JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kunjungan Raja Arab Saudi Salman bin Abdulaziz Al Saud selama 13 hari di Indonesia beberapa waktu lalu menyita perhatian masyarakat Indonesia. Publik terbetot perhatiannya menilik dari sisi historis kunjungan Raja Salman ini merupakan kunjungan perdana setelah 47 tahun. Terakhir Raja Faisal mengunjungi Indonesia pada tahun 1970.

Terlebih kunjungan ini membawa 10 menteri dan 25 pangeran ini yang dikaitkan dengan rencana Saudi melakukan investasi besar ke Indonesia seperti disampaikan Pangeran Mohammed bin Salman bin Abdul Aziz Al-Saud, Wakil Putra Mahkota, Wakil Kedua Perdana Menteri, dan Menteri Pertahanan. Selain itu rombongan raja juga membawa kargo hampir 500 ton, membawa fasilitas eskalator berlapis emas, membawa lebih dari 1.000 delegasi, memboyong 150 koki, dan membawa serta ribuan petugas keamanan.

Tak salah juga Presiden Joko Widodo ketika itu menaruh harapan pada Arab Saudi agar menginvestasikan dananya besar-besaran, kendati pada kenyataannya investasi Saudi mencapai US$6 miliar atau sekitar Rp89 triliun (kurs Rp13.300). Nilai tersebut jauh dari investasi Saudi ke China yang dikunjungi hanya selama dua hari dan mencapai US$65 miliar atau sekitar Rp870 triliun.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) pun mengakui dirinya sedikit kecewa. Jokowi dengan sedikit bercanda, bahkan mengungkit upayanya memayungi Raja Salman saat berkunjung ke Indonesia. Padahal, Indonesia sebelumnya berharap dapat memperoleh investasi dari kunjungan tersebut sebesar US$ 25 miliar atau sekitar Rp 332 triliun.

"Yang saya sedikit, ini hanya sedikit, agak kecewa, investasi yang diberikan oleh Saudi Rp 89 triliun memang besar sekali, saat itu saya kaget. Tapi saya lebih kaget saat beliau ke Tiongkok, ke China, beliau tanda tangan Rp 870 triliun. Padahal saya sudah mayungi waktu hujan. Itu yang saya hanya sedikit, tapi hanya sedikit kecewa," ujar Jokowi seraya berkelakar, Kamis (13/4).

Jokowi yang sedang berada di Pondok Buntet Pesantren, Cirebon,lalu meminta doa kepada kiai dan santri pondok pesantren tersebut agar investasi Saudi ke RI bisa bertambah. Sehingga bisa membantu pembangunan di Indonesia. "Setelah ini saya telepon beliau, Raja Salman dan Pangeran Muhammad dan moga moga Indonesia dapat lebih dari China," kata Jokowi.

Ekonom Bank Permata, Joshua Pardede, mengungkapkan besarnya investasi Arab Saudi ke China dilatarbelakangi hubungan saling menguntungkan kedua negara. Sebaliknya, timbal balik dari investasi Arab Saudi ke Indonesia terbilang masih kecil.

"Saudi juga tentunya mengharapkan hubungan mutualisme atau saling menguntungkan dalam pertimbangan investasinya. Jika dibandingkan dengan Indonesia, tentu secara mutualisme China lebih menguntungkan," kata Joshua, Kamis (13/4).

Timbal balik yang diharapkan Arab Saudi dari Negeri Tirai Bambu itu, jelas dia, antara lain kebutuhan sumber energi yang tentunya bisa dipasok dari negara itu. Selain itu, China juga punya kepentingan besar untuk berinvestasi ke negeri Raja Salman.

"China ini kan konsumen energi terbesar dunia, secara ekonomi juga terbesar kedua dunia, harapan dari China juga tentu jauh lebih besar dibandingkan dengan Indonesia. Apalagi Saudi juga berkepentingan dengan industri minyaknya, kondisi ekonomi di sana juga kan sedang sulit setelah turunnya harga minyak," ungkap Joshua.

Di faktor hubungan mutualisme, tak bisa dipungkiri, iklim investasi juga berpengaruh pada sedikitnya minat investor Negeri Petro Dolar itu menanamkan uangnya di Indonesia.

"Iklim investasi kita dibandingkan dengan China juga tentunya masih jauh. Itu bisa dilihat dari kemudahan bisnisnya, infrastruktur, perizinan, juga biaya logistiknya. Tapi lebih besarnya investasi ke China bukan berarti Indonesia itu buruk, saat sekarang sudah ada banyak perbaikan dari deregulasi dan debirokratisasi," pungkas Joshua.
DIATAS KERTAS - Deputi Bidang Pengendalian Pelaksanaan Penanaman Modal BKPM, Azhar Lubis, mengatakan Indonesia tak perlu kecewa dengan perbandingan jumlah investasi Arab Saudi di dalam negeri dengan China. Karena nilai-nilai tersebut hanya sebatas rencana, dan belum terealisasi.

"Jadi sebetulnya seberapa pun rencana itu, yang penting realisasi. berapa pun nilainya itu harus direalisasi yang paling penting. Di China itu perlu di buktikan realisasinya. Enggak usah kita sibuk ke rencana-rencana saja, hanya di atas kertas saja," kata Azhar, Kamis (13/4).

Azhar menegaskan, yang dibutuhkan dari investasi itu ialah bentuk realisasinya. Sebab, kata dia yang menggerakan ekonomi ialah realisasi investasi, bukan hanya sekedar janji di atas kertas.

Oleh sebab itu dirinya mengatakan, yang saat ini harus dilakukan ialah mendorong agar rencana investasi tersebut dapat diwujudkan dengan nyata.

"Kami dari BKPM bagaimana mewujudkan rencana tersebut jadi realisasi. Tugas kita bersama bagaimana supaya iklim investasi di Indonesia menjadi lebih baik. Kalau kita bicara terus rencana-rencana itu enggak ada artinya kalau enggak ada realisasi," tuturnya.

Berdasarkan data dari BKPM, sepanjang 2016 realisasi investasi Arab Saudi hanya US$ 900 ribu atau sekitar Rp 11,9 miliar. Investasi itu terwujud dalam 44 proyek.

Dengan angka realisasi investasi itu, Arab Saudi berada di posisi 57 dalam daftar negara investor di Indonesia. Posisi itu jauh dibandingkan realisasi investasi dari negara Timur Tengah lainnya seperti Kuwait yang mencapai US$3,6 juta.

Peringkat Arab Saudi juga di bawah Afrika Selatan investasinya mencapai US$1 juta untuk delapan proyek. Bahkan, Mali mampu menginvestasikan US$1,1 juta.

Sedangkan jika dihitung pada periode 2010 hingga 2015, nilai investasi Arab Saudi tercatat hanya mencapai US$34 juta atau 0,02 persen dari total investasi asing yang masuk ke Indonesia dalam kurun waktu tersebut. (dtc)

BACA JUGA: