JAKARTA, GRESNEWS.COM - Musim kemarau mulai melanda beberapa wilayah di Indonesia, dampaknya kembali muncul titik-titik api yang mengakibatkan kebakaran lahan. Permasalahan tata kelola lahan gambut yang buruk ditenggarai menjadi penyebab utama kebakaran lahan yang terjadi di Indonesia.

Selain tata kelola yang buruk pemerintah dianggap tidak tegas dalam menindak para pelaku pembakaran lahan yang terjadi. Seperti diungkapkan Riko Kurniawandari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), kebakaran hutan yang terjadi lebih banyak diakibatkan oleh perusahaan serta cukong-cukong yang melakukan pembukaan lahan dengan cara dibakar.

"Cukong-cukong ini malah dianggap masyarakat sehingga seolah-olah masyarakat yang melakukan pembakaran lahan," ungkap Riko kepada gresnews.com, Senin (18/7).

Menurut data dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Riau Kebakaran lahan di Riau sejak awal tahun hingga Juli 2016 diperkirakan sudah mencapai 1.300 hektare (ha). Lokasi kebakarannya berada di sejumlah kabupaten antara lain Rokan Hilir, Pelalawan, Siak, Dumai, Kampar, dan Rohil. Pemerintah Provinsi Riau pun sampai mengambil sikap menetapkan siaga darurat kebakaran hutan dan lahan (karhutla).

Menurutnya masalah ini bukan permasalahan siapa yang lebih banyak melakukan pembakaran lahan. Tapi lebih ke arah bagaimana pemerintah dapat memperbaiki sistem kelola lahan yang ada. Pemerintah harus berani melakukan audit secara menyeluruh kepemilikan lahan gambut baik yang dimiliki perseorangan maupun yang dimiliki perusahaan untuk mengungkap pembakaran lahan yang sebenarnya.

Kalau dilihat dari sejarahnya, masyarakat seperti di Riau tidak pernah membuka lahan dengan cara dibakar karena yang ditempati adalah lahan gambut yang berkontur basah dan masyarakat sekitar mempergunakannya untuk menangkap ikan. Semenjak banyak dibukanya perkebunan sawit dan akasia, mulai banyak terjadi pembakaran lahan sebab sawit dan akasia tidak dapat tumbuh di lahan gambut yang basah maka dari itu, cara yang dipergunakan adalah melakukan pembakaran untuk mengeringkan lahan gambut.

"Pembukaan lahan dengan cara dibakar adalah cara industri," ujarnya.

Oleh sebab itu ia meminta pemerintah melakukan pembasahan kembali lahan gambut sesuai dengan fungsi ekosistemnya. Hal ini penting dilakukan dilakukan pemerintah agar dapat keluar dari karut marut kebakaran lahan yang laten terjadi di negara ini. Walaupun respon pemerintah belakangan ini dinilai sudah cukup maksimal dalam memadamkan kebakaran lahan yang terjadi, tetapi apabila kebakaran ini terus terjadi secara masif tiap tahunnya maka kejadian kabut asap seperti yang lalu kemungkinan akan terjadi.

Ia juga menyayangkan komitmen pemerintah yang tidak konsisten dalam memproses hukum pelaku pembakaran. Dari temuan kasus pada tahun 2015 ada delapan korporasi yang menjadi tersangka tetapi rontok semua ketika dibawa ke meja hijau. Selain itu ada beberapa oknum militer dan parlemen yang memiliki lahan lebih dari lima puluh hektar di kawasan illegal lahan gambut yang seharusnya tidak boleh akan tetapi malah diberikan izin dan tidak pernah tersentuh hukum.

Dengan izin itu, para pemilik lahan bebas membuka jalan yang malah membuka akses untuk melakukan pembakaran lahan gambut sehingga semakin memperparah situasi. "PT Langgam Inti Hibrido Frans Katihokang divonis bebas, dan kami dengar 13 pelaku pembakaran pada 2015 akan dihentikan penyidikannya lewat surat SP3. Tidak ada upaya penegakan hukum disini," tegasnya.

Melihat tiga tahun ke belakang, ia merasa ada persoalan sendiri di penegak hukum yang harus dibenahi. pemerintah bukannya menghukum pelaku pembakaran lahan dengan berat untuk menimbulkan efek jera akan tetapi malah membebaskan atau memvonis ringan para pelaku pembakaran lahan.

Dari hal tersebut Walhi sendiri sudah tidak percaya dengan pengadilan biasa untuk menangani isu lingkungan. Seharusnya pemerintah melakukan komitmen politik yang didukung parlemen dengan membangun peradilan khusus untuk masalah lingkungan seperti pengadilan Tipikor sebab kasus pembakaran lahan sudah masuk kategori kasus khusus. "Kalau di pengadilan negeri biasa banyak dipermainkan dan diperjualbelikan," ujarnya.

PENCEGAHAN KABUT ASAP - Anggota Komisi IV DPR RI Hamdhani asal daerah pemilihan Kalimantan Tengah juga menyatakan bahwa aktivitas pembakaran hutan dan lahan di wilayah Kalteng sudah kembali terjadi dan diikuti ancaman bencana kabut asap sebagai konsekuensi dari aktivitas tersebut.

Pada kejadian di 2015 lalu, hampir seluruh masyarakat Kalteng mengalami berbagai masalah, mulai dari kesehatan, sulitnya transportasi, sampai persoalan ekonomi akibat kabut asap yang melanda berbulan-bulan. Oleh karena itu, pencegahan dini kabut asap dengan meminimalkan aktivitas pembakaran lahan dan hutan harus menjadi perhatian serius pemerintah, pusat maupun daerah.

"Masyarakat dan pihak swasta juga harus berpartisipasi dalam pencegahan dan pengendalian kebakaran hutan dan lahan," ujar Hamdhani melalui pesan yang diterima gresnews.com, Senin (18/7).

Kalau terlambat dilakukan dampaknya pemerintah harus menghabiskan dana miliaran rupiah untuk memadamkan kebakaran lahan agar kabut asap berhenti seperti tahun lalu. Tahun ini semestinya sudah bukan untuk memadamkan lagi, tapi hanya untuk pengendalian dan pencegahan dengan demikian dana APBN tidak terkuras percuma.

Ia juga memperingatkan perusahaan untuk tidak melakukan pembukaan lahan dengan cara dibakar karena sesuai instruksi Presiden Jokowi pada 18 Januari lalu, pembakaran hutan dan lahan dengan tegas dilarang. Ancaman pidananya jelas dan sangat serius, terutama bagi perusahaan.

Menurut data dari Badan Konservasi dan Sumberdaya Alam (BKSDA) Kalteng, pembakaran hutan dan lahan masih terjadi. Pada 13 Juli lalu. Tim dari posko terpadu memadamkan api di Desa Sungai Tendang arah Pelabuhan Roro Kecamatan Kumai, dengan luas lahan terbakar mencapai 9 hektare.

Sedangkan berdasarkan monitoring Satelit NOAA 18 per 15 Juli 2016, jumlah titik panas di Kalteng berjumlah 252 plus 16 lagi yang ditangkap NOAA 19. Total seluruh Indonesia terdapat 3.538 titik panas berdasarkan tangkapan satelit NOAA 18 dan 1.088 titik hasil tangkapan NOAA 19. Sedangkan sepanjang tahun 2015 lalu, total titik panas di Kalteng berjumlah 4.292.

Efek dari kebakaran lahan bukan hanya merugikan masyarakat dalam negri, tetapi juga mengganggu sebagian wilayah Malaysia yang juga menderita akibat kabut berasap dan seringkali terulang. Kabut asap tebal pada tahun 2015 menyelimuti berbagai wilayah di Malaysia. Kualitas udara berada dalam tahap tidak sehat dan jarak pandang terbatas.

Tebalnya kabut asap diantaranya terjadi di kawasan sekitar Lembah Klang seperti Subang, Shah Alam dan Petaling Jaya dengan jarak pandang kurang dari 500 meter. "Situasinya sangat teruk (buruk), kita tidak bisa melihat apapun. Dan semua orang menggunakan masker," ujar Mohd Fadly (20) seorang mahasiswa Malaysia kepada gresnews.com, Senin (18/7).

Ia sangat menyayangkan apabila bencana kabut asap kembali terulang, dikarenakan banyak warga Malaysia yang sampai menderita sakit akibat asap yang dikirim oleh Indonesia. Ia juga menyebutkan bahwa banyak orang di Malaysia mempertanyakan apakah presiden Indonesia tidak melakukan tindakan untuk menghentikan bencana kabut asap sehingga tidak perlu lagi adanya korban.

KERUGIAN EKONOMI - Dampak ekonomi akibat kebakaran hutan dan lahan di Indonesia diperkirakan mencapai lebih dari Rp200 trilliun, melebihi kerugian pada tahun 1997, padahal jumlah lahan yang terbakar jauh lebih sedikit. Hal tersebut pernah disampaikan Peneliti Center for International Forestry Research (CIFOR), Herry Purnomo.

Ia menjelaskan hitungannya itu didasarkan pada angka kerugian pada tahun 1997 ditambah dengan kerugian yang dialami Malaysia dan Singapura. Pada 2015 lalu musim kemarau lebih panjang dan asap lebih luar biasa daripada tahun 1997-1998 sehingga perhitungan kerugian didalam negeri saja sekitar US$9 miliar. Itu belum menghitung kerugian yang ada di Singapura dan Malaysia masing -masing US$2 miliar, jadi US$13 miliar.

"Ditambah faktor seperti angka inflasi, jadi bisa bervariasi antara US$14 miliar hingga US$20 miliar, tergantung angka inflasi yang kita terapkan," katanya.

Herry menjelaskan perhitungan tersebut masih sangat kasar dilihat dari kerugian ekonomi, tanaman yang terbakar, air yang tercemar, emisi, korban jiwa dan juga penerbangan.
Kabut asap yang membuat jarak pandang terbatas menyebabkan ribuan penerbangan dibatalkan.

Garuda Indonesia menyebutkan potensi kerugian yang dialami sampai Oktober ini mencapai US$8 juta atau Rp109 miliar, seperti disampaikan oleh juru bicaranya Benny Butar Butar yang menyebut sampai 25 Oktober 2015 ada 1.600 penerbangan batal.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebutkan total lahan yang terbakar di Sumatra dan Kalimantan mencapai 1,7 juta hektar dengan titik api sekitar 1.800 pada Minggu (25/10) , jauh lebih kecil dibandingkan pada tahun 1997 yaitu 9,7 juta hektar. Tetapi dampak kebakaran hutan ini lebih luas karena pengaruh El Nino yang panjang.

Juru bicara BNPB Sutopo Purwo Nugroho mengatakan biaya untuk pemadaman tahun 2015 juga diperkirakan akan lebih besar dibandingkan pada 2014 lalu. "Biaya untuk pemadaman pada tahun 2014 itu kita melakukan pemadaman bukan hanya Riau tetapi enam provinsi karena sifatnya pencegahan jadi ada api sedikit langsung dipadamkan, biayanya sekitar 620 milliar," jelas Sutopo.

BNPB sudah menganggarkan Rp385 miliar untuk pemadaman lahan dan hutan yang terbakar. Sekitar 22 ribu petugas diterjunkan untuk memadamkan kebakaran hutan.

BACA JUGA: