JAKARTA, GRESNEWS.COM - Penandatanganan perjanjian impor beras dengan Vietnam dan Thailand oleh pemerintah beberapa waktu lalu dinilai merupakan pelanggaran terhadap prinsip kedaulatan pangan. Meski alasan impor dilakukan untuk keperluan stok dalam negeri, namun kebijakan itu bertentangan dengan komitmen pemerintah yang ingin menghindari opsi mengimpor beras jika produksi nasional mencukupi.

Kepala Biro Perencanaan Kementerian Pertanian Kasdi Subagyono mengungkapkan berdasarkan perhitungan BPS produksi beras nasional mengalami surplus. Kondisi itu diukur dari tercukupinya kebutuhan konsumsi dan jumlah beras yang tersedia di dalam negeri.

Subagyo menyebut, sesuai angka proyeksi BPS sektor produksi padi tahun 2015 pada angka ramalan (aram) II mencapai 74,99 juta ton gabah kering giling (gkg).

"74,99 juta ton itu kalau dikonversi ke beras menjadi 42-43 juta ton beras. Kebutuhan konsumsi kita sesuai proyeksi BPS tahun 2015 sekitar 31-32 juta ton. Jadi kita sebut surplus, sekitar 10 juta ton," kata Subagyo ditemui gresnews.com di gedung Nusantara, Kementerian Luar Negeri, Rabu (16/12).

Pada tren surplus produksi beras dalam negeri seperti itu, menurut dia, justru seharusnya Indonesia memiliki potensi ekspor. Hanya saja, untuk menuju capaian ekspor, perlu ada perbaikan kualitas sebagai bagian penting menstimulus pasar global menyerap produk pertanian nasional. Subagyo menyebut, saat ini Kementerian Pertanian tengah fokus pada tujuh jenis komoditas yaitu padi, jagung, kedelai, gula, daging sapi, cabe dan bawang merah.

"Melalui keterlibatan lintas kementerian dan lembaga mendukung kebijakan serta langkah aksi pengembangan dalam konteks mengupayakan percepatan swasembada produksi pangan strategis," ujarnya.

TANTANGAN KEDAULATAN PANGAN - Berdasarkan UU Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan disebutkan kedaulatan  pangan  adalah  hak  negara  dan  bangsa  secara   mandiri  menentukan   kebijakan Pangan   yang menjamin  hak   atas   pangan   bagi   rakyat   dan  yang memberikan  hak  bagi  masyarakat  untuk  menentukan sistem  Pangan  yang  sesuai  dengan  potensi  sumber  daya lokal.

Wakil Menteri Luar Negeri AM Fachir mengatakan, data capaian surplus komoditi beras yang dicapai saat ini belum sepenuhnya mencerminkan kenyataan yang terjadi. Justru sebaliknya, Indonesia masih tidak terlepas dari ketergantungan impor beras.

"Data kita seakan surplus tapi tetap impor. Hal ini menjadi perhatian kita semua," kata Fachir di sela acara kegiatan 100 Experts Meeting: Penguatan Diplomasi Ekonomi dalam Mendorong Ekspor Pangan, di Jakarta, Rabu (16/12).

Terkait pemenuhan pangan, kata dia, sebagian besar negara kini tengah dihadapkan pada tantangan yang sama dalam konteks menjaga kebutuhan  konsumsi. Hal ini seiring proyeksi pertumbuhan total populasi dunia tahun 2030 yang diprediksi mencapai 8 miliar penduduk. Pertumbuhan penduduk tersebut sangat berpengaruh meningkatnya jumlah kebutuhan konsumsi pangan.

Fachir menyampaikan beberapa strategi menjaga ketahanan pangan nasional sesuai UU Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan. Strategi dimaksud seperti membangun produktifitas pangan nasional, intensifikasi dan ekstensifikasi pangan.

Disamping itu, Fachir menilai, perlunya kerjasama di tingkat kawasan dan internasional agar mencapai peningkatan ketahanan pangan. Salah satu tugas Kemlu yang perlu dikedepankan adalah mendorong kerjasama sesuai kepentingan nasional.

"Empat tahun ke depan Kementerian Luar Negeri akan memperkuat kerjasama alih teknologi dan riset bersama mendorong produktifitas pangan di tingkat regional atau pun global," terangnya.

KONSEP KEDAULATAN PANGAN - Namun Guru Besar bidang Pangan Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas Santoso menilai, tantangan mengelola sektor pertanian terletak pada perbedaan persepsi mengenai kedaulatan pangan.

Ia mengatakan, pandangan pemerintah tentang kedaulatan pangan selama ini hanya sebatas stop impor pangan. Dengan kata lain, apabila sudah berhasil menghentikan impor pangan maka dimaknai sebagai suatu pencapaian kedaulatan.

"Padahal tidak demikian. Kalau kedaulatan pangan diterjemahkan hanya sebatas stok impor pangan itu akan gagal. Setiap orang memahami sendiri-sendiri tentang kedaulatan pangan," kata Andreas kepada gresnews.com, Rabu (16/12).

Pada kenyataannya, ia menyebut sampai sekarang hampir seluruh pangan masih diimpor, walaupun tergantung jumlahnya. Untuk itu, Andreas mempertanyakan definisi dan konsep kedaulatan yang dipahami masing-masing lembaga pemerintah.

Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution sebelumnya mengungkapkan pemerintah sudah melakukan penjajakan impor beras dari Vietnam dan Thailand.‎ Impor beras ini dimaksudkan untuk cadangan  tahun depan. Hal ini memperhitungkan dampak bencana El nino, yang saat itu diperkirakan akan  berkepanjangan dan berdampak kekeringan panjang di tanah air.  

Pemerintah menurutnya tak ingin berjudi mempertaruhkan stabilitas harga beras dan nasib rakyat. Jika harga beras melonjak, inflasi akan sangat terpengaruh, daya beli masyarakat tergerus, kesejahteraan masyarakat pasti turun.‎

Namun demikian, Darmin menegaskan bahwa beras asal Vietnam dan Thailand tersebut belum dipastikan akan segera masuk ke Indonesia. Menurutnya bila ternyata dampak El Nino tidak sebesar yang dikhawatirkan dan stok beras di dalam negeri masih aman, beras yang diimpor akan dijual kembali ke negara lain.

Soal keputusan final impor beras akan dibuat pada hingga Desember ini. Namun jika ternyata tidak perlu menurutnya tidak akan didatangkan. (Gresnews.com/dtc)

BACA JUGA: