JAKARTA, GRESNEWS.COM - Gejolak harga minyak dunia dalam lima tahun terakhir ini seperti roller coaster, sempat naik tinggi di pertengahan 2014 lalu, hingga lebih dari US$ 100 per barel, dan kini tiba-tiba terjun bebas hingga US$ 50 per barel. Tentu kita ingat betapa repotnya pemerintah mengatur anggaran saat minyak menjulang namun begitu harga turun pemerintah juga pusing lantaran penerimaan migas turun drastis.

Gonjang-ganjing harga minyak makin kentara setelah pemerintah Joko Widodo (Jokowi) mencabut subsidi premium per 1 Januari 2015. Stabilitas harga minyak kini jadi ancaman bila pemerintah gagal menjaganya. Dampak yang paling nyata seperti disampaikan Menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said yang menyebutkan kerugian PT Pertamina (Persero) hingga Rp 12 triliun dari penjualan Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis premium dan solar, karena harga BBM yang ditetapkan pemerintah di bawah harga keekonomian.

Atas pengalaman ini, pemerintah melontarkan ide ke publik, akan dibuat Dana Stabilitas BBM untuk mengatasi naik turunnya harga ke depannya. Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM IGN Wiratmaja Puja sebelumnya juga mengatakan bahwa Pemerintah berencana membentuk Petroleum Fund di tahun 2016. Di sektor hulu migas, dana ini bisa dimanfaatkan untuk survei dan kegiatan eksplorasi migas. Sedangkan di sektor hilir, bisa digunakan untuk menutupi jarak harga. Yaitu saat harga BBM dijual di bawah harga keekonomian untuk menjaga stabilitas harga.

Dikonfirmasi mengenai hal ini, Direktur Pembinaan Migas, Dirjen Migas Kementerian ESDM Agus Cahyono Adi membenarkan bahwa ke depan rencananya akan ada Dana Stabilitas BBM. Dana ini merupakan bagian dari Petroleum Fund yang dialokasikan untuk sektor hilir. "Iya (dana stabilitas) masuknya itu, Petroleum Fund. Bagian dari itu," katanya kepada gresnews.com, Senin (27/7).

Secara umum, konsep Dana Stabilitas BBM ini mirip tabungan. Tabungan ini digunakan untuk menjaga agar harga BBM berada stabil pada batasan tertentu sesuai dengan kemampuan dan daya beli masyarakat. Tidak terlalu rendah dan tidak terlalu mahal. Bila harga minyak dunia sedang rendah maka masyarakat akan menabung. Tabungan tersebut kemudian dipakai saat harga minyak dunia tinggi.

Pemerintah, menurut Agus, saat ini sedang mengkaji konsep yang  sesuai terkait dengan terkait Dana Stabilitas BBM dan Petroleum Fund ini. Pemerintah juga harus membicarakannya dengan DPR untuk meminta persetujuannya. "Mekanismenya juga lagi dicari yang pas. Itu kan juga mengenai penggunaan anggaran, kan harus ngobrol dengan DPR," ujarnya.

Karena perlu meminta persetujuan DPR, konsep ini baru akan dapat dilaksanakan di tahun 2016. "Iya. Tapi untuk tahun ini kan kita juga harus jaga," katanya.

TERLAMBAT? - Pengamat Energi Prima Mulyasari Agustini menyayangkan kenapa baru saat ini pemerintah Indonesia menggagas Petroleum Fund ini. Sejatinya kondisi Indonesia sedang krisis energi lantaran kini menjadi net importer minyak. Selain itu, kebutuhan akan energi terus meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk.

"Padahal dulu pas masanya (minyak Indonesia) lagi booming ya, pas tahun 70-80 an itu justru ide ini nggak ada. Sekarang sudah mulai habis, baru ide ini muncul," katanya kepada gresnews.com, Senin (27/7).

Menurut Prima, Petroleum Fund sudah banyak dijalankan oleh negara-negara maju. Di tingkat Asia, negara-negara yang sudah mempunyai dana talangan minyak ini antara lain Singapura, Malaysia dan Brunei Darussalam. "Mereka angkanya mungkin sudah sampai US$ 30 miliaran kali ya. Kalau Norwergia yang paling besar, sudah sampai US$ 850 miliar," ujar Prima yang menjabat Direktur Eksekutif Center for Energy and Strategic Resources (Cesri) itu.

Kendati terlambat, rencana pembentukan dana ini, menurut Prima, merupakan langkah tepat dari pada tidak sama sekali. Ia menilai saat ini, kalau melihat tren, Indonesia masih menjadi penghasil gas  yang dapat dijadikan sumber pasokan dana Petroleum Fund. Prima mengatakan, di beberapa negara Petroleum Fund itu diambil dari pendapatan negara bukan pajak. Uang itu kemudian disisihkan dan disimpan.  

Di Indonesia, menurutnya, saat ini ada sekitar Rp 330 triliun pendapatan negara bukan pajak. Dari jumlah itu, Indonesia mungkin bisa menyisihkan sekitar Rp 16 triliun untuk dimasukkan ke Petroleum Fund.  Dalam 10 tahun Indonesia bisa mempunyai Rp 160 triliun. "Masak sih Indonesia nggak bisa nyisihin. Apalagi kalau misalnya kita pengelolaan tata kelola migasnya bagus, akan lebih baik dong bisa disimpan uangnya," katanya.

Di negara-negara maju, dana ini digunakan untuk semua kegiatan migas, baik di sektor hulu dan hilir migas. Di sektor hulu, dana ini bisa digunakan untuk investasi pengembangan sektor hulu di dalam negeri, ataupun ekspansi ke luar negeri.  Hal itu misalnya telah dilaksanakan oleh Arab Saudi dan Norwergia. Di sektor hilir, dana ini bisa digunakan untuk melakukan intervensi harga jual BBM seperti saat ini, untuk menstabilkan harga.

Prima mengingatkan, pengelolaan dana ini harus mengedepankan kepentingan rakyat. Di beberapa negara, seperti di Norwergia, dana ini dikelola oleh parlemen dan bank sentralnya. Untuk Indonesia, dana ini bisa dikelola oleh Kementerian Keuangan, Bank Indonesia (BI) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Harus ada sinergitas di antara ketiganya. "Jadi ada mekanisme regulasinya, pengawasannya juga. Yang ngeluarin kan Kementerian Keuangan dan operasionalnya ada di BI," kata Prima.

JANGAN BEBANI PERTAMINA - Terkait dengan pengelolaan dana ini, Prima mengatakan bahwa sebaiknya uang tidak dimasukkan atau dikelola oleh Pertamina. Sebab, Pertamina adalah badan usaha yang harus mengembangkan usahanya. "Kalau saya berpikirnya kasihan juga Pertamina. Karena kan dia posisinya sebenarnya adalah national oil company, yang harus ngejar profit. Bagaimana dia bisa ekspansi, kalau harus dibebani lagi dengan tugas mengatur hal-hal yang seperti ini. Kapan dia bisa lari. Karena bebannya akan semakin berat. Belum subsidi yang lain kan di dia juga bertumpunya,” katanya.

Prima malah menyarankan pemerintah membuat lembaga baru yang tugasnya menyalurkan subsidi. Dengan begitu, tidak akan tercampur. Antara tugas menyalurkan subsidi dan tugas badan usaha, seperti yang terjadi pada Pertamina saat ini. Subsidi dikelola lembaga khusus, sedangkan Pertamina menjual BBM sesuai harga keekonomian. Lembaga khusus ini bisa menjual BBM dengan harga di bawah harga keekonomian.

"Ada yang katakanlah gratis atau harganya lebih rendah dari harga keekonomian Karena kalau dicampur, ya dari dulu kan casenya seperti ini. Dan menurut saya kurang akuntabel, kurang transparan jadinya. Kan kalau misalnya dipisah, menjadi (ada) lembaga filantropi yang lain kan masyarakat juga gampang kan melihatnya, bahwa saya ini berhak atau nggak sih terhadap subsidi," katanya.

Selama ini Pertamina lah yang mengemban tugas penyaluran BBM bersubdisi alias public service obligation (PSO) ke seluruh pelosok Indonesia.  Selama empat tahun terakhir Pertamina terus merugi dalam penyaluran BBM bersubsidi walaupun sudah melakukan beberapa upaya untuk menekan kerugian.

Kerugian Pertamina mencapai Rp 970 miliar pada 2011, sementara pada 2012 kerugian mencapai Rp 842 miliar. Pertamina kembali merugi pada 2013 sebesar Rp 331 miliar dan diprediksi mengalami kerugian pada tahun berjalan ini.

TAK BEDA DENGAN SUBSIDI - Tak semua sepakat dengan rencana pemerintah membuat Dana Stabilitas BBM, yang merupakan bagian dari  Petroleum Fund. Pengamat energi Komaidi Notonegoro mengatakan dari pada membuat Petroleum Fund lebih baik harga BBM dilepaskan ke mekanisme pasar secara bertahap. Sebab, bila ada Petroleum Fund sejatinya ada dana yang tidak bisa dialokasikan atau terserap untuk kegiatan lain. "Yang semestinya katakanlah bisa lebih produktif," ujar Komaidi.

Selain itu, jika Petroleum Fund dibuat untuk menjaga stabilitas harga minyak dunia maka itu hampir tidak memungkinkan. Sebab, ke depan sekitar 60-70 persen kebutuhan BBM Indonesia dipenuhi dengan impor. Sedangkan Indonesia adalah pemain kecil di minyak dunia. Cadangan minyak Indonesia hanya dua  persen dari cadangan dunia. Oleh karena itu niatan Indonesia untuk mengintervensi pasar hampir tidak mungkin dilakukan.

"Menstabilkan harga kan sama dengan kita mengintervensi pasar. Nanti kalau harga bergejolak kita harus menggerojok dengan dana yang banyak. Ini kan sama dengan mekanisme subsidi, tetapi tidak secara langsung tertuang dalam APBN, itu saja sebenarnya bedanya," kata Komaidi, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute itu.

Menurut Komaidi, intervensi masih memungkinkan hanya dalam batas tertentu, untuk meredam gejolak harga. Tentunya ada catatan, yaitu, intervensi hanya dilakukan dalam rangka proses transisi dari masyarakat yang biasa disubsidi, lalu akan dilepas ke mekanisme pasar. Melepasnya bertahap. Agar masyarakat tidak kaget, lepas 100 persen. Pelepasan bertahap ini termasuk di dalamnya perlu intervensi.

"Kalau seperti itu sih oke-oke saja. Tapi kalau kebijakan ini diberlakukan jangka panjang saya melihatnya tidak ada bedanya dengan kebijakan subsidi kemarin. Hanya saja kalau dulu disebut sebagai subsidi secara langsung di nota keuangan APBN. Sedangkan nanti, mungkin Petroleum Fund pengelolaannya katakanlah tidak di APBN,  tapi oleh Pertamina. Tapi konsepnya mirip mirip subsidi," katanya.

Menurut Komaidi, proses transisi itu bisa dilakukan. Meskipun, sebenarnya hasil akhirnya tidak mengedukasi masyarakat. Bahwa, energi itu harganya sudah harga pasar, dan Indonesia memang tidak punya sumber daya alam yang cukup untuk mencukupi kebutuhan sendiri. "Masyarakat nantinya menjadi tidak terbiasa dengan harga energi dunia yang memang nature-nya naik turun seperti itu," katanya.

Terkait jangka waktu proses transisi ini, menurut Komaidi tidak ada jangka waktu yang pasti. Tergantung kondisi makro ekonomi dan daya beli masyarakat.  Indikator-indikatornya melibatkan multisektor. Antara lain dengan mempertimbangan sektor energi, angka kemsikinann, pertumbuhan ekonomi, target penyerapan tenaga kerja dan lainnya. "Bisa lebih cepat dan bisa lebih lama, dan yang tahu pasti pemerintah," ujarnya.

BBM MENGIKUTI HARGA PASAR - Komaidi mengatakan sebaiknya harga BBM mengikuti harga pasar. Hal itu harus dibiasakan mengingat cadangan minyak Indonesia kecil. Sehingga jika masyarakat sudah biasa dengan harga pasar, nanti saat Indonesia sudah benar-benar tidak punya minyak lagi tidak kaget. "Jadi berapapun harga yang ada di pasar kita sudah terbiasa," katanya.

Komaidi melanjutkan, jika masyarakat dibiasakan dengan subsidi, maka ketika Indonesia kehabisan minyak dan kebutuhan 100 persen harus impor, masyarakat belum terbiasa.  Misalnya, harga keekonomian BBM Rp 30 ribu per liter namun dilepas ke masyarakat Rp 8 ribu per liter akan membuat gejolak ekonomi. APBN akan jebol. "Kalau toh nanti APBN tidak bisa mensubsidi, daya beli masyarakat akan terpuruk habis untuk sektor energi saja. Jadi harus dibiasakan," katanya.

Menurutnya, keuntungan lain jika masyarakat dibiasakan dengan harga pasar adalah mereka bisa mengontrol konsumsi minyak. Mereka menjadi tahu, mana  yang perlu dan mana yang tidak perlu. Tidak boros.

Pelepasan BBM ke harga keekonomian ini menurutnya tidak bertentangan dengan konsep produk yang menjadi hajat hidup orang banyak harus dikuasai negara. Sebab, negara masih menguasainya dengan mengatur dan menetapkan harga. Yaitu dengan mempertimbangkan daya beli masyarakat. "Jadi memang tidak ke mekanisme pasar 100 persen, tetapi ada kontrol pemerintah. Jadi bilamana perlu disubsidi, karena kalau ditetapkan 100 persen ke harga pasar katakanlah terlalu memberatkan, (maka) ya bisa diintervensi itu," katanya.  (Agus Hariyanto)

BACA JUGA: