JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla sangat pro terhadap para pemodal untuk menggenjot pembangunan di dalam negeri. Selain gelontoran insentif untuk menarik investor luar negeri, pemerintah juga aktif menyambangi negara-negara di kawasan Asia Timur untuk menarik lebih banyak lagi investasi.

Data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) layak mendapatkan perhatian khusus dalam rangka menarik investasi. Dari 20 negara dengan realisasi Foreign Direct Investment (FDI) tertinggi di Indonesia, 5 negara diantaranya berada di Asia Timur. Jepang berada di pering‎kat ke-2, Korea Selatan peringkat ke-4, Hong Kong di posisi 10, disusul China di peringkat 11, dan Taiwan di posisi 13.

Berdasarkan data tersebut tak mengherankan bila Presiden Jokowi kerap melakukan kunjungan ke negara-negara Asia Timur. Misalnya Maret 2015, Presiden Jokowi melakukan kunjungan ke Jepang dan China. Hasilnya, Jokowi berhasil membawa pulang komitmen investasi hingga US$ 73,46 miliar ‎alias sekitar Rp 955 triliun. Komitmen investasi Jepang sebesar US$ 10,06 miliar, sedangkan dari China US$ 63,4 miliar.

Sektor yang diminati oleh investor-investor asal Jepang masih seputar industri otomotif, logam dan industri olahan. ‎Sementara itu, sektor yang diminati investor asal China adalah sektor industri semen dan kawasan industri. China berminat untuk mendanai sejumlah proyek pemerintah dalam bidang penyediaan infrastruktur seperti pembangunan pembangkit listrik maupun proyek transportasi seperti tol maupun pembangunan pelabuhan.

Pertumbuhan investasi negara-negara Asia Timur meningkat drastis. Misalnya ‎Jepang pada 2010 lalu FDI yang direalisasikannya tercatat sebesar US$ 713 juta. Pada Kuartal III-2015 tercatat realisasi FDI dari Negeri Matahari Terbit ini sudah US$ 2,49 miliar. Total realisasi FDI Jepang sejak 2010 hingga Kuartal III-2015 sudah US$ 14,598 miliar.

Untuk Korea Selatan (Korsel), di 2010 realisasi FDI Negeri Ginseng ini US$ 329 juta, sekarang di Kuartal III-2015 sudah mencapai US$ 1,002 miliar atau 3 kali lipat realisasi FDI di 2010. Total realisasi FDI Korsel sejak 2010 sampai Kuartal III-2015 sudah US$ 7,83 miliar.

Sedangkan China, realisasi FDI mereka ke Indonesia pada‎ 2010 baru US$ 173 juta, lalu di Kuartal III-2015 sudah US$ 406 juta. Total FDI dari Negeri Tirai Bambu pada 2010 hingga Kuartal III 2015 sudah mencapai US$ 1,94 miliar.

Meski masih kalah dibanding Jepang dan Korea Selatan, potensi investasi dari China masih sangat besar. Untuk meningkatkan arus investasi dari ´raksasa baru´ Asia Timur ini, Kepala BKPM Franky Sibarani secara khusus melakukan kegiatan promosi investasi Indonesia di Shanghai pada 27 November 2015 lalu.

Hasilnya, kegiatan promosi ini disambut antusias oleh China, ada 130 investor China yang memadati Ballroom Hotel Four Seasons di Shanghai saat promosi tersebut diselenggarakan oleh BKPM.‎ Franky Sibarani mengungkapkan bahwa investor potensial yang hadir dalam kegiatan tersebut 30% di atas dari target yang dicanangkan sebanyak 100 orang.

"Dari kegiatan forum bisnis, terlihat antusiasme yang tinggi dari peserta yang hadir. Beberapa pertanyaan yang disampaikan juga menunjukkan tingginya minat investasi dari investor China," ujar Franky.

Investor yang hadir terdiri dari perusahaan-perusahaan yang bergerak di beberapa sektor di antaranya industri pangan, pertambangan, perdagangan, manufaktur, mesin, energi, telekomunikasi, solid waste water plant, industri kemasan, konsultansi, dan industri logam. Selain perusahaan-perusahaan China, beberapa perwakilan BUMN juga hadir di antaranya PT Garuda Indonesia, PT Aneka Tambang, dan Bank Mandiri.

Franky menambahkan, bahwa kegiatan yang dilaksanakan menunjukkan hasil yang signifikan dalam upaya pemerintah untuk meningkatkan arus investasi dari China.

"Dalam beberapa survei yang muncul, pusat pertumbuhan ekonomi memang mulai bergeser ke Asia Timur. Dari sisi investasi China mulai menggeliat menyusul Jepang dan Korsel yang telah mendominasi," katanya.

RAJIN PULA BERUTANG - Disamping rajin berburu investor, pemerintah juga terus memupuk utang. Tahun depan pemerintah akan menambah utang Rp 605,3 triliun. Porsi paling besar akan dilakukan melalui penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) sampai dengan Rp 532,4 triliun. Kemudian penarikan pinjaman luar negeri non SLA sebesar Rp 69,2 triliun dan pinjaman dalam negeri sebesar Rp 3,7 triliun.

"Hitungan gross sekitar Rp 605,3 triliun," kata Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro, Senin (7/12).

Besarnya utang tersebut untuk menambal defisit anggaran yang kian lebat. Tingginya kebutuhan pinjaman dikarenakan adanya defisit anggaran dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2016 sebesar Rp 273,2 triliun dan kebutuhan investasi atau Penyertaan Modal Negara (PMN) kepada BUMN.

Di samping itu juga pembayaran jatuh tempo utang Rp 256 trilun yang meliputi jatuh tempo SBN Rp 187,2 triliun dan pinjaman lain Rp 68,8 triliun. Pemerintah juga melakukan pengelolaan portfolio utang dengan anggaran Rp 3 triliun dan SPN cash management Rp 15 triliun.

Ini untuk menutupi tingginya kebutuhan belanja negara dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2016, yang berjumlah sekitar Rp 2.000 triliun. Sedangkan jumlah utang luar negeri Indonesia per triwulan III-2015 mencapai US$ 302,4 miliar atau sekitar Rp 4,082 triliun. Jumlah ini merepresentasikan 34,9% dari total GDP.

Menteri Keuangan (Menkeu) Bambang Brodjonegoro menjelaskan, tugas tersebut tidak mudah, mengingat kondisi perekonomian global yang masih penuh ketidakpastian. Seperti kebijakan moneter Amerika Serikat (AS) dan perlambatan ekonomi China yang berpengaruh terhadap pasar keuangan.

Apalagi pada kesempatan yang sama, banyak negara juga negara berkembang butuh pembiayaan yang tinggi. Artinya, kata Bambang ada persaingan untuk perebutan investor di dunia internasional.

Bambang menambahkan, kenaikan suku bunga acuan AS baru dimungkinkan terealisasi pekan depan. Diproyeksi kenaikan di tahap awal sebanyak 25 basis point dan terus naik bertahap‎ tahun depan hingga mencapai minimal 100 basis point.

Selanjutnya, ekonomi Tiongkok yang mengalami perubahan struktural yang cukup signifikan. Sampai akhirnya, ekonomi Tiongkok yang biasa tumbuh di atas 10% sulit terealisasi. Akan sangat susah tumbuh di atas 10%. Normalnya pertumbuhan akan bergeser di level 6-7%. Dari sisi harga komoditas belum tanda-tanda rebound, harga minyak, sepertinya pada pertemuan OPEC belum ada ancang-ancang kenaikan harga minyak.

Bambang tetap menatap optimis perekonomian global tahun depan dan berdampak terhadap domestik. Akan tetapi, ada sisi kehati-hatian yang harus tetap dijaga.

Anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Bidang Edukasi dan Perlindungan Konsumen Kusumaningtuti S Soetiono mengatakan, porsi asing di sektor jasa keuangan Indonesia sangat substansial. "Ini menujukkan bahwa perekonomian Indonesia masih tergantung kepada sumber-sumber pembiayaan dari luar negeri," ujarnya, Kamis (3/12).

Oleh karena itu, setiap gejolak yang terjadi di luar negeri secara langsung akan berdampak terhadap kondisi di Indonesia. "Kita sering mendengar bersama bahwa kenaikan suku bunga The Fed dikhawatirkan akan menyebabkan terjadinya capital outflow dari sistem keuangan Indonesia yang akan berdampak pada melemahnya berbagai indikator perekonomian seperti nilai tukar, pertumbuhan ekonomi, pengangguran, kinerja sektor riil, meningkatkan biaya modal, dan lain-lain," terang dia. (dtc)

BACA JUGA: