JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pemerintah masih terus berupaya mematangkan aturan terkait pungutan untuk Dana Ketahanan Energi (DKE). Sebelumnya, Menteri ESDM Sudirman Said berjanji Dana Ketahanan Energi (DKE) untuk pengembangan energi baru terbarukan tidak akan dibebankan pada masyarakat.

Keputusan ini diambil, setelah banyaknya protes dari masyarakat beberapa waktu lalu. "Soal DKE, yang jelas pungutan kepada masyarakat itu tidak akan dilakukan karena reaksi publik negatif, padahal seluruh kebijakan publik harus memperhatikan pandangan masyarakat juga," kata Sudirman, dalam konferensi pers di Gedung Ditjen Ketenagalistrikan Kementerian ESDM, Jakarta, Jumat (19/2).

Sebagai gantinya, DKE kemungkinan akan dipungut dari badan usaha yang menjual BBM. "Mungkin akan dipungut di hilir. Itu yang dipungut badan usahanya," ujar Sudirman.

Kini Kementerian ESDM juga membuka peluang melakukan pungutan DKE dari pihak asing alias memanfaatkan bantuan luar negeri. Staf Khusus Menteri ESDM Widhyawan Prawiraatmadja mengatakan, dana DKE memang sebagian akan berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Kemudian, juga pihak Kementerian ESDM akan mencari kemungkinan pendanaan dari luar negeri lewat skema pendanaan perubahan iklim. Dalam COP (pertemuan para pihak terkait perubahan iklim-red) ke-21, kata Widhyawan, Indonesia berkomitmen mengurangi emisi karbon sebanyak 29 persen dengan usaha sendiri.

Sementara dengan bantuan berbagai pihak, Indonesia berkomitmen menurunkan emisi sebesar 41 persen. Nah, celah inilah yang akan dimanfaatkan pemerintah untuk bisa mendapatkan bantuan pendanaan iklim untuk pengembangan energi terbarukan terkait upaya memangkas emisi karbon.

"Kita akan manfaatkan bantuan pihak lain dari negara yang sudah menurunkan emisi tersebut," katanya di Hotel Shangrilla Jakarta, Kamis (25/2).

Widhyawan mengatakan, pemerintah saat ini tengah mematangkan payung hukum yang akan menjadi landasan untuk menghimpun DKE. Untuk hal ini, kata dia, Kementerian ESDM akan berkoordinasi baik di tingkat antar kementerian dan membuka komunikasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat ( DPR)

"Bila mengacu pada Undang-Undang Energi Nomor 30 tahun 2007 perlu ada kelengkapan dalam bentuk Peraturan Presiden (Pepres) dan kami telah sampaikan dengan berbagai pihak termasuk Komisi VII DPR-RI ," jelasnya.

Dia menyebutkan, dengan dana itu nantinya akan ada substitusi secara perlahan dari penggunaan bahan bakar minyak (BBM) ke energi alternatif yang dinilai lebih efisien dan bersih. Selain itu, penggunaan DKE juga dimaksudkan untuk menstabilkan harga bahan bakar minyak (BBM) yang dijual di masyarakat.

"Jadi dua hal ini adalah yang paling utama, maka saya kira semua mengerti Indonesia juga butuh itu, belum lagi, contohnya cadangan penyangga, dan cadangan strategis yang harus dimiliki untuk ketahanan energi di dalam negeri," tegasnya.

Terkait masalah ini, pengamat energi ekonomi dan energi Fabby Tumiwa mengatakan, DKE memang dibutuhkan untuk mengembangkan dan membangun energi terbarukan secara masif. "Selain itu juga untuk meningkatkan rasio elektrifikasi dan pengembangan teknologi energi-energi terbarukan melalui riset," katanya kepada gresnews.com, Jumat (26/2).

Fabby mengatakan, diperkirakan pemerintah akan membutuhkan dana sebesar US$110 miliar atau setara Rp1400 triliun untuk memenuhi target bauran 23 persen energi terbarukan pada tahun 2025. Dia mengakui, dana dari APBN dan PLN serta investasi swasta tak akan dapat memenuhi kebutuhan dana itu.

"Jadi perlu dana dari luar APBN untuk meningkatkan investasi dan mempercepat pembangunan infrastruktur listrik," ujarnya.

Karena itu, kata Fabby, pemerintah memang harus segera menyelesaikan penyusunan dasar hukum melakukan pungutan DKE. "Kalau ada dasar hukum pungutan dan jelas siapa yang harus memungut serta mengelola maka tidak akan terjadi pungli," kata Fabby.

TARGET TAHUN INI - Pihak Kementerian ESDM sendiri menargetkan pungutan DKE dapat terwujud di tahun ini. Dengan demikian ada harapan agar DPR segera menyetujui alokasi DKE dalam APBNP 2016.

Sudirman Said mengatakan, walaupun sebagian besar kementerian dan lembaga diminta untuk melakukan evaluasi dan penghematan anggaran, tetapi pihaknya menyakini rencana realisasi DKE dapat dilakukan pada tahun ini, dan bisa berjalan dengan baik.

"Saya realistis untuk tidak banyak-banyak meminta, yang terpenting lembaga disetujui, lembaga dibentuk, dan uang berapa pun, Rp1 triliun atau pun Rp2 triliun kah," kata Sudirman Said beberapa waktu lalu.

Sudirman menegaskan saat ini masih terdapat cadangan-cadangan uang yang disisihkan dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan Badan Pengatur Hilir (BPH) Minyak dan Gas Bumi. "Jadi kita miliki cadangan-cadangan yang bisa disisihkan misalnya, PNBP, BPH Migas nanti kita minta sisihkan ke sana," jelasnya.

Sudirman juga mengungkapkan, rencana pembahasan mengenai DKE akan dilakukan pada bulan Maret. Dalam momentum tersebut, kata dia, pihaknya akan meminta kepada Presiden Joko Widodo dan Menteri Keuangan Bambang Brodjononegoro dan Komisi VII DPR -RI agar DKE bisa terealisasikan

"Nanti saya akan memohon kepada Presiden dan Menkeu serta Komisi VII DPR supaya gagasannya terealisasi tahun ini," ujarnya. PP tentang pungutan DKE sendiri, sebagai dasar hukum, kata Sudirman, kini tengah disiapkan. Alternatif lain dari aturan ini, kata dia, bisa berbentuk peraturan presiden (perpres).

Terkait pengembangan energi baru terbarukan, Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (Dirjen EBTKE) Kementerian ESDM Rida Mulyana mengakui masalah dana terutama biaya investasi memang menjadi kendala besar. Sementara kemampuan anggaran pemerintah sangat terbatas.

"Maka perlu peran swasta dalam pengembangan EBT, negara harus menarik sebanyak mungkin investor masuk ke sektor ini," katanya beberapa waktu lalu.

Sayangnya, besarnya biaya investasi dan risiko yang harus dihadapi, membuat sektor EBT kurang dilirik investor. Salah satunya misalnya dengan memberikan insentif seperti feed in tariff yang tinggi supaya investor tergiur dengan keuntungan yang ditawarkan.

Sayangnya tawaran ini di sisi lain malah memberatkan PLN selaku pembeli tunggal listrik di Indonesia. PLN tak mau membeli mahal listrik swasta karena harus menjual dengan harga murah. Hal ini sempat menimbulkan polemik antara PLN dengan PT Pertamina Geothermal Energy (PGE) soal harga listrik dari uap panas bumi.

Untuk mengatasi masalah semacam inilah, kata Rida, pemerintah mempertimbangkan kebijakan Dana Ketahanan Energi (DKE). DKE menurut dia bisa menjadi salah satu solusi pembiayaan pengembangan EBT.

"Saya bilang nggak ada yang salah, yang terjadi itu belum sepaham, masing-masing orang kan punya interest. Sekarang tinggal dikomunikasikan, kalau mentok ya kita cari jalan keluar," ujarnya.

Rida membantah dana DKE akan diambil dari kantong masyarakat. Dia bilang, menilik Undang Undang Energi, pemerintah pusat dan daerah diwajibkan menyediakan dana untuk subsidi EBT. "Itu UU, nggak boleh di-pass through ke masyarakat. Itu disetor dulu ke negara berupa penerimaan negara dalam bentuk pajak atau non pajak, jadi masuk dulu sebagai penerimaan," tegasnya.

Karena itu, kata dia, perlu ada penyamaan persepsi terkait DKE. Jika sepakat diperlukan, maka akan bisa didiskusikan soal besaran, dipergunakan untuk apa saja, dan siapa yang akan mengelola. Rida menilai, DKE juga bisa sebagai bantalan untuk menyangga harga minyak yang fluktuatif.

"Sekarang mungkin harga (minyak dunia) di bawah terus. Tapi kan nggak bisa ujug-ujug setiap harga minyak naik, harga BBM dinaikin, tapi seminggu kemudian turun lagi, riweuh kalau begitu. Sementara lagi rendah, masukin dana ini, kita saving, jadi penyeimbang," pungkasnya. (dtc)

BACA JUGA: