JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kelangkaan daging sapi di pasaran yang berujung pada meroketnya harga daging sapi membuat pemerintah dan pengusaha penggemukan sapi (feedloter) saling lempar kesalahan. Pemerintah menuding feedloter dan pengusaha rumah potong hewan (RPH) main mata untuk menahan stok sapi. Bahkan pemerintah menuding mereka menjadi kartel daging sapi yang sengaja memainkan harga.

Sebaliknya pihak feedloter dan RPH menuding kelangkaan sapi terjadi akibat kesalahan pemerintah yang salah hitung jumlah stok daging sapi dan menutup keran impor. Pihak feedloter mengaku tak bisa melepas stok sapinya ke RPH karena takut kehabisan stok. Nah, lantas siapa yang sebenarnya bertanggung jawab atas persoalan ini?

Pengamat masalah pangan Khudori mengatakan ada dua hal yang menjadi bagian dalam kasus ini. Pertama, dari sisi pemerintah yang memang memiliki andil dalam hal ini. Merujuk data pada kuartal I dan II tahun ini, izin impor sapi yang diberikan importir mencapai 150-250 ribu ekor. Namun pada kuartal III izin impor hanya diberikan 50 ribu dan tidak langsung ke importir namun ke Bulog.

"Harusnya ketika pemerintah memangkas kuota impor secara drastis, di sisi lain juga menyiapkan penanganan dalam negeri," katanya kepada gresnews.com, Kamis (27/8).

Asumsinya ketika kuota impor dipangkas maka kekurangan sapi akan diisi oleh sapi domestik. Namun yang terjadi tak ada penanganan yang memadai dari pemerintah untuk mengembangkan sapi dalam negeri. Apalagi diketahui stok sapi di Indonesia sebagian besar dipegang oleh peternak-peternak kecil.

Para peternak kecil tersebut merupakan keluarga-keluarga yang tersebar di banyak daerah seluruh Indonesia. Ketika permintaan naik hanya di beberapa sentra tertentu, tak mudah mendatangkan sapi yang tersebar di banyak tempat tersebut ke sentra yang membutuhkan.

Apalagi, tak mudah bagi para peternak kecil tersebut untuk menjual lantaran sapi dijadikan sarana untuk menabung, sehingga mereka tak akan jual jika tak memerlukan uang sekali, walaupun harganya tinggi. "Jadi tak bisa diasumsikan stok itu masuk pasar, karena sapi peternak domestik tak responsif terhadap pasar," katanya.

Kedua, di sisi feedloter yang menurutnya juga sudah terlalu keenakan menerima kuota impor, sehingga enggan mencari sapi bakalan dari dalam negeri. Hal ini dikarenakan mencari sapi bakalan dalam negeri jauh lebih rumit, berliku, dan tentu lebih mahal dari sapi bakalan impor.

"Tak bisa dinafikan, lewat edaran mogok yang dibuat, feedloter sebagai importir juga salah, itu upaya melawan!" ujarnya.

MOTIVASI FEEDLOTER LAWAN PEMERINTAH - Mengapa feedloter melawan pemerintah dengan cara mengeluarkan surat edaran mogok? Menurut Khudori, hal ini dikarenakan keuntungan yang didapatkan feedloter telah dipangkas habis oleh pemerintah. Bahkan tak hanya keuntungan yang hilang, keberlangsungan usahanya pun dipertaruhkan.

Khudori kemudian memberi perhitungannya. Harga daging beku yang biasa diambil di pasaran impor berkisar US$4,2-US$4,8/kg, ditambah biaya masuk Indonesia sebesar 25 persen. Maka total daging beku sampai Indonesia antara US$5,25-US$6 atau setara Rp73.500-Rp84.000/kg dengan kurs rupiah saat ini yakni Rp14.000 per US$1.

Jika harga pasaran mencapai Rp120 ribu/kg, maka tentu marginnya masih sangat besar, yakni Rp40-Rp50 ribu/kg. Begitu pula dengan sapi hidup, di Australia sapi hidup dihargai Rp20 ribu/kg dengan ditambah biaya masuk Rp5 ribu/kg, sehingga total Rp25 ribu/kg mencapai Indonesia.

Sementara sapi hidup di Indonesia dihargai Rp45 ribu/kg, tentu masih terdapat keuntungan Rp20 ribu/kg. "Untungnya sangat besar. Itulah yang memotivasi mereka melawan pemerintah lantaran rezekinya dipangkas habis," katanya.

Pada akhirnya para feedloter ini pun enggan memasukkan sapi siap potongnya ke rumah potong hewan. Atau dapat dikatakan, secara sepihak mereka menaikkan harga sapi hidup untuk melawan.

Apalagi setelah diamati, menurut Khudori, berita mogok dan kenaikan harga sapi hanya berada di kisaran wilayah Jabodetabek yang merupakan sentra pasar sapi impor. Bahkan di daerah lain tak terdapat mogok pedagang, justru di beberapa wilayah seperti Jawa Timur, Yogyakarta, Nusa Tenggara harga sapi menurun. "Ini kan problem wilayah yang selama ini merupakan pasar para importir," katanya.

Sementara, pada minggu lalu, Kementerian Pertanian (Kementan) bersama pengusaha feedloter telah mencapai titik temu, harga daging sapi bobot hidup ditentukan sebesar Rp38 ribu/kg di tingkat feedloter. Sebelumnya harga sapi bobot hidup di feedloter sempat mencapai Rp42 ribu-45 ribu/kg.

Selain menyepakati harga maksimal, pertemuan ini juga menghasilkan terbentuknya tim kecil beranggota 4-5 orang dari perwakilan Kementan dan pengusaha feedloter yang berfungsi mengomunikasikan segala hal dan masalah di lapangan, terutama harga dan pasokan sapi.

Dari catatan Kementan dinyatakan 35 anggota Asosiasi Produsen Daging dan Feedlot Indonesia (AFPINDO), mempunyai stok sapi bakalan sebanyak 178.000 ekor pada akhir Juli 2015. Untuk triwulan ketiga ini, pemerintah belum memiliki rencana untuk menambah alokasi izin impor. Namun, pada triwulan keempat izin impor sapi akan dibuka hingga 200-300 ribu ekor untuk kebutuhan triwulan pertama di tahun 2016.

Kepala Bagian Hubungan Masyarakat Kementerian Pertanian Marihot H Panggabean atau yang akrab disapa Monang menyatakan, dengan adanya pertemuan tersebut semua permasalahan telah dibicarakan. Namun ketika ditanyakan masalah salah hitung, ia tak mau berkomentar lebih banyak.

"Menteri kan sudah ketemu, sudah sama persepsinya, clear. Masalah salah hitung saya tak mau komentar," kata Monang kepada gresnews.com.

DATA BERBEDA-BEDA -  Terkait data konsumsi dan ketersediaan sapi dalam negeri, data pemerintah selama ini memang berbeda-beda diantara kementerian. Data terkait sapi diantaranya bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS), Kementerian Pertanian, dan Kementerian Perdagangan.

Kepala BPS Suryamin mengatakan, terkait hal tersebut perlu dilakukan kalibrasi data untuk mendapatkan kesamaan data antar kementerian dan lembaga terkait. Ini penting kaitannya untuk kalkulasi jumlah sapi bakalan, indukan, hingga daging segar yang bakal diimpor.

"Kita akan menghitung cermat kebutuhan pokok seperti beras dan termasuk daging sapi. Berapa kemampuan produksi, konsumsi per kapita. Kalau sapi berapa kepemilikan di dalam negeri yang layak dipotong. Sebab yang dimiliki oleh sebagian rumah tangga hanya punya 2-3 ekor sapi aja. Nggak bisa menyuplai secara besar-besaran. Kita harus petakan secara jelas," ujar Suryamin ditemui usai rapat koordinasi di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Lapangan Banteng, Jakarta, Kamis (27/8).

Selama ini data BPS mendasarkan dari hasil survei Sosial-Ekonomi Nasional (Susenas). "Ada perbedaan data tapi ujung-ujungnya ke BPS juga. Ada Susenas itu survei besar. Bayangkan tahun ini aja 300.000 rumah tangga sampelnya. Termasuk menghitung berapa kebutuhan beras dan daging per kapita," jelas Suryamin.

Perbedaan data, menurut Suryamin harus dikalibrasi dan dibuat ramalan melihat tren 10 tahun. "Kementerian pertanian ada angka, Kementerian Perdagangan ada angka. Kita harus kalibrasi. Kita lihat time seriusnya seperti apa. Jadi data itu jangan hanya 1-2 tahun tapi lihat 10 tahun. Ini harus hati-hati soal data. Pak menko sangat hati-hati melihat dari berbagai sisi terutama data," tutur Suryamin.

Kehati-hatian ini perlu terkait rencana impor sapi indukan, bakalan hingga daging sapi dalam waktu dekat. "Kita harus cermat apa kita perlu impor atau tidaknya. Itu berapa besarnya, kapan waktunya, itu benar-benar dari hasil perhitungan," tambahnya.

KASUS PENIMBUNAN SAPI MANDEK? - Sementara itu, untuk kasus dugaan kartel sapi dan penimbunan sapi oleh feedloter sendiri, sepertinya sampai saat ini masih jalan di tempat. Mentan Amran Sulaiman menyerahkan sepenuhnya penindakan kasus dugaan penimbunan sapi di perusahaan penggemukan sapi (feedloter) ke kepolisian. Amran sempat mencapai kata sepakat dengan para feedloter terkait melepas pasokan dan menurunkan harga sapi.

"Nanti dari kepolisian menentukan, kalau ada penimbunan harus ditindak," kata Amran di Istana Negara, Jl Veteran, Jakarta Pusat, Kamis (27/8).

Pagi ini Amran juga menerima instruksi dari Presiden Jokowi untuk mengamankan stok bahan kebutuhan pokok, termasuk beras dan daging. Dengan adanya kepolisian turun tangan, diharapkan kasus penimbunan pangan termasuk sapi tak terulang.

Seskab Pramono Anung pernah memberikan penjelasan singkat mengenai definisi penimbun versi Perpres No 71/2015. Ia mencontohkan seperti kasus yang terjadi di Teluk Naga, Tangerang, Banten.

"Misal kemarin ada penimbunan 22.000 sapi di Banten. Padahal ketika itu tak ada sapi di lapangan, tapi ternyata ditemukan 22.000. Ternyata ada potensi untuk itu (penimbunan)," tutur Pramono kemarin.

Batasan mengenai penimbun tetap disesuaikan dengan rasio kebutuhan di lapangan. Sehingga diharapkan tak ada lagi oknum yang dengan sengaja memanfaatkan keadaan untuk memperkaya diri sendiri.

Sebelumnya Direktur Tipideksus Bareskrim Polri, Brigjen Victor Edison Simanjuntak menyatakan bahwa penindakan terhadap penimbun bisa saja mentok. Dia juga menyebut bahwa Bareskrim akan mengusulkan Presiden Jokowi untuk merevisi Perpres Nomor 71 tahun 2015 tentang Penetapan dan Penyimpanan Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting.

Perpres ini dinilai menjadi kendala dalam menetapkan unsur pidana pada kasus penimbunan sapi sehingga penegak hukum kesulitan menindak. "Perpres itu mengatur bahwa daging sapi itu jadi bahan pokok, karena dia bahan pokok, bisa disidik dengan, kalau menimbun bisa masuk ke UU Nomor 7 Tahun 2014 di Pasal 187 atau UU Nomor 18 Tahun 2012 Pasal 53. Masalahnya sekarang, unsur dari tindak pidana itu adalah ada penimbunan, hanya itu masalahnya. Kalau unsur melawan hukumnya ada, tapi penimbunannya ini masih interpretatif," kata Viktor di Mabes Polri, Selasa (24/8).

Berdasarkan Perpres Nomor 71 Tahun 2015 tentang Penetapan dan Penyimpanan Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting, berikut adalah yang dimaksud dengan Barang Kebutuhan Pokok dan/atau Barang Penting: a. Hasil pertanian: beras, kedelai bahan baku tahu dan tempe, cabe, dan bawang merah; b. Hasil industri: gula, minyak goreng, dan tepung terigu; c. Hasil peternakan dan perikanan: daging sapi, daging ayam ras, telur ayam ras, dan ikan segar (bandeng, kembung, dan tongkol/tuna/cakalang); d. Barang Penting: 1. Benih (padi, jagung, dan kedelai); 2. Pupuk; 3. Gas Elpiji 3 (tiga) kilogram; 4. Triplek; 5. Semen; 6. Besi baja konstruksi; dan 7. Baja ringan. (dtc)

BACA JUGA: