JAKARTA, GRESNEWS.COM - Mimpi mantan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Dahlan Iskan berantakan, mobil listrik yang digadang-gadangnya kini tinggal kenangan. Kejaksaan Agung (Kejagung) telah membongkar korupsi pengadaan 16 mobil listrik untuk kegiatan operasional konferensi forum kerja sama ekonomi Asia Pasifik (APEC) di Nusa Dua, Bali, Oktober 2013.

Namun ada yang janggal dari hasil penyidikan Kejaksaan Agung yang menyebutkan mobil listrik yang digagas Dahlan tersebut dinyatakan gagal dan tidak lulus emisi. Adalah Kasubdit Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus), Sarjono Turin, yang melakukan blunder dengan pernyataannya terkait kasus penyitaan mobil listrik proyek milik Dasep Ahmadi. Turin menyebutkan jika mobil listrik buatan Dasep tak lulus uji emisi dan bahaya jika digunakan di jalan umum.

"Mobil itu tidak lulus uji emisi, terlebih lagi hasil test drive mobil ini bahaya kalau digunakan di jalan umum," ujar Turin kepada awak media saat ditemui di Kejagung, Selasa (23/06/2015).

Turin juga mengungkapkan hasil test drive mobil ini berbahaya saat digunakan di jalan umum. Ia mengungkapkan kecepatan maksimum dari mobil listrik tersebut hanya mencapai 29 km/jam dan jika dipacu di atas 70-80 km/jam bisa overheat.

Tentu saja pernyataan Turin sungguh mengherankan.  Adakah mobil listrik bisa beremisi? Kemudian munculah opini, uji emisi mobil listrik hanya sebagai alasan agar proyek ini tak berlanjut. Maklum bila proyek ini sukses maka produsen mobil saat ini tentu bakal kehilangan pangsa pasarnya.
TAHAPAN INOVASI - Kepala Badan Inovasi dan Bisnis Ventura Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Saut Gurning menyatakan seharusnya dalam sebuah proses inovasi pemerintah tak langsung mengklaim produk tersebut gagal. Sebab, inovasi memiliki beberapa tahap yang rumit dan lama untuk baru menjadi prototype.

"Temuannya tak bisa langsung bagus. Apalagi di Indonesia ini inovasi mobil listrik masih dalam proses," katanya kepada gresnews.com, Selasa (7/7).

Para penginovasi secara umum perlu melalui tahapan teori, riset, membongkar produk yang akan ditiru untuk dipelajari, riset pengembangaan skala, penyesuaian, dan inovasi yang bersifat aksesoris.  Dari sisi penguasaan teknologi, ia menyatakan sesungguhnya anak bangsa sangat mampu membuat inovasi.

Namun, proses yang masih prototyping tersebut tak bisa dibandingkan dengan mobil bahan bakar fosil pada umumnya, atau mobil listrik yang sudah diproduksi di negara lain. Karena sekali lagi, mobil listrik buatan Dasep Ahmadi yang dimanakan Selo ini masih berupa prototyping yang terus butuh pengembangan.

"Tahapan-tahapan ini yang memang mahal, dan harus didukung pemerintah, bukan malah menghentikannya," katanya.

Pemerintah seharusnya lebih pro pada penciptaan inovasi dan memberikan kesempatan untuk memperbaiki kualitas secara bertahap bukan langsung jadi. Misalnya saja, si kuning Selo ini dibatasi aplikasi dan operasional, ruang geraknya sebagai percobaan pertama.

"Hal-hal seperti ini yang membuat bangsa kita menjadi takut melakukan inovasi, akhirnya para generasi jenius lari ke luar karena di sini tak dihargai," katanya.

SALAH PUBLIKASI ATAU KESENGAJAAN? - Nur Yuniarto, dosen dan peneliti ITS, menyatakan dengan tegas, mobil listrik tak memiliki emisi. Kasus yang selama ini bergulir dianggap merupakan salah publikasi pihak Kejaksaan Agung. "Uji emisi menentukan seberapa buruk pengaruh yang diberikan mesin kepada lingkungan akibat pembakaran," jelasnya kepada gresnews.com, Selasa (7/7).

Tahapan uji emisi ini yakni mobil dijalankan, knalpotnya dibebani dengan masa tertentu kemudian diukur menggunakan alat ukur uji emisi. Setelahnya dihitung banyaknya komposisi residu gas buang yang biasanya berupa air (H2O), gas CO atau karbon monoksida yang beracun, NOx senyawa nitrogen oksida.

Juga kadar CO2 atau juga karbondioksida yang merupakan gas penyebab rumah kaca, HC berupa senyawa hidrat arang sebagai akibat ketidaksempurnaan proses pembakaran serta partikel lepas. Kerugian yang ditimbulan dari emisi gas buang dapat memicu hipertensi, iritasi mata, penurunan kecerdasan, mengganggu perkembangan mental anak, tenggorokan gatal, batuk-batuk, dan engurangi fungsi reproduksi laki-laki.

Jelas, mobil listrik tak memiliki pembakaran yaang menghasilkan residu-residu seperti di atas. Mobil listrik, menurutnya seharusnya tak dilakukan uji emisi melainkan uji electromagnetic interference (EMI) di dalam ruang dan khusus, untuk melihat seberapa banyak radiasi elektromagnetik yang dihasilkan. Selain itu, juga dilakukan uji kenyamanan dan keamanan.

"Namun, walaupun sudah ada alatnya, baik di LIPI atau lainnya, uji EMI di negara kita belum dibuat standarnya," bebernya.

Standar uji yang menyertakan cara pengujian dan batas keamanan radiasi pun belum ditentukan. "Jadi kita tak tahu, mana batas aman, mana batas yang tak aman," katanya.

PERSAINGAN USAHA - Mamit Setiawan dari Energi Watch pun melihat kejanggalan ini sebagai sebuah parodi tingkat elite. Sebab tergambar jelas adanya persaingan industri otomotif besar di Indonesia yang tak mau melihat proyek mobil listrik Selo terus berjalan. "Seperti Toyota, atau mobil luar lain yang sudah eksis secara lama di Indonesia, otomotif kita terlalu dikuasai Jepang," katanya kepada gresnews.com, Selasa (7/7).

Gamblang ia sebutkan, industri otomotif dalam negeri seperti Selo atau mobil nasional Esemka sengaja dikerdilkan agar Industi otomotif luar negeri yang bercokol di Indonesia tetap berjaya. Padahal, jika dilihat secara general, maka tak ada masalah signifikan yang bisa menghalangi proyek ini terus berjalan.

"Visual design, teknologi semua bagus, tapi dikerdilkan lagi. Mereka yang akhirnya dianggap gagal akan pergi meninggalkan kita yang tetap jalan di tempat," katanya.

Kepentingan-kepentingan industri otomotif besar tersebut dianggap tak ingin Indonesia berkembang. Dimana dalang di belakangnya merupakan negara-negara besar di dunia yakni Jepang dan Amerika.  Sebab Indonesia, dilihat seebagai pasar yang potensial, sehingga jika Selo atau mobil dalam negeri lainnya berlanjut maka industri-industri besar ini akan kehilangan pangsa pasar yang cukup besar.

Tentu dengan nilai investasi yang begitu besar, industri otomotif besar ini tak ingin konsumennya beralih produk. Apalagi, diprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia ke depan akan mengalami kenaikan. Setalah India, Indonesia menjadi pasar yang begitu menjanjikan dan tak mungkin dilepas begitu saja.

"Pemerintah tak mendidik Indonesia jadi negara produsen tapi selalu jadi konsumen. Tak ada political will dari Kementerian Perdagangan, dan Kementerian Industri untuk merealisasi mobil nasional," katanya.

Persaingan dagang yang menguasai pasar otomitif Indonesia ini disinyalir telah melahirkan lobi politik ekonomi. Pada akhirnya, para investor luar ini membawa kepentingan elite-elite tertentu yang tak mau pasar otomotif Indonesia dikuasai anak bangsa.

Namun, menanggapi hal ini, anggota Komisi V DPR RI Fauzi Amro malah menyatakan penarikan Selo sudah sesuai mekanisme yang ada. Sebab, mobil besutan Mantan Menteri ESDM Dahlan Iskan ini tak sesuai dengan program kerja dan pagu anggaran seharusnya. "Dari sisi prosedur dia sudah salah, terlalu kreatif. Padahal tahu, kita ini konsumen fanatik otomotif Jepang sampai dunia kiamat," ujarnya singkat kepada gresnews.com, Senin (6/7).

BACA JUGA: