JAKARTA, GRESNEWS.COM - Keinginan PT Ratu Prabu untuk membangun proyek pembangunan Light Rail Transit (LRT) tambahan di Jabodetabek sepanjang 400 km dengan taksiran nilai mencapai Rp405 triliun, tampak menggebu. Sejumlah janji pun diumbar untuk menunjukkan keseriusan mereka.

Diantaranya adalah niat untuk menggandeng menggandeng perusahaan besar asal China untuk membangunnya. Presiden Direktur Ratu Prabu B Bur Maras mengatakan, untuk membangun proyek tersebut nantinya pihaknya akan membentuk konsorsium.

Dalam perusahaan patungan tersebut dia akan mengajak China Railway Construction Corporation sebagai kontraktornya yang juga menggarap proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung. "Nanti yang bangun China Railway Construction Corporation. Iya, itu dia yang menggarap proyek Kereta Cepat," tuturnya di Gedung Ratu Prabu 1, Jakarta, Selasa (9/1)

Tidak hanya itu, Ratu Prabu juga akan mengikut sertakan Bechtel Corporation, salah satu grup perusahaan konstruksi dan pengerjaan sipil asal Amerika Serikat (AS). Perusahaan itu juga yang telah ditunjuk menjadi konsultan untuk membuat kajian proyek tersebut. "Nantinya Bechtel akan jadi operator, tapi sementara, sambil kita belajar. Nanti konsorsium juga kita akan ajak BUMN," tambahnya.

Proyek ini akan terbagi dalam 3 fase. Rencanya fase pertama akan dimulai pada 2020 dengan lama pengerjaan 3 tahun. Namun, itu pun jika pihaknya sudah mendapatkan izin dari pemerintah. Untuk pendanaan pihaknya sudah mengajukan proposal pendanaan dari Korea Selatan, Jepang dan China.

Dari ketiga perbankan tersebut, yang berasal dari China yang telah menyatakan siap. "Kita bicara dengan ketiganya ini, tiba-tiba China membalas dengan tertulis kami sanggup dan menyediakan dananya. Cuma seminggu sudah balas. Karena dia takut keduluan Jepang," ujarnya.
Bur Maras mengatakan, sumber dana dari China itru berasal dari salah satu bank ekspor impor China. Bahkan bank tersebut katanya rela memberikan pendanaan tanpa mempersyaratkan ekuitas dari perseroan.

Menurut laporan keuangan ARTi kuartal III-2017, perseroan memiliki total ekuitas hanya sebesar Rp1,737 triliun dengan total liabilitas sebesar Rp798,7 miliar. "Kalau exim bank pinjamkan uang dia tak memerlukan equity itu capital dari saya. Jadi no capital. Semua pinjaman 100%," tegasnya.

Bahkan Eximbank asal China itu kata Bur Maras bisa memberikan pinjaman tersebut dengan bunga hanya 2-4%. Hal itu lantaran sifat pinjamannya soft loan. Menurut Bur, China ada beberapa hal yang membuat China tertarik dengan proyek LRT besutannya. Pertama dia menghitung internal rate of return (IRR) dari proyek itu hanya 10,9%.

"Kenapa sangat antusias, karena China membangun kereta ribuan km. Dengan medan yang sangat susah. Sekarang sudah selesai semua, padahal peralatan sudah banyak, puluhan ribu pekerja terlatih juga. Itu akan di PHK karena proyeknya selesai, tiba-tiba saya tawarkan," tambahnya.

Pinjaman tersebut nantinya kata Bur Maras juga tanpa jaminan. Pihaknya hanya akan mengasuransikan proyek tersebut kepada perusahaan asuransi asal Inggris Lloyd´s of London. "Jadi kalau proyek ini terlantar 2 hari sudah bisa cair. Lloyd´s of London itu perusahaan asuransi terbesar di dunia," tukasnya.

Terkait tarif, nantinya tarif yang digunakan akan mengikuti tarif LRT di Amerika Serikat sekitar Rp20 ribu per penumpang. Tarif tersebut berdasarkan hasil kajian yang dilakukannya dengan menggunakan jasa konsultan asal AS Bechtel Corporation.

"Saya pelajari, kalau di San Fransisco ada LRT itu orang bayar US$1,5, kalau pulang pergi US$3. Kalau ada 5 juta orang naik itu, bisa US$15 juta per hari. Coba kalikan US$15 juta kali 365 hari sama dengan US$5,4 miliar setahun," terangnya.

Bur Maras mengasumsikan, jika saja dia LRT tersebut menghasilkan keuntungan bersih 30% dari US$5,4 miliar setahun itu maka dia yakin modal US$8 miliar bisa kembali dalam 6 tahun. Namun, dia mengaku itu hanya perkiraan pribadinya saja. Sementara menurut hasil kajian studi yang dilakukan Bechtel Corporation modal tersebut akan kembali dalam waktu 15 tahun. "Karena saya perhitungannya penumpang 5 juta per hari. Tapi menurut Bechtel itu awalnya paling 2-3 juta dulu, jadi dia menghitung 15 tahun," tukasnya.

SIKAP PEMERINTAH - Menyikapi rencana PT Ratu Prabu ini, pemerintah pusat tampaknya masih menunjukkan sikap hati-hati. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan, pihaknya belum pernah mendengar pembangunan proyek LRT Ratu Prabu. Ia pun enggan menanggapi hal tersebut. "Apalagi itu? Saya belum pernah dengar," kata Darmin di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta, Senin (8/1).

Sementara itu, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi meminta sejumlah syarat kepada PT Ratu Prabu. Budi Karya menjelaskan, pemerintah dengan senang hati memang membuka kesempatan besar kepada bagi swasta yang ingin membangun infrastruktur. Dengan begitu, pembangunan infrastruktur tak hanya mengandalkan uang negara.

"Kalau namanya infrastruktur kaitannya dengan swasta pasti pemerintah memberikan privilege, memberikan kepada mereka untuk berinvestasi. Karena apa? Kita memang butuh dana-dana swasta, dan kita ingin bangkitkan swasta," kata Budi Karya.

Namun untuk rencana pembangunan LRT yang digagas oleh Ratu Prabu ini, Budi Karya mengatakan ada beberapa hal yang harus diperhatikan. Antara lain, Budi Karya meminta agar pembangunannya dilakukan secara bertahap. "Kalaupun mau dibangun itu lakukan secara bertahap. Dimulai dari tempat-tempat yang paling ekonomis," kata Budi Karya.

Selain itu, dirinya juga meminta untuk adanya kepastian pendanaan dalam proyek ini. Yang terakhir dirinya meminta agar Ratu Prabu menggandeng perusahaan transportasi dalam membangun proyek LRT ini. Pasalnya, Ratu Prabu bukanlah perusahaan di sektor transportasi.

"Ratu Prabu karena bukan merupakan perusahaam transportasi, dia harus berkolaborasi dengan pihak yang memang menangani itu. Jadi kalau nanti ada satu proposal paling tidak ada tiga yang saya minta harus ditambahkan. Kita mau cepat, kita laksanakan, tapi bertahap, ada partner sebagai operator, dan ketiga musti bersama financing," pungkasnya.

Menteri Koordinator bidang Kemaritiman Luhut Panjaitan juga mengajukan tiga syarat jika PT Ratu Prabu berniat membangun Light Rail Transit (LRT). Hal pertama yang harus disiapkan oleh Ratu Prabu adalah teknologi yang ramah lingkungan.

"Pertama, semua teknologi yang dibawa harus ramah lingkungan. Misalnya Tiongkok, kalau teknologinya bagus, kenapa enggak?," kata Luhut di kantornya, Senin (8/1).

Kedua, dalam pembangunannya harus menggunakan lebih banyak tenaga kerja lokal ketimbang tenaga kerja asing. "Harus gunakan sebanyak mungkin masyarakat Indonesia. Memang, dalam 3-4 tahun pertama masih banyak yang dari dia (asing) karena kualitas vokasi kita untuk operasional training kan jelek. Itu kan terjadi bukan hanya 1-2 tahun ini tapi sekian puluh tahun. Sekarang sedang kita perbaiki," ujar Luhut.

"Nah dalam 3-4 tahun ini dia harus membuat training atau pendidikan ini, siapapun dia, karena kalau kita mengandalkan orang Indonesia sendiri nanti enggak selesai, karena memang kan (pembantu proyek) harus selesai sesuai schedule," lanjutnya.

Menurut Luhut, pihak yang berinvestasi, dalam hal ini Ratu Prabu memiliki tanggung jawab jika nantinya diberi wewenang untuk mengerjakan proyek tertentu. Dalam jangka waktu tertentu harus selesai.

"Ketiga, harus bisa hulu ke hilir dan transfer teknologi. Misalnya tadi ada nikel, nikel jadi stainless dan berbagai produk lainnya yang nilai tambahnya jadi 100 kali lipat," tambahnya. (dtc)

BACA JUGA: