JAKARTA, GRESNEWS.COM - Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) meminta agar operasional holding Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sektor energi nantinya diawasi pemerintah. Ketua KPPU Syarkawi Rauf mengatakan, operasional holding yang dibentuk dari penggabungan PT Pertamina Gas (Persero) dan PT Perusahaan Gas Negara (Persero) itu berpotensi menimbulkan monopoli distribusi gas.

Pasalnya, dengan penggabungan dua perusahaan negara di bidang energi itu, akan terjadi pula penyatuan aset bersama kedua perusahaan pelat merah tersebut. Jika itu terjadi, kata Syarkawi, holding BUMN berpeluang menjadi penguasa distribusi gas dan berpeluang untuk menentukan tarif, seperti dalam menetapkan tarif angkutan gas bumi (toll fee) dalam pipa di sistem open access yang dipunyai gabungan PGN dan Pertagas.

"Jadi kalau satu holding, misalkan ada perusahaan baru yang memegang kedua perusahaan ini, maka akan semakin menguasai pasar. Tetapi struktur pasarnya tidak akan sempurna, sebab ada penguasaan jaringan gas," kata Syarkawi di Jakarta, Selasa (27/9).

Meski begitu, Syarkawi mengatakan, KPPU mendukung pembentukan holding BUMN tersebut. Alasannya, saat ini memang sudah waktunya kepemilikan fasilitas pipa gas tersebut dikelola pemerintah melalui BUMN. Ditambah lagi, gas adalah komoditas yang mencakup hajat hidup orang banyak.

Syarkawi juga menyebutkan, sudah selayaknya seluruh pihak dapat memanfaatkan pipa-pipa gas BUMN, dengan memberikan upah jasa berupa toll fee. Tetapi potensi monopoli holding BUMN energi dapat berdampak pada penetapan toll fee secara sepihak. Akibatnya akan dapat merugikan bila toll fee dikenakan sangat tinggi.

Untuk mencegah terjadinya kerugian tersebut, maka pihaknya meminta agar pemerintah mengatur harga toll fee yang berlaku di pipa-pipa open access perusahaan bila holding BUMN telah dibentuk. Syarkawi menegaskan, setiap pihak boleh mengalirkan gasnya melalui jaringan pipa yang dimiliki pemerintah melewati BUMN, sehingga semua orang dapat memakainya hanya dengan syarat membayar toll fee.

"Guna menjaga sektor tersebut, pemerintah harus tetap konsisten menata industrinya, yakni dengan cara membuat regulasi yang kuat terkait beberapa toll fee yang semestinya dikenakan," jelasnya.

Adanya intervensi dari pemerintah dalam menetapkan harga, kata Syarkawi, adalah hal wajar yang juga terjadi di negara lain. Asal saja, tujuannya adalah untuk melindungi konsumen dari perilaku nakal badan usaha yang terindikasi melakukan monopoli.

"Maka pemerintah harus turun tangan, untuk mencegah adanya perusahaan yang monopoli. Selain itu, demi menata sektor gas ke depannya supaya permasalahan harga gas mahal tidak terjadi lagi," ujarnya.

Terkait hal ini, pengamat ekonomi dan energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Fahmi Radhi menilai, adanya ancaman monopoli distribusi gas dalam pembentukan holding BUMN energi menunjukkan, rencana itu seharusnya tidak dilanjutkan oleh pemerintah. Terlebih, selain ada potensi monopoli, juga karena konsep, tujuan dan prosesnya tidak jelas.

Dia menyebutkan, potensi monopoli distribusi gas akibat penggabungan PGN dan Pertagas memang tidak bisa dihindari. Tetapi itu termasuk natural monopoli. "Karena mereka sudah membangun pipa yang panjang. Sedangkan trader tidak bangun pipa, justru dapat jatah penyaluran. Namun karena tidak punya pipa, trader hanya berperan sebagai makelar yang menyebabkan harga gas mahal," kata Fahmi kepada gresnews.com, Rabu (28/9).

PENGAWASAN CUKUP KPPU - Terkait pengawasan, Fahmi mengatakan, terbentuknya natural monopoli akibat pembentukan holding BUMN energi memang perlu diawasi. "Tapi tidak usah dibentuk lembaga pengawas baru, serahkan pengawasan tersebut kepada KPPU," tegas Fahmi.

Hal senada juga disampaikan Ketua Umum Serikat Pekerja BUMN Strategis Wisnu Adhi Uryanto. Dia menilai, dalam mengawasi pembentukan holding BUMN energi hanya cukup melalui KPPU, sehingga tidak perlu adanya lembaga pengawasan khusus.

Namun, terkait dengan kekhawatiran terjadinya monopoli distribusi gas, menurutnya, perlu dipelajari benar nantinya prosès merger kedua BUMN energi itu. "Yang utamanya adalah status pipa-pipa tersebut dalam mergernya," kata Wisnu dalam pesan singkat, kepada gresnews.com, Rabu (28/9).

Seperti diketahui, panjang seluruh jaringan pipa gas di Indonesia mencapai 9.215,75 kilometer per Juli 2016. Dari jumlah itu, sebanyak 4.831,04 kilometer atau 52,42 persen, berstatus pipa gas open access. PGN mengoperasikan pipa open access sepanjang 1.038,4 kilometer atau 21,49 persen dari total panjang pipa open access.

Kemudian Pertagas mengoperasikan 48 persen dari total pipa open access atau sepanjang 2.342,14 km. Maka bila kedua BUMN disatukan, Pertagas dan PGN akan menguasai 69,97 persen jaringan pipa open access yang ada di seluruh Indonesia.

Sementara itu, terkait masalah penurunan harga gas, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan, hal itu bukan merupakan hal yang otomatis terjadi ketika holding BUMN energi dibentuk. Darmin menegaskan, holding BUMN energi antara Pertamina-PGN, tak lantas bisa membuat harga gas bisa otomatis turun.

Holding dan harga gas, menurut Darmin, merupakan dua hal berbeda. "Urusan harga gas lain lagi, bung. Itu bukan urusan holding, itu urusan harga gas," kata Darmin di kantornya, Jalan Lapangan Banteng, Jakarta, Senin (26/9).

Darmin mengungkapkan dari rencana pembentukan empat holding yang ditargetkan selesai akhir tahun ini, holding energi memang dianggap yang paling siap. Sementara holding lainnya yakni holding keuangan, holding pangan, holding tambang, dan holding perumahan masih dalam persiapan.

"Yang paling siap ya, kita nggak bilang kesepakatan yang paling siap, itu kan urusannya di Kementerian BUMN. Yah mereka kalau sudah siap ada gas, ya kan Pertamina, PGN, Pertagas," kata mantan Dirjen Pajak ini.

Darmin juga menegaskan, pembentukan holding sejumlah BUMN bisa dilakukan tanpa harus meminta persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). "DPR itu nggak minta persetujuan. (DPR) tidak minta mereka harus menyampaikan persetujuan, tapi memang harus ada presentasi penjelasan holding ke DPR," jelas Darmin.

Jika pembahasan di dalam internal Kementerian BUMN sudah selesai, lanjutnya, maka hanya perlu dikeluarkan payung hukumnya lewat Peraturan Pemerintah (PP). "Kita tentu ada PP nanti, tapi (rapat hari ini) nggak bahas PP, Kalau sudah relatif siap diproses, siap saja," kata Darmin. (dtc)

BACA JUGA: