JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) dinilai telah melakukan politik transaksional dengan mengangkat beberapa kader partai dan sebagian relawannya sebagai komisaris di BUMN. Kebijakan ini dinilai akan merugikan BUMN dan berpotensi menjadikan BUMN sebagai ´sapi perah´ partai politik.

Terkait masalah ini, Kementerian BUMN menegaskan, penempatan orang-orang partai dan orang-orang yang dekat dengan kekuasaan sebagai komisaris BUMN tidak bakal membuat BUMN jadi sapi perah parpol. Alasannya, direksi BUMN memiliki kemerdekaannya sendiri untuk menolak saran komisaris jika dinilai bakal merugikan perusahaan.

"Direksi memiliki kemerdekaan dalam mengambil keputusan jika komisaris diduga memberikan masukan yang berhubungan dengan partai politik," kata Kepala Biro Hukum Kementerian BUMN Hamra Samal di Jakarta, Kamis (26/3).

Hamra menjelaskan, secara garis besar fungsi dari komisaris BUMN diantaranya adalah melakukan pengawasan, memberikan nasehat kepada direksi, dan memberikan persetujuan jika menyangkut perbuatan hukum yang dilakukan perusahaan. Selain itu komisaris juga bertugas memberikan persetujuan terkait agenda Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).

Hamra setuju kebijakan komisaris memang dapat mempengaruhi kebijakan perusahaan, namun direksi bisa mengambil sikap berbeda atau tidak setuju jika kebijakan dari komisaris akan memberikan dampak buruk pada jangka panjang bagi perusahaan. Dia mencontohkan jika komisaris memberikan masukan yang diduga ada kepentingan partai politik maka direksi BUMN bisa mengambil sikap untuk menolak masukan dari komisaris tersebut.

Lagipula, komisaris dalam pengambilan kebijakan atau masukan tidak berlaku suara individu tetapi harus dilakukan secara kolektif. "Maka dari itu dalam susunan komisaris terdapat komisaris independen. Dimana fungsi komisaris independen tidak ada ketergantungan dengan pihak manapun," ujarnya menjelaskan.

Hanya saja, kata Hamra, untuk memastikan para komisaris ini bisa diawasi agar tidak menjadikan BUMN sebagai ´sapi perah´, tidak hanya dilakukan dari Kementerian BUMN saja. Kementerian BUMN pun, kata dia, perlu bantuan pengawasan dapat dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), audit internal perusahaan, bahkan media pun bisa mengawasi kinerja komisaris tersebut. "Jadi pengawasan bukan hanya kementerian saja. Tapi pihak-pihak lain juga bisa mengawasi," kata Hamra.

Pada kesempatan berbeda, pengamat kebijakan publik Sofyano Zakaria mengaku tidak mempermasalahkan adanya orang partai dalam jajaran komisaris atau direksi di BUMN, selama profesional dan memiliki kemampuan untuk menjalankan perusahaan. "Selama sistem perusahaan BUMN dirancang dengan baik, tentunya orang-orang titipan dari partai politik tidak dapat mempengaruhi kebijakan yang dibuat oleh perusahaan," ujarnya.

Menurutnya, pemberian kedudukan bagi tim sukses bagi partai pemenang sangatlah wajar dan hal itu pun juga terjadi di negara-negara manapun. Hal itu dilakukan untuk memperkuat kedudukan presiden dari partai pemenang. Apalagi tidak ada undang-undang yang melarang orang partai politik menjabat sebagai komisaris atau direksi di perusahaan BUMN.

"Sepanjang undang-undang tidak mengatur, orang partai tidak masalah. Asal jangan salah menempatkan orang, masa kapten kapal jadi komisaris bank," kata Sofyano.

Sejumlah nama dari partai politik, politisi dan tim sukses Jokowi memang ditempatkan dalam jajaran komisaris perbankan BUMN. Diantaranya adalah politisi PDIP Cahaya Dwi Rembulan Sinaga (Komisaris Bank Mandiri), mantan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Rizal Ramli (Komisaris Utama Bank BNI), politisi PDIP Pataniari Siahaan (Komisaris Bank BNI), dan Sony Keraf (fungsionaris PDIP menjabat sebagai Komisaris BRI), kemudian juga ada nama Sukardi Rinakit, anggota tim sukses Jokowi yang menjabat sebagai Komisaris Utama BTN.

BACA JUGA: