" ujar Kepala Bagian Humas SKK Migas, Elan Biantoro, dalam Media Gathering Total E&P di Hotel Aston, Bogor, Sabtu (5/9) lalu.

Di sisi lain, pengoperasian Blok Mahakam amat rumit, butuh keahlian dan presisi yang sangat tinggi. "Yang jelas operasionalnya sulit, platform-platformnya tidak sederhana, subsurface di sana juga tidak sederhana. Resolusi seismiknya harus bagus," ujarnya.

Elan mengingatkan, Pertamina memiliki banyak catatan kegagalan dalam mengelola blok lepas pantai di samping kisah sukses di Blok ONWJ. Misalnya di Blok DOB dan Blok WMO, Pertamina gagal mempertahankan tingkat produksi migas. Produksi di blok-blok tersebut langsung anjlok begitu diserahkan kepada Pertamina.

"Pertamina pernah punya success story untuk ONWJ. Tapi ingat kasus DOB di Riau, dulu dipegang Chevron produksinya 50.000 barel per hari, sekarang cuma 15.000 barel per hari. Kemudian WMO, waktu dipegang Kodeco produksinya 30.000 barel per hari, sempat jatuh sampai 11.000 barel per hari, sekarang mengangkat sampai 20.000 barel per hari saja susah payah," Elan menuturkan.

Karena itu, menurutnya, Pertamina wajib menggandeng Total dalam pengelolaan Blok Mahakam untuk mempertahankan tingkat produksi yang saat ini 1,7 billion cubic feet per day (bcfd) untuk gas bumi, dan 64.000 barel minyak per hari. "Jadi 70 persen (kepemilikan saham Pertamina di Blok Mahakam) angka yang bagus menurut saya, masih ada 30 persen Total di situ," tutupnya.

Elan mengatakan, SKK Migas tak ingin Blok Mahakam bernasib sama dengan Blok DOB di Riau dan Blok WMO di Selat Madura. Apalagi, Blok Mahakam adalah ladang gas bumi terbesar di Indonesia. Jika Pertamina gagal mempertahankan produksinya, bukan saja penerimaan negara jatuh, tapi juga kebutuhan gas di dalam negeri bisa tak terpenuhi.

"Mau seperti itu 1,7 bcfd di Mahakam yang merupakan penyangga gas terbesar nasional? Belum lagi minyaknya 64.000 barel per hari. Kalau tiba-tiba drop, pemasukan negara dan pasokan energi berkurang," tandasnya.

"Apalagi kita masih punya komitmen penjualan kargo LNG ke Western Buyer sampai 2022. Begitu LNG tidak terkirim, negara kita kena penalti oleh si pembeli, kerugian lagi," dia melanjutkan.

Karena itu, Elan mendesak Pertamina segera menggandeng Total untuk mengelola Blok Mahakam. "Harus ada soft landing, harus ada yang mendampingi. Kita sangat memihak Pertamina untuk bisa maju berkembang, tapi bukan dari nol jadi 100, harus ada proses learning," tutupnya.

TOTAL MASIH BERMINAT - Terkait ajakan Pertamina mengelola Blok Mahakam bersama-sama ini sendiri, Total mengaku berminat untuk itu. Apalagi Pemerintah juga menawarkan Total atau kontraktor lain dengan Participating Interest (PI) hingga 30%.

Vice President HR Communications General Services Total E&P Indonesie, Arividya Noviyanto mengungkapkan, bahwa Blok Mahakam masih tetap merupakan ´ladang uang´ yang besar di usianya yang hampir setengah abad sehingga Total masih ingin ikut mengelolanya.

"Namanya perusahaan kalau ada nilai ekonominya pasti berminat. Memang kalau dibandingkan Mahakam saat peak (puncak produksi) sudah jauh di bawahnya, tapi bukan berarti dia jadi small asset, masih lumayan lah. Tentunya ada nilai ekonominya," kata Noviyanto saat Media Gathering di Hotel Aston, Bogor, Jumat (4/9).

Dia menambahkan, Blok Mahakam juga memiliki nilai historis bagi Total. Sebab, Total sudah menggenggam ladang migas ini sejak era 1970-an atau lebih dari 30 tahun lalu. "Ada nilai historinya juga, Total beroperasi di Blok Mahakam dari tahun 1970-an di Mahakam. Kalau tiba-tiba kabur rasanya sayang," ucapnya.

Selain itu, menurutnya, operasi Blok Mahakam memiliki tingkat kesulitan dan resiko yang amat tinggi. Dirinya tak yakin Pertamina atau kontraktor lain mampu mengelolanya dengan baik. "Di sisi lain kita juga tau kompleksitas Blok Mahakam sehingga kita berminat untuk melanjutkan," tegas Noviyanto.

Karena itu, pihaknya berharap pemerintah dan Pertamina dapat menawarkan kontrak yang cukup menguntungkan sehingga Total dapat melanjutkan kiprahnya di Blok Mahakam. "Mudah-mudahan sih kita ikut. Kita berharap mendapatkan kontrak yang baik," ujarnya.

Hanya saja, Total memberikan beberapa syarat untuk kembali bekerjasama dengan Pertamina. Arividya Noviyanto menyatakan, bahwa pihaknya menginginkan adanya kenaikan bagian minyak dan gas bumi yang diterima oleh Total dalam Production Sharing Contract (PSC).

Dalam PSC saat ini, Total mendapatkan bagian 15% produksi minyak bumi dan 30% produksi gas bumi dari Blok Mahakam, sedangkan negara mendapat 85% bagian minyak bumi dan 70% untuk gas bumi. Jika dilibatkan lagi pada 2018 nanti, Total meminta bagiannya lebih tinggi baik untuk minyak maupun gas.

"Kita berharap lebih baik dari PSC Mahakam yang sekarang. Kalau sekarang kan 85:15 (untuk minyak bumi), kalau gas 70:30, jadi kita minta di atas itu," ungkap Noviyanto.

Selain itu, Total juga meminta kenaikan harga untuk minyak dan gas bumi yang dialokasikan untuk pasar di dalam negeri atau Domestic Market Obligation (DMO). Menurutnya, harga minyak dan gas untuk DMO saat ini terlalu murah. Noviyanto mengatakan, idealnya harga minyak untuk DMO adalah 25% dari Indonesia Crude Price (ICP), sementara saat ini cuma US$ 20 sen per barel.

"DMO price sekarang US$ 20 sen per barel harus diinaikin. Kalau kontrak baru (idealnya) 25% dari ICP. US$ 20 sen itu kan harga minyak zaman Orba (Orde Baru)," katanya.

Novianto mengatakan, bila tawaran yang disodorkan Pertamina dan pemerintah cukup menggiurkan dan ekonomis, barulah Total bersedia bekerja sama dengan Pertamina untuk mencari solusi menekan decline rate (tingkat penurunan) produksi migas di Blok Mahakam yang sudah sangat tua.

"Kita akan bantu pemerintah, diskusi dengan Pertamina cari solusi supaya produksi Mahakam baik. Selama ini kita good intention, bukan kabur, kita nggak seperti itu. Kita lakukan sesuai yang (dengan kewajiban) kita lakukan," pungkasnya. (dtc)

BACA JUGA: